Tragedi Kali Bekasi

Reporter : Redaksi
Kali Bekasi

Sembilan puluh orang itu digiring paksa setelah Maghrib. Lalu satu persatu mereka disembelih hingga tewas. Jasad bercucuran darah itu lalu dibuang begitu saja ke sungai Bekasi hingga aliran airnya berubah warna kemerahan dan berbau anyir.

Kalau teman teman pergi ke Stasiun Bekasi, tidak jauh dari sana ada sebuah monumen berwarna hitam yang dinamai “Monumen Kali Bekasi”. Ada beberapa relief perjuangan di bawahnya yang menceritakan beberapa momen sejarah yang terjadi di Bekasi pada masa lampau.

Tapi kalian tau tidak, relief dibawahnya itu menceritakan sebuah kasus pembantaian yang dilakukan para masyarakat Bekasi terhadap para tentara Jepang yang sering dikenal sebagai "Tragedi Kali Bekasi". 

Gimana ceritanya?

Monumen perjuangan Kali Bekasi

Setelah Jepang kalah terhadap sekutu dan Indonesia menyatakan kemerdekaan, sisa-sisa tentara Jepang yang sudah menyerah namun masih ada di Indonesia berangsur-angsur dipulangkan ke negara asalnya. Mereka umumnya dipulangkan melalui jalur udara untuk diterbangkan ke Jepang.

Salah satu pemulangan tentara Jepang itu dilakukan pada 19 Oktober 1945. Sebuah rangkaian kereta api disiapkan untuk membawa 90 orang tentara Jepang yang terbagi dalam 3 gerbong dan hendak diantarkan ke Bandara Kalijati, Kabupaten Subang.

Karena menggunakan kereta, sebelum sampai ke Bandara Kalijati, kereta pengangkut tentara Jepang ini akan melewati Stasiun Bekasi terlebih dahulu. Karena posisi mereka adalah tentara yang sudah menyerah, maka pihak Indonesia memberikan mereka jaminan keselamatan.

Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jatinegara, Sambas Atmadinata, kala itu memberikan perintah kepada Wakil Komandan TKR Bekasi, Letnan Dua Zakaria Burhanuddin, untuk membiarkan kereta yang mengangkut para tentara Jepang itu untuk lewat.

Sambas Atmadinata. (Foto: Historia)

Namun bukannya mengikuti perintah tersebut, Zakaria justru mengomandokan pegawai stasiun Bekasi untuk mengalihkan jalur kereta yang semula ada di jalur dua ke jalur satu. Jalur satu sendiri adalah jalur buntu dan berujung di dekat Kali Bekasi. Akibat mendapat jalur buntu, akhirnya kereta inipun terpaksa berhenti.

Kedatangan kereta pembawa para tentara Jepang dan berhenti di stasiun ini menarik perhatian rakyat Bekasi yang segera mengerubunginya, namun belum ada saling serang saat itu.

Letnan Dua Zakaria lalu masuk ke gerbong yang berisi para prajurit dan meminta surat jalan resmi mereka dari pusat. Tentara Jepang saat itu menunjukkan surat jalan dari Achmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, lengkap dengan tanda tangan Soekarno.

Pemeriksaan surat itu nyatanya sangat menegangkan. Ditambah lagi para rakyat Bekasi yang sudah mengerubungi kereta saat itu, merasa geram jika mengingat apa yang sudah dilakukan para tentara Jepang pada mereka selama penjajahan. Hingga akhirnya, petaka itu terjadi.

Tiba tiba saja sebuah letusan senjata api terdengar dari arah salah satu gerbong. Pelakunya adalah seorang prajurit Kaigun (angkatan laut Jepang) yang entah kemana ia tujukan..Tembakan itu lantas direspon rakyat Bekasi sebagai pernyataan perang. Mereka yang menang jumlah, dengan berbondong bondong segera menyerang tiga gerbong tersebut dan melucuti ratusan senjata yang juga dibawa di rangkaian kereta itu.

Hanya beberapa menit setelah melalui pertempuran kecil yang tidak seimbang tersebut, ke-90 tentara Jepang itu menyerah. Mereka lalu digiring ke sebuah sel tahanan yang saat itu ada di belakang Stasiun Bekasi. Namun nyatanya penahanan saja belum cukup. 4 jam berselang, para tentara Jepang itu dikeluarkan dari sel dan digiring ke tepian Kali Bekasi. Tanpa perintah dari pusat dan tanpa melalui konsultasi dengan komandan TKR, satu demi satu tentara Jepang itu disembelih oleh rakyat Bekasi.

Mayat-mayat serdadu Jepang itu kemudian didorong jatuh ke Kali Bekasi dan dibiarkan hanyut dengan darah yang terus mengalir keluar dari leher mereka.

Mengutip dari Historia, Dullah, salah satu penduduk Bekasi yang jadi saksi mata peristiwa ini mengatakan bahwa Kali Bekasi sempat berubah warna menjadi merah karena bercampur darah para serdadu Jepang itu. Aksi nekat para rakyat Bekasi ini membuat pemerintah pusat kebingungan. 

Laksamana Maeda sebagai Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Darat Tentara Kekaisaran Jepang saat itu langsung mengecam aksi main hakim sendiri tersebut.

Laksamana Maeda begitu murka karena saudara satu negaranya yang sudah menyerah dan seharusnya dipulangkan dengan aman, justru dikhianati bahkan dibunuh oleh rakyat Indonesia. Ia juga mengatakan rakyat Indonesia benar-benar tidak punya pendirian.

Demi meredam amarah sang Laksamana, Kepala Kepolisian RI saat itu, KomJen Raden Said Soekanto Tjokrodiatmojo sampai harus menghadap dan meminta maaf secara langsung. Meskipun terus dimaki-maki Maeda, dengan tenang dan sabar, setelah mengatakan kata-kata permohonan maaf, Kombes Soekanto berkata :

"Memang benar hanya pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi sebagaimana yang Tuan (Laksamana Maeda) ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia."

Meskipun tetap emosi pada awalnya, namun setelah dijelaskan terus menerus keadaannya oleh Soekanto, akhirnya Maeda bisa memakluminya. Namun ia mengancam bahwa ini haruslah menjadi kasus terakhir dan tidak boleh ada lagi kasus serupa terjadi pada tentaranya.

Ancaman dari Maeda ini juga pada akhirnya yang membuat seorang Soekarno harus turun langsung ke Bekasi pada 25 Oktober 1945 untuk memohon kerelaan warga Bekasi agar mau menaati Pemerintah Pusat dan dilarang untuk melakukan pencegatan terhadap kereta pembawa sisa-sisa tentara Jepang.

Sisi lain yang cukup unik dari kasus ini, setelah pembantaian itu terjadi, warga Bekasi mendapatkan guncangan mental dan kecemasan. Konon di jembatan Kali Bekasi tempat eksekusi ke-90 serdadu Jepang tadi dilaksanakan, muncul sosok arwah para serdadu Jepang yang tengah berbaris tanpa kepala dan menenteng kepala mereka masing-masing di tangan mereka.

Warga Bekasi terutama yang berada di dekat lokasi itu ketakutan hampir setiap malam, bahkan sampai ada larangan untuk keluar rumah pada malam hari. 

Potret jembatan Kali Bekasi pada masa lalu

Isu kemunculan arwah yang membuat takut warga bekasi ini bahkan tercatat pada sebuah buku berjudul “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945 – 1949" karya Robert B. Cribb. (*)

*) Sumber : Historia

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru