Mengapa Tidak Ada "Gus" di Muhammadiyah?

Reporter : -
Mengapa Tidak Ada "Gus" di Muhammadiyah?
Muhammadiyah

Judul tulisan ini terinspirasi dari artikel yang pernah viral di kalangan warga Muhammadiyah beberapa tahun yang lalu. Artikel tersebut berjudul "Mengapa Tidak Ada Habib Di Muhammadiyah?" ditulis oleh Andi Azhar salah satu kader Muhammadiyah.

Jika dalam artikel sebelumnya dibahas soal tidak adanya habib di Muhammadiyah (selain Habib Chirzin, alumni Ponpes Gontor yang jadi Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah sebelum Din Syamsuddin, itupun memang namanya habib, bukan gelarnya). Dalam artikel ini, saya akan coba membahas fenomena yang sedang hangat saat ini, yakni seputar "gus-gusan". Kebetulan, sama dengan habib, kita juga tidak akan menemukan adanya Gus di Muhammadiyah.

Baca Juga: Muhammadiyah Bikin Gebrakan Lagi, Penantang Gojek Dan Grab, Siap Layani Ummat

Hanya ada dua Gus yang saya kenal di Muhammadiyah. Pertama adalah Gus Bach, Ketua Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pengurus Pusat Muhammadiyah (saya belum tahu sejarah kenapa dia disebut Gus). Kedua adalah Gus Pur, Dosen Fisika Institut Teknologi Sepuluh Novemer (ITS) dan penulis buku “Ayat-Ayat Semesta”. Beliau menggunakan nama Facebook Gus Pur karena nama aslinya adalah Agus Purwanto. Jadi Gus di sini adalah kependekan dari Agus.

Mari kita mulai. Awal mula saya kenal dengan sebutan Gus tentu saja dari Gus Dur yang waktu itu jadi Presiden Republik Indonesia (RI). Saya yang masih berusia Sekolah Dasar (SD) bertanya kepada ayah saya. Kenapa sosok yang sudah tua itu dipanggil dengan nama saja? Gus Dur? Kenapa tidak dipanggil Pak Gus Dur?

Ayah saya lalu menjelaskan bahwa Gus itu sendiri sudah merupakan sebutan yang artinya kurang lebih kak atau bang. Saya pun mengerti.

Selain Gus Dur, ada juga tokoh lain yang juga dipanggil dengan panggilan khas walau bukan Gus, namun "Cak". Misalnya Cak Nur untuk Nurcholish Madjid dan Cak Nun untuk Emha Ainun Nadjib.

Pada mulanya saya pikir Cak dengan Gus ini setara secara makna, beda bahasa saja. Belakangan saya tahu, ternyata tidak. Gus ini lebih sakral, artinya putra kiai. Kalau Cak siapapun bisa dipanggil Cak.

Ketua Umum PKB pernah ingin ganti gelarnya dari Cak Imin menjadi Gus AMI, tapi gagal, orang sudah terlanjur akrab dengan panggilan Cak Imin.

Lalu bagaimana sejarah munculnya panggilan Gus ini di kalangan kiai? Saya tidak tahu. Namun saya pernah membaca dalam kitab ta'limul muta'allim karya Az Zarnuji, salah satu cara agar kita sukses belajar adalah memuliakan guru. Tapi tak hanya itu, kita juga dianjurkan memuliakan kerabat dan keturunan dari sang guru.

Baca Juga: Sikap Resmi Muhammadiyah soal Peristiwa di Rempang

Apakah karena ini keturunan kiai dipanggil Gus? Lalu harus dihormati juga? Mungkin saja.

advertorial

Eksistensi Gus ini juga cukup besar di kalangan Nahdiyyin. Kata Gus sudah mempunyai jamak taksir (yang belajar nahwu pasti paham apa itu jamak taksir), yakni gawagis. Jamak taksir itu bentuk plural dari kata Gus.

Dalam muktamar Nahdalatul Ulama (NU), pernah muncul komunitas Asosiasi Para Gus yang disingkat Asparagus. Ya saya tidak becanda, komunitas ini memang ada, walau namanya mirip sayuran.

Sekarang barulah kita ke topik utama, kenapa tidak ada Gus di Muhammadiyah? Alasan utamanya karena prinsip egalitarianisme, dimana dalam Muhammadiyah, guru atau orang tua diperlakukan dengan "lebih setara" dibanding kawan-kawan Nahdiyin. Tentu maksudnya bukan berarti tidak ada takzim kepada guru. Namun bentuk takzimnya sebatas salim tangan menyentuh dahi, tidak sampai mencium punggung tangan guru.

Baca Juga: Kekuatan Sang Surya yang Membangkitkan Dua Matahari Kembar

Barangkali warga Muhammadiyah menerapkan perkataan Imam Ali, “Bukanlah seorang pemuda yang mengatakan inilah ayah saya, seorang pemuda adalah yang mengatakan, inilah saya!”.

Muhammadiyah juga terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa penghargaan pada masa jahiliyah ditentukan oleh keturunan. Penghargaan pada masa Islam ditentukan oleh kinerja atau amal. Prinsip ini menurut saya mempunyai sisi positif, namun ada negatifnya juga. Positifnya setiap orang bisa berkembang di Muhammadiyah tanpa melihat dia anaknya siapa. Senior saya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), asli Madura dan dari keluarga Nahdiyyin. Sekarang jadi dosen di salah satu Universitas Muhammadiyah.

Namun barangkali negatifnya adalah banyak pimpinan Muhammadiyah yang tidak bisa mengharapkan anaknya mengikuti jejak perjuangannya. Tentu saja maksudnya sebagai pimpinan dan kader. Anak-anak dari pimpinan Muhammadiyah banyak yang lebih memilih jadi dokter, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), techbro, dan lain-lain. Tidak jadi kader Muhammadiyah seperti ayah atau ibunya. (*)

*) Penulis : Robby Karman

Editor : Bambang Harianto