“Ayo jalan, Her. Kita ke Polsek ya.” Dengan berbekal informasi barusan, saya pun segera bergerak menuju Polsek Sedati, tempat anggota melakukan pemeriksaan terhadap keluarga Roni yang pertama kali dimintai tolong dan datang ke TKP.
10 menit kemudian, saya pun tiba di Polsek itu. Langsung saja saya menuju ruang penjagaan untuk menanyakan dimana ruang pemeriksaan reskrim berada. Terlihat di sana, 3 anggota penjagaan yang berusia 50 tahunan sedang bercengkrama, minum kopi, sembari menjalankan tugasnya.
Baca juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage
“Malam, Pak. Ruang reskrim di sebelah mana ya?” Saya bertanya pada bapak-bapak anggota yang sedang berjaga itu.
“Ada keperluan apa ya, Pak?” Salah satu anggota Polsek kembali bertanya kepada saya. Ah.. Nampaknya saya tak ada tampang polisi sampai mereka bertanya seperti itu.
“Oh saya tadi dipanggil Kanit Reskrim diminta benerin komputernya beliau rusak, Pak.” Saya menjawab seadanya.
“Oh bapak masuk aja lurus, nanti setelah ruang tengah itu ruangan reskrim semua, Pak.” Salah satu bapak anggota menjawab dengan ramah. Dan saya pun melangkah masuk.
Tapi belum saja kaki saya sampai di pintu masuk gedung, tiba-tiba kanit reskrim datang dari arah dalam dan langsung berteriak menyapa saya sembari memberi hormat. “Malam, Ndan.”
“Eh, Pak Darto. Dimana pemeriksaan para saksi?”
Sayapun segera masuk gedung menuju ruang pemeriksaan meninggalkan 3 orang anggota penjagaan yang sepertinya telah sadar kalau saya bukan teknisi komputer. Tak apalah, setidaknya saya bisa memberikan mereka bahan obrolan sambil berjaga malam ini.
“Hasil interogasi keluarga gimana, Pak Darto?” Saya langsung menanyakan apa hasil yang dikerjakan anggota selama beberapa jam memeriksa adik dan kedua orang tua Roni. Seharusnya, hasil yang disampaikan akan lebih detail daripada laporan awal tadi.
Pak Darto pun menjelaskan bahwa sekitar jam 12 tadi siang, Roni datang ke rumah orang tuanya menggunakan sepeda motor milik majikannya sambil menangis dan mengatakan “bojoku tibo..bojoku tibo..”. Waktu itu juga, Roni meminta tolong agar Saudaranya membantu dirinya.
Mendengar hal itu, seisi rumah panik dan segera bergegas menuju rumah Roni. Roni berboncengan membawa orang tuanya dan Bu K (adek Roni) memanggil saudaranya yang lain, kemudian ikut menuju rumah Roni. Peristiwa di rumah orang tua Roni terjadi sekitar 10-15 menit.
Setelah itu, mereka semua masuk ke rumah dan melihat jenazah korban ada di lorong tengah dengan bersimbah darah. Selain itu mereka juga melihat banyak noda darah yang mengotori lantai dapur dan perabotan.
Karena kasihan dengan korban, mereka menggunting baju korban, lalu membersihkan badannya dengan air. Selain itu, mereka juga membersihkan noda darah yang ada di lantai dan beberapa perabotan supaya kondisinya tidak kotor.
Setelah semuanya bersih, mereka menyemayamkan jenazah korban di ruang tengah sambil menutupinya dengan kain jarik. Barulah setelah itu Pak Kades dan petugas datang untuk memeriksa kejadian yang terjadi.
“Eh, bentar Pak Darto. Jadi siapa yang laporan ke Kades?”
“Kades dapat laporan dari warga, Ndan,” jawab Pak Darto.
“Lho bukan dari keluarga korban?”
“Setahu saya bukan, Ndan.”
