Dua pendaki asal Sumatera Barat (Sumbar), yakni Bima Pratama Nasra dan Irvanda Mulya, selamat dari peristiwa mengerikan pada beberapa saat yang lalu ketika Gunung Marapi mengalami erupsi.
Beberapa waktu yang lalu, Gunung Marapi di Padang, Provinsi Sumatera Barat mengalami erupsi untuk kesekian kalinya. Abu vulkanik menjulang tinggi hingga terlihat begitu pekat dan tebal. Peristiwa ini membuat banyak warga sekitar Gunung Marapi diungsikan dengan alasan keamanan.
Baca juga: Seluruh Pendaki Gunung Marapi yang Terdata Sudah Ditemukan
Irvanda mungkin tidak pernah membayangkan rencana pendakiannya saat itu menjadi momen yang kelam dan mengerikan di beberapa hari setelahnya. Sebuah pendakian yang menghadapkan dirinya kepada hidup dan mati.
Hari itu, Irvanda dan rombongannya berencana untuk pergi mendaki ke Gunung Marapi. Total berjumlah 18 orang termasuk dengan dirinya. Salah satu teman sekelasnya yang bernama Bima juga turut ikut kesana.
Bima merupakan teman dekat Irvanda sekaligus satu jurusan. Mereka pun ada malam hari berkumpul di rumah Wahlul. Kemudian mereka pergi ke minimarket untuk membeli berbagai kebutuhan logistik.
Setelah dirasa cukup, mereka mengecek ulang segala peralatan dan perlengkapan untuk memastikan semuanya terpenuhi dan tercukupi. Keesokan harinya, yaitu pada Sabtu selepas adzan subuh, Irvanda dan beberapa temannya mulai menuju ke pos registrasi.
Total 18 pendaki itu akan memulai pendakiannya pada pukul setengah 8 pagi. Setelah beres melakukan registrasi Irvanda dan rombongannya mulai berjalan mendaki menuju pos 1. Setelah kurang lebih dua jam berjalan mereka tiba di pos 2 pada pukul 10 pagi.
Langit yang cerah, matahari yang bersinar serta udara yang sejuk menghiasi pendakian mereka kala itu. Obrolan dan candaan pun tidak lepas antara satu dan yang lainnya menambah hangatnya suasana.
Pendakian ini seakan menjadi momen yang begitu istimewa bagi Irvanda dan 17 temannya yang lain, hingga kelak momen istimewa itu berubah menjadi sebuah peristiwa yang memilukan dan meninggalkan suara tangisan.
Setelah tiba di pos 2 pada pukul 10 pagi, perjalanan kembali dilanjutkan secara perlahan hingga Irvanda dan rombongannya mulai masuk di pos 3 pada pukul 2 siang. Sesampainya di pos 3 cuaca mulai hujan, hujan yang turun cukup deras bahkan beberapa kali menggenangi jalur pendakian.
Suasana terasa begitu dingin. Jaket-jaket tebal yang digunakan seakan kurang cukup untuk menghalau dinginnya hujan yang turun. Irvanda dan rombongannya cukup khawatir karena kondisi jalur yang berubah menjadi licin akibat hujan deras.
Tiba-tiba terdengar “Aduuuhh sakit nih,” ucap Irvanda yang mengalami sengatan tawon ketika hendak melanjutkan perjalanan ke atas.
Salah seorang temannya yang lain yaitu Yasirly Amri ternyata juga terkena sengatan tawon di area kaki.
Ukuran tawon yang menyengat itu cukup besar. Irvanda seketika merasa tidak bisa membuka matanya akibat sengatan tersebut. Matanya terlihat lebam yang membuatnya sempat tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas. Bahkan sengatan tawon tersebut sampai membuat mata Irvanda bengkak.
Hujan semakin deras dan mulai membasahi Irvanda beserta rombongannya. Karena cuaca yang mulai tidak kondusif, Irvanda menjadi orang pertama untuk menuju ke pos berikutnya demi meminimalisir resiko.
Karena hujan turun dan kondisi jalur pendakian berubah menjadi licin, Irvanda tidak ingin terjadi macet di tengah-tengah jalur, apalagi kondisi sedang menuju ke atas yang bila terjadi penumpukan orang bisa membahayakan keselamatan satu sama lain.
