Bagi para pecinta alam bebas, sosok Norman Edwin adalah guru, idola dan panutan. Norman Edwin adalah seorang petualang sejati yang meninggalkan banyak tulisan di berbagai harian cetak nasional pada masa 1980-an yang sangat menginspirasi generasi penerusnya.
Norman lahir di Sungai Gerong, Palembang tahun 1955, sebelum masuk ke Jurusan Arkeologi UI (Universitas Indonesi) tahun 1976, Norman sempat kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Norman Edwin adalah teman satu angkatan dengan Hari Untoro Dradjat (mantan Dirjenbud), Junus Satrio Atmodjo (mantan dirjenbud),Titi Surti Nastiti (peneliti BRIN) dan Santoso Pribadi, arkeolog bawah air yang gugur dan hilang di perairan Haliputan tahun 1986 saat menyelidiki kapal karam Geldermalsen.
Norman Edwin memiliki seorang Istri, Karina Arifin, seorang doktor ahli prasejarah Indonesia dan juga dosen Jurusan Arkeologi UI. Karina Arifin adalah adik tingkat Norman Edwin angkatan 1978, sedangkan Norman angkatan 1976. Bersama Karina, Norman telah menjelajah alam sejak dibangku kuliah. Norman juga sangat aktif di kegiatan Mapala UI
Norman memiliki seorang anak bernama Melati, yang dari kecil juga sering diajaknya untuk mengikuti petualang alam bebas. Sang istri, Karina Arifin masih menyimpan majalah, tulisan surat kabar dan foto Norman saat berkegiatan alam bebas. Kebiasaan Norman yang selalu mendokumentasikan catatan kegiatannnya dalam ekspedisi, misi SAR (search and rescue) maupun tugas kewartawanan membuat Norman terbiasa untuk menulis laporan. Tulisannya tentang temuan artefak arkeologi di Lembah Lore, Sulawesi, Gunung Penanggungan ataupun suku Baduy membuka cakrawala baru nan informatif.
Norman mengajarkan bahwa petualangan alam bebas bukan hanya sekedar kegiatan yang menyenangkan namun harus penuh perhitungan ilmiah dan juga harus membekali diri dengan peralatan memadai dan juga pengetahuan.
Bukunya yang terbit tahun 1987 yang berjudul Mendaki Gunung; Sebuah Tantangan Petualangan menggambarkan perjalanan hidup dan pemikiran Norman Edwin tentang kecintaannya pada alam, filosofi hidup, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menjelajahi alam bebas.
Salah satu pesan penting dalam buku ini adalah pentingnya disiplin, kerja sama, dan sikap menghargai alam. Norman menekankan bahwa mendaki gunung bukan hanya soal mencapai puncak, tetapi juga soal perjalanan dan pembelajaran yang diperoleh sepanjang perjalanan. Norman mengajak pembaca untuk menjadi pendaki yang penuh tanggung jawab, beretika, serta menghargai alam dan sesama pendaki.
Norman sebagai pencetus 7 Summit proyek ambisius untuk menaklukan beberapa puncak dari pucuk tertinggi dunia yang tersebar di tujuh benua. Norman, berhasil menggapai 4 puncak tertinggi yang ada di dunia, yakni Gunung Carstensz Pyramid di Papua (4.884 M), McKinley di Alaska, Amerika Utara (6.194 M), Kilimanjaro di Tanzania, Afrika Timur (5.894 M), dan Elbrus di Rusia (5.633 M).
Setelah berhasil mendaki dari 4 puncak tersebut hanya sisa 3 puncak tertinggi yang belum diraih oleh Norman Edwin, yaitu Gunung Everest (8.850 M), Aconcagua (6.959 M), dan Vinson Massif (4.897 M). Namun Tuhan berkehendak lain, Aconcagua, Argentina menghentikan langkah Norman Edwin dan Didiek Samsu tepat dibawah sebelum puncak.
Mereka berdua gugur disana. Norman dan Didiek wafat dalam dekapan alam. Legacy Norman tetap dikenang bagi para pecinta alam bebas. Petualangan alam bebas bukan hanya hura-hura belaka, melainkan sebuah proses mencari makna mendalam tentang alam dan kehidupan, untuk dijadikan ilmu melalui catatan perjalanan. Norman Edwin, Arkeolog dan Petualang Sejati !
*) Source : Harry SOFIAN
Editor : Bambang Harianto