“Hmm.. Yaudah kalo gitu Pak Darto, saya mau cek hasil intro Roni dulu.”
Saya memungkasi percakapan saya dengan Pak Darto malam itu. Saya bergegas menuju ruangan interogasi Roni yang berada di ruangan sebelah. Nampak di ruangan itu, seorang pria berperawakan pendek dan berkaos putih sedang duduk tertunduk di hadapan pemeriksa.
Saya pun segera duduk di sebuah kursi yang menghadap pria itu dan menyapanya. “Pak Roni, sehat ya? Perkenalkan saya Kasat Reskrim yang menangani. Saya pengen tau cerita bapak tentang kejadian tadi siang, waktu istri bapak meninggal.”
Setelah itu, dengan suara lirih dan memelas, Roni menceritakan kisahnya hari itu. Pagi hari seperti biasa, Roni berangkat kerja menggunakan sepeda motornya ke pabrik kaca tempat dia bekerja. Semuanya berjalan seperti biasa sampai saat istirahat makan siang tiba.
Saat itu, Roni mengatakan kalau tiba-tiba perasaannya tidak enak dan berpikiran kalau dirinya harus pulang ke rumah. Oleh karena itu, dia bergegas pulang menggunakan motor milik majikannya dan meninggalkan motornya di pabrik.
Sesampainya di rumah, dia masuk ke kamarnya dan melihat kondisi kamar sudah berantakan dengan kaca yang berserakan. Melihat kondisi aneh itu dan belum melihat istrinya, dia pun berkata, “Lho kok kamar awut-awutan ngene, Dek.”.
Merasa tidak ada jawaban, diapun mengecek ke kamar sebelah dan tidak juga menemukan istrinya. Dia lalu mengecek ke arah dapur dan menemukan kalau istrinya sudah terbaring di lantai dapur, tak bernyawa, dan bersimbah darah.
Dia kemudian membersihkan beberapa noda darah di tubuh korban dan memindahkannya ke lorong tengah, bergerak dari posisi asli saat ditemukannya di dapur. Roni kemudian keluar rumah, meminta tolong ke tetangga dengan berteriak “bojoku..bojoku..” dan lekas kembali ke rumah.
Setelah itu dia pergi ke tempat orang tuanya di RT sebelah menggunakan motor milik majikannya untuk meminta bantuan. Cerita selanjutnya, sama dengan yang diceritakan oleh saudara dan orang tua Roni.
20 menit saya di ruangan itu dan Roni tidak memberikan keterangan lain yang berarti. Termasuk ketika saya bertanya tentang pertemuannya dengan seorang wanita pada Minggu malam, Roni hanya memberikan informasi terbatas. Hah…
“Ayo ke depan dulu, Rik. Sisakan anggota buat interogasi lanjutan.” Saya mengajak Erik untuk ke halaman depan Polsek.
“Mau ngapain, Ndan?” tanya Erik.
“Ngopi sama makan martabak. Udah ayo, cepetan!”
Kami pun berjalan menuju halaman depan Polsek. Di sana, terlihat beberapa anggota saya sedang duduk minum kopi sambil bercengkrama. Sebenarnya, tujuan saya keluar bukan karena saya ingin makan. Tapi saya ingin mencari inspirasi tentang arah penyelidikan ini.
“Anggota kumpul semua!” Saya meneriakkan perintah di halaman Polsek sehingga bisa terdengar oleh semua anggota. Memang ngopi dan sebats bisa jadi memberikan inspirasi untuk berpikir. Tapi, saya rasa kali ini akan lebih baik untuk berdiskusi daripada berpikir sendiri.
Tak lama dari itu, semua anggota telah berkumpul di depan gerbang Polsek. Nampak jelas muka lusuh anggota yang belum sempat mandi, fokus menatap saya. Di sebuah tempat di tepi jalan tanpa atap itu, kami memulai diskusi kami. Rapat kali ini, kami adakan di bawah sinar rembulan.