Dari pos 3, Irvanda berjalan seorang diri menuju ke pos berikutnya, yaitu Cadas, sambil menerjang hujan. Sampai kemudian ia tiba di Cadas pada pukul 4 sore. Disini ia menunggu temannya yang lain tiba sebelum nanti melanjutkan kembali perjalanan ke atas secara bersama-sama.
Sembari menunggu teman-temannya tiba, Irvanda melipir sejenak ke warung. Kebetulan ada warung yang buka di pos tersebut. Setelah basah-basahan karena hujan seluruh temannya itu tiba di Cadas.
Dari Cadas, Irvanda, Muhammad Fadli (20 tahun), Rofid Al Hakim, dan Muhammad Teguh Amanda (mahasiswa Politeknik Negeri Padang/PNP) berjalan lebih dulu menuju ke pos berikutnya, yaitu Tugu Abel.
Karena hujan yang semakin deras maka tidak memungkinkan bagi Irvanda untuk terus berjalan secara bersama-sama karena mengingat rombongannya yang cukup banyak. Hal ini dapat beresiko terhadap keselamatan antara satu sama lain.
Sekitar pukul setengah 6 sore, Irvanda, Fadli, Rofid dan Teguh tiba di Tugu Abel dengan kondisi cuaca yang mulai badai. Kemudian mereka mendirikan tenda bersama untuk beristirahat sambil menunggu rombongan dari kelompoknya yang masih berjalan dari Cadas menuju Tugu Abel.
Ketika semua tenda sudah didirikan dan semua rombongan telah tiba di Tugu Abel, mereka semua istirahat dan tidur di tenda masing-masing. Disini cuaca semakin tidak kondusif. Badai mulai menerjang mereka sampai perjalanan berikutnya ke atas Puncak Merpati.
Irvanda kesulitan untuk tidur pulas karena merasa kesakitan akibat sengatan tawon yang membuat matanya bengkak tadi. Badannya juga mulai terasa panas dingin hingga membuat dirinya menggigil.
Sekitar jam 3 pagi, Irvanda, Bima, Wahlul Alde Putra (19 tahun), Teguh dan Fadli terbangun untuk menyantap makanan. Mereka juga menyeduh beberapa minuman hangat untuk menghangatkan badan setelah seharian berjalan sampai kehujanan.
Irvanda sempat bercanda-canda dengan temannya, “Bim nanti kamu mau jadi apa?”
“Ya mau jadi orang sukses lah, Van!” ucap Bima
Hari itu Minggu pukul 5 pagi, Irvanda dan teman kelompoknya sudah bangun untuk menyempatkan berfoto bersama di Tugu Abel ditemani dengan sinar matahari pagi yang cerah. Selesai berfoto semua berkemas untuk bersiap summit atau mendaki menuju Puncak Merpati.
Setelah selesai packing dan dirasa cukup, semua pendaki mulai bergerak menuju ke atas, yaitu Puncak Merpati, yang merupakan titik paling atas dari Gunung Marapi. Hanya Irvanda dan Irvandi yang tidak ikut. Mereka berdua memilih untuk menjaga barang saja dibawah.
Kurang lebih pukul 2 siang, para pendaki yang naik tiba di Puncak Merpati. Setelah berfoto-foto dan menikmati suasana di puncak, mereka kemudian kembali turun ke Tugu Abel, disana Irvanda telah menunggu.
Siang itu, Irvanda dan rombongannya mulai turun Gunung. Irvanda berada di posisi paling depan. Sekitar beberapa meter dari Puncak Merpati, tiba-tiba terdengar suara ledakan dan asap tebal menjulang tinggi yang keluar sebanyak dua kali.
Saat itu juga Irvanda berteriak “Lariiiii……”
“Berlindung semuanya…”.
Seketika keadaan menjadi porak-poranda. Gunung Marapi mengalami erupsi. Irvanda dan rombongannya mulai berada dalam masalah.
Irvanda kehilangan pandangannya karena dalam sekejap abu vulkanik dan bebatuan hasil erupsi mulai berterbangan yang membuat jarak pandang kian terbatas. Teman-temannya yang lain mulai berlarian karena panik. Saat itu Irvanda tersungkur sambil menutupi tubuhnya dengan tas keril.
Irvanda berada di posisi paling depan. Ia tidak melihat lagi teman-temannya secara lengkap. Di tengah keadaan yang sangat memilukan itu, jarak antara hidup dan mati sudah sangat dekat bagi mereka semua.
