OPINI

Merawat Kecemasan

Reporter : -
Merawat Kecemasan
Goenawan Mohamad
advertorial

Tadi pagi, sehabis bangun tidur, aku menemukan surat pendek di grup whatsapp. Surat itu ditulis Goenawan Mohamad, salah satu budayawan dan pemikir besar yang dimiliki negeri ini. 

Aku bisa memahami kecemasan yang ia rasakan. Ia mengingatkan kita akan bayangan masa depan yang mengerikan: "anak-anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang culas, nepotisme yang menghina kepatutan, hingga lembaga hukum yang melayani kekuasaan." 

Usia Goenawan Mohamad sudah tidak muda lagi. Namun hati dan tekadnya masih kokoh untuk berada di sisi yang benar dan melawan kesewenang-wenangan. 

Situasi politik nasional hari ini memang sangat memukul akal sehat kita. Bagaimana Jokowi yang mestinya menjaga marwah demokrasi, justru turut mengacak-acak. Ia memaksakan agar putranya, Gibran, bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo, sekalipun harus membuat aturan sendiri.

Operasi Jokowi yang menjadikan MK sebagai kepanjangan tangannya, memang disambut gegap gempita. Terutama para penjilatnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah mendeklarasi. Sementara pendukungnya, yang memelihara nurani dan masih menaruh sedikit kepedulian pada tanah air ini, keras-keras melawan praktek culas itu. 

Salah satu orang itu adalah Gunawan Mohammad. Ia bertekad untuk mengalahkan dan menggagalkan sandiwara ini. 

"Tadinya saya mau pasif, hanya melukis dan menulis, golput. Tapi yang dipertaruhkan di Pilpres 2024 begitu besar, sebuah tanah air, sejumlah nilai-nilai kebajikan, sebuah generasi baru yang berjuta-juta. Saya putuskan untuk, dalam usia lanjut ini, ikut mereka yang melawan untuk perbaikan. Mudah-mudahan teman-teman bersama saya."

Membacanya, aku tercengang. Ia mampu menampar anak-anak muda seperti diriku yang sebelumnya sempat memilih abai. Ia mengajak kita untuk merawat kecemasan, sebuah kecemasan yang seharusnya juga dirasakan banyak orang lain yang masih menaruh kepedulian pada negara ini. 

Aku yakin bukan hanya Goenawan Mohamad yang terpukul melihat keculasan ini, namun jutaan orang lainnya juga merasakan hal yang sama. 

Sudah banyak sekali pakar hukum yang mengecam keras bahwa MK tidak berwenang mengubah aturan. Namun tetap saja itu berjalan, bukan inisiatif barangkali, melainkan karena dorongan kekuatan yang besar. 

Jika lembaga hukum melayani kekuasaan, selamanya ketidakadilan akan merajalela di negeri ini. Sudah terlalu sering kita mendengar cerita tentang pejabat korup yang dijatuhi hukuman ringan, lengkap dengan fasilitas mewah. Sementara mereka yang terpaksa mengutil susu kaleng untuk menghentikan tangisan anaknya yang kelaparan harus dihukum berat.

Cerita-cerita semacam itu pada akhirnya akan dianggap lucu bagi mereka yang terbiasa bermain-main dengan hukum dan aturan. Sebab mereka telah kehilangan kepekaan. Dan sebagai manusia yang tinggal di negeri ini, sudah sepatutnya kita mengingatkan, sekalipun kita tahu suara kita mungkin tidak akan pernah didengarkan. (*)

*) Penulis : Angwar Sanusi

Editor : Ahmadi