“Yak, sekarang saya buka ruang diskusi sambil kalian menyampaikan pelaksanaan tugasnya masing-masing. Tujuannya, kita bisa mengungkap kejadian ini sebelum ayam berkokok. Ingat, golden time harus kita jaga dan upayakan. Kau mulai dulu, Mad.”
Saya memberikan kalimat pembuka dalam rapat malam itu. Amad, salah satu kanit, saya tunjuk sebagai yang pertama untuk menyampaikan pelaksanaan tugasnya.
“Siap, bang. Saya sampaikan hasil penelusuran motor-motor yang ada di TKP.” Amad pun mengawali diskusi itu.
“Jadi dari beberapa motor yang ada di TKP, kami sudah menyelidiki 3 identitas motornya. Tapi dari ketiga motor itu belum bisa kami runut hubungannya ke Roni atau korban karena pemilik awal motor itu sudah menjual ke orang lain yang bukan Roni, bang.”
“Kalau memang kita runut semua motor itu untuk mencari hubungan dengan korban, sepertinya butuh waktu, bang. Dan itu ga bisa malam ini.” Hmm.. Amad menyampaikan hasil pekerjaannya yang menemukan kendala. Tapi, itu lebih bagus daripada tak berbuat apa-apa.
“Terus tentang kemungkinan pelaku perampokan, bang.. Kami sudah gerakkan agent kijang tapi belum ada informasi tentang pelaku yang bermain di daerah situ. Tapi kami masih nunggu juga info dari agent pemulung. Kalau itu ga ada hasil juga, lha ini saya mohon petunjuk.”
Amad menyampaikan kebuntuannya terhadap informasi perampok rumah kosong di daerah tersebut. Agent-agent yang digerakkan juga belum dapat memberikan informasi yang berarti. “Tapi, bang..” Belum selesai saya berpikir, Amad kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Ada yang aneh sama barang yang dibilang hilang sama Roni. Katanya ada 3 HP android, uang 20 juta, dan perhiasan yang hilang. Tapi lihat sendiri itu lho, HP Roni aja HP jadul yang cuma bisa SMS, bang. Terus ngapain dia punya 3 HP Android?”
“Itu yang pertama, bang. Yang kedua, siapa yang bisa tau ada uang 20 juta di kamarnya? Kalau uang itu memang ga pernah ada gimana, bang?” Kali ini Amad menyampaikan penalaran yang cukup masuk akal.
HP yang digunakan oleh Roni saat kami temui, memang jauh dari kata canggih. HP itu, lebih mengingatkan saya pada HP Esia Hidayah yang muncul 14 tahun lalu. Kalau saja dia iseng untuk sekedar punya, seharusnya dia tidak memiliki lebih dari satu.
Selain itu uang cash sebanyak 20 juta. Apakah mungkin seorang pekerja pabrik menyimpang uang 20 juta secara cash? Zaman sekarang ini seseorang memilih menyimpan uang tunai? Berapa besar kemungkinan hal itu terjadi? Atau.. Memang uang itu sebenarnya tak pernah ada?
“Terus, CCTV gimana?”
“Siap, Ndan. Kami menemukan CCTV yang menyorot jalan tapi ga menemukan ada orang lewat sebelum kejadian.” Salah seorang anggota yang tugaskan mengecek CCTV langsung saja menjawab pertanyaan saya.
“Oke, Ada lagi?” Saya melontarkan pertanyaan untuk menampung saran dan ide anggota. Tapi, nampaknya mereka juga kehabisan bahan untuk bicara. Memang, semua temuan sudah mengerucut. Tapi saya belum menemukan temuan kunci dari kasus ini.
“Kita lanjutkan dan perdalam pemeriksaan Roni dan keluarganya, Ndan.” Erikpun menyahut dengan ide standar.
"Oke, Rik. Kalau itu tetap."
“Saya balik cek TKP ulang aja, bang.” Amad pun menjawab tak mau kalah dengan Erik.