Abu vulkanik semakin berterbangan. Angin berhembus semakin kencang dan kerikil-kerikil bebatuan terus berhamburan seiring dengan suara dentuman ledakan.
Adit salah satu teman rombongan Irvanda juga berlindung di sebelah dirinya, posisinya tepat di sebelah Irvanda yang sedang berlindung di sebuah batu.
Ternyata hujan batu tengah berlangsung. Kerikil bebatuan tersebut berhamburan dari Puncak Gunung Marapi membuat situasi semakin tak karuan. Setelah hujan batu berhenti, Irvanda berteriak ke arah atas
“Lepasin tas keril kalian. Tinggalin semuanya, ayo kita turun kebawah sekarang!”
Ketika tengah menengok ke atas dan berteriak kepada temannya, Irvanda terkena abu vulkanik yang semakin menyebar luas. Ia menghirup abu vulkanik tersebut tepat di depan mukanya yang membuatnya kesulitan bernafas.
Irvanda sempat oleng karena menghirup abu vulkanik selama tiga kali dan sudah mulai kekurangan oksigen. Setelah itu, dia tergelincir karena menginjak bebatuan yang track yang licin. Kemudian ia terguling kebawah.
Irvanda terguling sambil merasakan panasnya bebatuan hasil erupsi yang menempel di sekujur tubuhnya. Jaket tebal dan pakaian mendakinya itu tak akan mampu menahan panasnya bebatuan erupsi gunung.
Kemudian ia terhenti di suatu batu dan ia memegang batu tersebut erat-erat, kemudian menutup mukanya menggunakan baju. Posisinya kurang lebih berada di pertengahan jalur antara Cadas dan Tugu Abel setelah terguling dari atas.
Keadaan mulai mereda. Abu vulkanik mulai menghilang perlahan, namun ketika Irvanda melihat ke arah atas gunung, ia melihat teman-temannya sudah tidak berada disana. Entah kemana perginya mereka. Irvanda sama sekali tidak melihat satupun.
Tak lama berselang terdengar suara seseorang yang meminta Irvanda untuk menunggunya. Ternyata itu adalah suara Bima yang merupakan salah satu teman Irvanda, sontak Irvanda berteriak
"Buang semua barang kamu Bim. Cepat lari ke bawah sini!"
Bima segera turun kebawah untuk menemui Irvanda. Ketika Bima sudah bersama Irvanda, mereka berdua merosot turun kebawah menggunakan tas keril milik Bima. Mereka merosot agar mempercepat langkah turun dan saat itu posisi mereka berada di pertengahan Cadas.
Saat berhenti di Cadas, Irvanda dan Bima mengemas barang-barang mereka secukupnya untuk dibawa turun. Mereka membawa beberapa pakaian untuk menutupi hidung masing-masing dari abu vulkanik yang terus bertebaran. Setelah itu mereka lanjut turun kebawah.
Irvanda dan Bima terus turun kebawah menyusuri jalur dengan kondisi tubuh yang sudah semakin melemah ditambah kondisi di track semakin tidak kondusif. Abu vulkanik, bebatuan, hasil erupsi dan pandangan yang semakin terbatas membuat mereka semakin kesulitan menuju jalan pulang.
Diperjalanan menuju ke bawah, Irvanda dan Bima menemukan tenda milik orang lain dan mengambil air minum yang ada disana. Irvanda menyuruh Bima untuk berkumur-kumur dan mengeluarkan abu vulkanik yang ada dimulut Bima.
Tak berselang lama dari situ Irvanda dan Bima melihat ada seorang pendaki yang kondisi tubuhnya terpapar abu vulkanik. Orang tersebut berjalan dengan pandangan yang kosong dan kondisi fisik yang lemah.
Awalnya Irvanda dan Bima tidak menyadari pendaki tersebut karena seluruh tubuhnya terkapar abu vulkanik, hingga kemudian barulah mereka menyadari bahwa orang tersebut merupakan Rofid, salah satu teman mereka.
Irvanda segera menyambangi Rofid yang tengah dalam keadaan memprihatinkan. Rofid hanya berteriak “Tolooongggg”, “Aiiiiirrrr”.
Baca juga: IDI Siagakan Dokter untuk Penanganan Korban Bencana Erupsi Gunung Marapi
Rupanya jari Rofid mengalami luka bakar akibat terkena bebatuan hasil erupsi Gunung Marapi dan abu vulkanik di sekujur tubuhnya.
Irvanda segera mengikat tangan Rofid dengan kain dan memberikan air minum kepada Rofid agar ia tidak dehidrasi dan mengeluarkan abu vulkanik yang ada di mulutnya itu. Dari arah atas, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Ternyata itu adalah si F yang tengah berlari menuju ke bawah juga dan kemudian bertemu dengan Irvanda, Bima dan Rofid. Tak lama berselang entah darimana datangnya, muncul salah satu teman mereka yang lain yaitu Adit. Total saat itu mereka berlima dan melanjutkan perjalanan turun.
Kondisi dari si F ini cukup memprihatinkan. Fisiknya sudah drop dan salah satu bagian dari jarinya hampir terpisah dari tangannya. F terlihat seperti orang yang sudah menyerah kala itu.
Mereka berlima terus turun ke bawah secara bersama dan saling menjaga satu sama lain. Angin semakin berhembus kencang, jarak pandang kian terbatas. Mereka harus extra hati-hati karena resiko kehilangan arah sangat besar.
Irvanda, Bima, Rofid, Adit dan F, tiba di pos pintu angin dan disini Adit bilang kalau ponselnya mendapatkan sinyal. Irvanda segera menyuruh Adit untuk menghubungi pos registrasi yang ada dibawah.
Usaha tersebut membuahkan hasil. Nomor pos registrasi yang mereka hubungi ternyata tersambung dan memberikan instruksi kepada mereka berlima untuk mengirimkan foto masing-masing serta kondisi di sekitar mereka saat itu.
Mereka berlima disuruh menunggu di titik penjemputan yang telah diarahkan oleh pihak pos registrasi, yaitu di Simpang Tiga, Ayangek, Batu Palano. Mendengar kabar ini, Irvanda merasa begitu bersyukur dan termotivasi untuk segera turun bersama teman-temannya.
Harapan untuk bertahan hidup dan pulang kembali ke rumah masing-masing ternyata masih ada. Mematian yang hampir saja menjadi mimpi buruk bagi mereka seakan-akan sirna dan nasib baik masih berpihak kepada mereka berlima.
Irvanda segera memotivasi teman-temannya agar terus bergerak turun dan kembali kerumah masing-masing. Meskipun sebagian temannya merasa pasrah dan dehidrasi akibat kelelahan menghirup abu vulkanik dalam jumlah banyak.
Dengan nafas yang terengah-engah dan kondisi fisik yang semakin lemah, mereka berlima terus bergerak turun ke bawah secara perlahan-lahan. Perasaan semakin campur aduk. Otak sudah tidak bisa berfikir secara jernih lagi. Langkah mereka hanya berfokus kepada satu tujuan, yaitu rumah.
Bima dan beberapa orang yang lain sudah hampir menyerah dan pasrah terhadap keadaan kala itu. Mereka sudah menyerahkan semua nasib kepada tuhan yang maha esa. Bila mereka harus meninggalkan dunia pada saat itu juga, mereka sejujurnya sudah siap dan menerima hal tersebut.
Namun Irvanda terus memotivasi dan memberikan dukungan kepada Bima dan beberapa temannya yang lain. Ia seakan percaya bahwa mereka semua bisa kembali pulang ke rumah dengan selamat tanpa meninggalkan salah seorang pun.
Sekitar pukul empat sore, Irvanda dan keempat temannya itu tiba di Simpang Tiga. Kemudian ia membuka tas keril nya untuk mengambil kain sarung dan menutupi luka bocor di kepala Bima. Cuaca di Simpang Tiga saat itu mulai turun hujan dan membuat keadaan sedikit lebih sejuk.
Karena hujan mulai turun, Irvanda memberikan selimut kepada Rofid yang merasa kedinginan. Ia juga menyuruh Adit untuk segera mengganti bajunya yang basah agar tidak menggigil karena Adit juga mulai merasa kedinginan.
Sekitar pukul setengah lima sore, Bima menegur Irvanda, “Van, coba tengok ke atas ada orang minta tolong”.
Sontak Irvanda menengok ke atas dan menolong perempuan tersebut ternyata nama perempuan itu adalah W. Kemudian Irvanda menyuruh W untuk duduk dan beristirahat.
W juga mengatakan bahwa salah satu temannya masih berada di atas, tak jauh berada dibelakang dirinya saat berjalan perempuan itu bernama T. Irvanda segera bangun kembali dan membantu T dengan memberinya minum lalu menyuruhnya duduk beristirahat.
Hari semakin gelap. Matahari mulai terbenam ke ufuk barat menandakan bahwa malam akan segera tiba. W dan T dalam kondisi yang histeris. Akibat peristiwa tersebut mereka bertanya-tanya, apakah mereka akan selamat dan kembali pulang ke rumah.
Kondisi fisik Irvanda saat itu bisa dibilang yang paling baik dibanding beberapa temannya yang lain. Maka dari itu, ia terus membantu teman-temannya itu yang merasa kesakitan. Sekitar pukul setengah enam sore, Irvanda mendengar lagi suara dari atas.
"Tolooongg.” Suara itu berasal dari atas, dan ternyata itu adalah suara seorang pria yang bernama Rexy. Irvanda segera menghampiri Rexy dan pada saat itu kondisinya sangat memprihatinkan. Kondisi fisiknya sangat lemah dan kepalanya terlihat berdarah.
Kepalanya juga bocor dan mengeluarkan darah akibat terkena hantaman bebatuan hasil erupsi Gunung Marapi. Irvanda bertanya kepada Rexy yang masih menggendong tas keril miliknya itu.
“Bang bawa flysheet gak bang? cuaca mulai hujan soalnya biar saya bentangin”
Irvanda segera membuka tas Rexy dan membentangkan flysheet yang ia bawa, setelah itu ia lekas menyuruh Rexy untuk berteduh dan berbaring di flysheet tersebut.
Hari berlarut semakin malam dan hujan terus turun membasahi jalur pendakian. Rexy mencoba untuk menghubungi orang-orang yang ada pos registrasi di bawah untuk meminta pertolongan, sementara itu W dan T semakin panik karena hari berangsur gelap.
Irvanda berusaha untuk mencari kayu agar bisa dibakar dan membuat keadaan menjadi hangat, namun usahanya sia-sia karena hampir semua kayu telah basah terguyur hujan.
Tiba-tiba Bima bilang, “Van peluk aja Van. Biar dia gakena hipotermia bahaya soalnya”.
Irvanda lekas memeluk perempuan tersebut sembari menenangkannya, bahkan Irvanda juga memberinya minum agar tetap terjaga dari dehidrasi. Irvanda coba untuk meyakinkannya bahwa mereka semua yang tersisa akan selamat dan pulang kembali ke rumah.
Berselang beberapa lama ditengah hari yang semakin gelap, kabar baik akhirnya tiba. Bala bantuan pun datang. Irvanda dan teman-temannya merasa lega bahwa sesuatu yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Ketika bantuan datang kondisi Irvanda dan teman-temannya yang lain sudah mulai tenang dan berangsur membaik. Mereka semua segera di evakuasi dan diberi pertolongan pertama oleh tim evakuasi.
W dan T merupakan orang yang lebih dulu di evakuasi dan diberikan pertolongan pertama karena mereka perempuan. Selain itu kondisi mereka juga cukup memprihatinkan, baik secara fisik maupun psikologis.
Irvanda dan Rexy juga ikut berjalan turun ke arah bawah. Karena kondisi kakinya yang masih memungkinkan untuk berjalan, mereka lebih memilih untuk berjalan dan mengutamakan rekan-rekan yang lebih membutuhkan untuk di evakuasi.
Di beberapa momen, terkadang Irvanda dan Rexy suka terpeleset jatuh. Rasa letih dan kehilangan konsentrasi menjadi faktor utamanya. Namun mereka tetap bangkit dan meyakinkan diri masing-masing untuk terus berjalan hingga pulang kembali ke rumah.
Irvanda juga sempat meminta kepada tim penyelamat untuk berusaha menyelamatkan semua teman-temannya, baik itu dalam keadaan hidup maupun meninggal dunia. Irvanda sangat berharap teman-temannya yang lain masih tetap hidup dan dapat kembali pulang kerumah.
Irvanda sangat berharap semua teman-temannya dapat ikut selamat dan kembali ke rumah masing-masing dengan selamat. Ia sangat mengharapkan salah satu diantara mereka tidak ada yang tertinggal dan terpisah. Ia selalu memberikan motivasi dan semangat kepada beberapa rekannya.