Baca juga: Satu Orang Jadi Tersangka di Kasus Kekerasan Antar Kelompok Pemuda
“Kau mau ngapain lagi, Mad?”
“Ya, ngapainlah gitu bang. Biasanya kan abang juga bolak-balik TKP kalo lagi buntu. Siapa tau ada yang kelewat. Lagian biasanya kalau abang habis ini ngerokok sama ngopi, pasti ada inspirasi.” Amad menjawab alasannya kembali ke TKP dengan mendasari kebiasaan saya.
“Ah, yasudalah. Daripada kalian ngopa-ngopi aja ga ada kerjaan. Ngabisin duit Kasat aja. Udah sana berangkat wahai anak-anak kijangku!” Saya akhiri rapat malam itu dengan 2 langkah lanjutan. Saya memang belum tau hasilnya, tapi saya akan memantau prosesnya.
Dan sesuai saran Amad, saya pun duduk di depan gerbang Polsek, memesan kopi hitam tanpa gula, dan menyalakan sebatang rokok. Saya biarkan sementara anggota berkeliling sembari duduk di sini menjaga lilin.
Untung saja, di sebelah Polsek ada sebuah warung kopi yang lupa untuk tutup. Jadi, saya tak perlu khawatir mencari asupan kopi hitam sampai subuh nanti.
Satu jam berlalu dan gelas kopi pertama saya sudah menunjukkan ampasnya. Tim yang sedang bekerja belum mengabarkan hasil yang berarti. Sayapun, di sini hanya terduduk dan belum mendapatkan inspirasi.
“Kopi lagi segelas, Cak!” Saya memberanikan diri untuk memesan gelas kopi kedua saya malam ini. Kalaupun mata saya akan terjaga setelahnya, saya rasa itu hal bagus karena tanda-tanda akhir penyelidikan juga belum terlihat.
“Monggo, Pak.” Beberapa menit kemudian si penjaga warkop mengantarkan pesanan kopi saya. Dia meletakkan gelas kopi di kursi kayu panjang tempat saya duduk. Kali ini saya tidak duduk di dalam warung. Saya memilih untuk duduk di tepi jalan sambil mengamati orang berlalu-lalang.
Saya mencoba memutar kembali runtutan langkah yang saya lakukan tadi. Saya bayangkan semua temuan dan saya susun ulang semua abstraksi itu di kepala agar punya gambaran yang konkret. Arrgh.. Apa yang saya lewatkan?
“Dugg. Praang.” Lamunan saya terbuyarkan oleh suara gelas kopi saya yang jatuh akibat kursi panjang yang saya duduki terhamtam oleh kaki salah satu pengunjung warkop yang lewat.
Gelas kopi saya jatuh. Isinya tumpah semburat sampai baju putih yang saya kenakan terkena noda cipratan kopi yang jatuh tadi. “Aduh, maaf Mas. Maaf.. Saya ga sengaja.” Pengunjung itupun segera meminta maaf atas ketidaksengajaan yang dilakukannya.
Ealaah.. Kok ya ada-ada saja kejadian malam ini. Mana ini baju putih lagi. Kalo kena cipratan kopi gini kan kelihatan banget. Eh tapi benar juga.. Cipratan! Cipratan!!! “Maturnuwun ya, Mas!”
Saya mengucapkan terimakasih kepada pengunjung tadi sambil tersenyum lebar.
Wajahnya terlihat bingung karena dia justru mendapat ucapan terimakasih dan senyuman setelah menumpahkan gelas kopi saya. Tapi sebenarnya, bukan karena gelas yang tumpah itu saya berterimakasih.
Saya bergegas masuk ke dalam Polsek dan langsung menuju ruang pemeriksaan Roni. “Kamu tadi kerja pake baju apa, Ron? Jawab!” Langsung saja saya bertanya kepada Roni tanpa aba-aba. Erik dan anggota lainnyapun hanya bisa melihat saya tanpa berkomentar.
“Nggih ngagem kaos niki, Pak.” Roni menjawab pertanyaan saya sambil menunjukkan kaos putih lengan pendek yang sedang dia pakai.
“Ah, ga mungkin. Kamu ganti baju sebelum pergi ke tempat orang tuamu, kan?” Saya membalas seakan tidak percaya dengan jawaban Roni.
“Iya itu, Ndan. Ga mungkin. Waktu kerja dia pake baju lengan panjang karena di pabrik kaca rawan terkena percikan kaca. Semua pekerja pake baju lengen panjang pasti.” Erik yang telah mengecek lokasi kerja Roni langsung saya membenarkan perkataan saya dengan penekanan.
“Oiya, Pak. Tadi setelah liat istri saya jatuh penuh darah, kan saya bersihin badannya. Nah itu saya ganti baju pakai kaos ini,” jawab Roni.
“Nah terus sekarang baju yang lama dimana?” “Ya masih di rumah saya taruh di belakang-belakang itu,” tambah Roni.
Segera saja saya menelpon Amad yang saat ini berada di TKP. “Le. Cari kaos atau baju lengen panjang yang ada di sana. Baju yang dipake dia waktu kerja.”
“Siap, bang!” Amad langsung saja menjawab dan beraksi seolah paham apa yang saya maksudkan.
5 menit berselang, Amad pun mengirim sebuah foto ke dalam whatsapp saya. Terlihat sebuah kaos lengan panjang berwarna hijau bertuliskan “SMP NEGERI”.
“Ini kaosnya, Ron?” Saya pun menunjukkan foto kaos itu kepada Roni.
“Inggih, Pak.”
“Cek kaosnya, Mad. Ada noda cat yang sama kaya di dapur ga?” Saya ketikkan perintah lanjutan kepada Amad. Tak lama kemudian, Amad membalas chat saya dengan beberapa foto yang menunjukkan noda-noda cat yang membekas di kaos itu.
Baca juga: Sok Jago Bawa Golok di Jalan, Pria Asal Berbek Ditangkap Sat Samapta Polresta Sidoarjo
Nah.. ini kuncinya! Dari olah TKP, korban diketahui sempat memberikan perlawanan kepada pelaku dengan cara melemparkan cat hingga akhirnya cat itu bertebaran di dinding dapur. Berarti, di badan pelaku pasti tersisa juga noda cat itu.
“Jadi gimana, Ron? Ini kaosmu ada noda cat yang sama dengan yang berceceran di dinding dapur, lho.. Cuma pelaku yang bisa mendapatkan noda ini,” tegas saya ke Roni.
“Emm.. Itu kena noda pas saya ngecek keadaan istri saya tadi, Pak. Bukan saya pelakunya.”
Roni masih belum menyerah dan bersikukuh dengan alasannya. Tapi ada satu hal yang dia lewatkan. “Ga bisa gitu, Pak Roni.. Noda ini noda cipratan cat, bukan sapuan cat. Kalau bapak kena cat setelah kejadian, tentu bekasnya bentuk usapan; bukan cipratan.”
Saya memberikan penjelasan atas perbedaan bentuk noda yang ditimbulkan dari kejadian yang berbeda. Noda yang mungkin hanya didapatkan oleh pelaku yang berhadapan dengan korban saat terjadi perlawanan.
Olah TKP yang baik dan hukum fisika telah memberikan sebuah kesimpulan yang tak terbantahkan. Rentang waktu kejadian dan ketiadaan orang lain selain Roni juga telah tergambar. Motifpun, sudah tergambar oleh pengumpulan keterangan saksi.
Sekarang, saya sudah tidak perlu lagi menunggu kejujuran Roni. Saya anggap ini sebagai sebuah tindakan tindakan tidak kooperatif yang justru dapat memperberat hukuman. “Udah, fix. Tetapkan Roni sebagai tersangka dan TAHAN!”