Setelah berjalan turun cukup panjang dan melelahkan, kurang lebih pukul tiga pagi, Irvanda tiba di BKSDA. Sesampainya disana, Irvanda diberikan makan dan minum terlebih dahulu sambil beristirahat sekaligus menenangkan fisik dan mentalnya.
Sekitar jam setengah empat pagi, Irvanda men-charge handphonenya dan mencoba untuk menghubungi orang tuanya. Ternyata saat dihubungi, orang tua Irvanda sudah berada di kantor Wali Nagari, Batu Palano atau kelurahan setempat.
Irvanda segera meminta tolong kepada tim penyelamat untuk mengantarkan dirinya kebawah agar bisa bertemu dengan kedua orang tuanya disana. Sesampainya disana, situasi berubah menjadi penuh haru. Irvanda seakan tidak percaya bahwa ia masih bisa bertemu dengan orang tuanya.
Hal sebaliknya juga dirasakan oleh orang tua Irvanda. Ia menangis tersedu-sedu seraya bersyukur jika anaknya itu masih diberikan nasib baik dan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Perasaannya campur aduk pikirannya masih merasa sedih karena sebagian teman-temannya masih belum diketahui keberadaan dan kabarnya. Ia mulai merasakan hal-hal yang pahit mulai memikirkan bahwa sebagian teman-temannya mungkin saja tidak akan terlihat lagi.
Kurang lebih pukul lima pagi, Irvanda meminta kepada orang tuanya untuk mampir ke rumah sakit terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Ia berharap dapat melihat teman-temannya yang sedang dirawat disana.
Pukul enam pagi, orang tua Irvanda mengajak Irvanda untuk pulang dulu ke rumah karena kabar baiknya teman-temannya sudah mendapat penanganan dari pihak rumah sakit. Untuk itu, ia segera pulang dan beristirahat di rumah.
Sampai di rumah, Irvanda merasa begitu bersyukur dirinya masih bisa menginjakkan kaki di rumah tercinta. Hal yang mungkin jauh dari bayangannya ketika peristiwa memilukan tersebut terjadi tepat saat ia sedang berada di jalur pendakian.
Rasa syukur tak henti-hentinya ia panjatkan kepada Tuhan karena masih memberikannya waktu untuk tetap hidup dan selamat dari peristiwa memilukan itu yang hampir saja menghadapkannya kepada kematian.
Irvanda berbaring untuk beristirahat dan kemudian ia tertidur. Di tengah tidurnya itu, ia terbangun dan memimpikan teman-temannya. Setelah itu, ia sulit untuk tidur kembali karena masih terngiang-ngiang situasi saat itu dan teman-temannya.
Mimpi tersebut seakan terus membayang-bayangi Irvanda di hari-hari setelahnya. Ia seakan tak percaya kumpulan teman-teman yang ia cintai itu pergi meninggalkan dirinya dan tidak akan pernah bisa ia lihat lagi untuk selama-lamanya.
Harapan untuk bisa bertemu kembali dan berkumpul seperti sebelum-sebelumnya semua telah sirna. Irvanda harus menerima kenyataan pahit bahwa sebagian dari teman-temannya harus pergi menghadap ilahi.
Irvanda hanya bisa memanjatkan doa untuk sebagian arwah teman-temannya yang telah pergi mendahului dirinya. Sebuah hal yang berat, namun itulah hidup takdir setiap umat tidak pernah bisa diketahui oleh siapapun.
Irvanda merasa semua itu masih menjadi mimpi untuknya. Ia sukar percaya bahwa beberapa teman-temannya sudah pergi meninggalkan dirinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa pendakian itu menjadi sebuah momok yang menyakitkan untuk dirinya dikemudian hari.
Sebuah pendakian yang mengantarkan dirinya kepada kejadian memilukan yang kelak memisahkan ia dan beberapa teman-temannya yang pergi menghadap Sang Pencipta.
Mari kita doakan seluruh arwah pendaki yang telah gugur di Gunung Marapi maupun pihak-pihak yang mengalami musibah mengerikan tersebut. Semoga mereka semua diberikan tempat terbaik di sisi Tuhan dan diberikan keteguhan hati, Aamiin…
*) Source : RJL 5 - Fajar Aditya
Editor : Syaiful Anwar