Saya memberi perintah pamungkas kepada tim untuk melakukan pemrosesan Roni sebagai tersangka dan melakukan penahanan. Saya langkahkan kaki ke luar ruangan dengan langkah tegap dan muka tersenyum puas.
Tapi tepat ketika saya di pintu keluar, tiba-tiba Roni menangis dan bersuara. “Hh..hh.. Iya Pak, betul.. Saya pelakunya.. Saya jengkel, Pak..” Seketika saya menghentikan langkah dan berbalik badan. Saya ingin memberikan kesempatan terakhir pada Roni untuk berkata jujur.
“Jadi gimana kejadiannya?” Saya coba mengetes kejujuran Roni.
“Jadi siang itu waktu istirahat kerja, saya pulang ke rumah, Pak. Terus sampai rumah, istri saya sedang di dapur, masak. Setelah itu dia ngomong ga enak, makanya saya jengkel terus saya pukul kepalanya pakai tabung.”
Roni menjelaskan alasannya sendiri sampai dirinya tega membunuh istrinya. Dirinya berkata kalau dia kesal atas perkataan istrinya. Tapi saat ini, saya lebih percaya temuan fakta saya daripada hanya sekedar perkataan seseorang.
“Jadi, kamu pukul berapa kali, Ron?”
“Setelah istri saya jatuh, saya pukul lagi kepalanya menggunakan tabung gas, dua kali. Setelah itu saya bingung, Pak.. Saya khilaf..” Roni menjawab dan melanjutkan tangisnya.
Setelah itu, saya meminta Roni untuk memperagakan bagaimana dia melakukan perbuatan keji itu pada istrinya.
Saat melihat Roni memperagakan ulang bagaimana caranya menghantam korban dengan tabung gas 3 kg, saya sungguh tak habis pikir. Di balik sosok pria kecil bersuara lirih yang selalu tertunduk itu, ternyata tersimpan hasrat menyakiti yang bahkan saya sendiri tak terpikirkan.
Bahkan kepada tersangka perempuan saja, saya tidak akan tega berkata kasar apalagi memukul. Apalagi pada seorang perempuan yang telah diikrarkan di bawah janji suci di hadapan Sang Pemberi Kehidupan untuk menjadi tanggungjawab saya seumur hidup.
Teruntuk para lelaki, selalu ingatlah untuk menjaga kelaki-lakianmu. Gunakan kekuatan untuk melindungi, bukan menyakiti. Gunakan amarah untuk membela, bukan melampiaskan. Dan gunakan rasamu untuk menyayangi, bukan mencari banyak hati.
“Ah sudahlah, Pak Roni. Kita liat aja proses nanti seperti apa. Sudahlah ya.. Ga usah nambahin kerjaan lagi. Kooperatif aja. Ga usah bohong-bohong lagi.” Saya memungkasi percakapan saya dan Roni pagi itu. Badan dan pikiran saya sudah cukup lelah.
Akhirnya, tunai sudah.. Sebuah misteri yang menuntut saya menggunakan multidisiplin ilmu dalam memecahkannya. Sebuah pengungkapan kasus yang menuntut saya untuk selalu berbuat cermat, scientific, dan logis. Sebuah pengungkapan perkara di akhir masa pengabdian.
Tanpa sadar, misteri ini memberikan dorongan dan pelajaran tersendiri buat saya. Mendorong saya untuk terus menjaga kualitas walau perjalanan sudah hampir akan usai. Dan mengajarkan saya untuk terus menjaga NYALA API sampai akhir.
Akhirnya, purna sudah cerita ini. Jaga langkah, Jaga ritme, Dan JAGA NYALAMU. Sampai bertemu lagi, Kijang-1 Ganti. (*)
*) Source : Prabu_Abimanyu (a.ka Kompol Tiksnarto Andaru Rahutomo / Kasatreskrim Polresta Sidoarjo)
Editor : Syaiful Anwar