"Indonesia bukan satu-satunya “kuburan massal” kaum penulis. Dunia memang sedang menggelar upacara kematian mereka."
Apa jadinya sebuah bangsa tanpa penulis? Jawabannya sederhana: negara tetap ada, jalan tol tetap dibangun, pilpres tetap gaduh, buzzer tetap hidup — tapi pikiran kritis perlahan mati.
Baca juga: Sekolah Dasar di Jember Batasi Akses Informasi untuk LSM dan Wartawan
Dulu, di era 1980-an, menjadi penulis esai adalah impian banyak wartawan. Setelah kenyang makan nasi kotak ketika liputan dan kopi dingin di kantor redaksi, mereka membayangkan satu hari kelak akan “naik kelas”: menjadi penulis opini, kolumnis atau esais yang dihormati. Tingkatannya lebih mulia, bayaran lebih layak. Kala itu pena dianggap bukan hanya alat tulis tapi senjata intelektual.
Tiga puluh tahun berselang, ternyata pena itu bukan patah tapi dipreteli nilainya. Media cetak bangkrut satu per satu, biaya kertas melambung dan media online datang sebagai “juru selamat” yang justru melahirkan kebebasan bercampur kekacauan.
Pasca-Reformasi, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dihapus. Semua orang bisa bikin media dengan modal Rp 5 juta: bikin PT, sewa notaris, beli domain dan hosting, selesai. Urusan wartawan? Ya siapa pun bisa. Tinggal tunjuk teman, tetangga atau mantan pacar, asal bisa pegang HP dan upload berita. Bayaran? “Cari sendiri lah ...”
Tak heran kini ada 60.000 media di Indonesia, tapi yang diverifikasi Dewan Pers tidak sampai 2000. Artinya, 58.000 sisanya adalah hutan belantara pers. Banyak yang tak paham kode etik, asal kejar klik, judul bombastis, isi seadanya. Tak jarang, berita jadi alat “cari setoran”.
Hasilnya? Dewan Pers kebanjiran aduan. Tahun 2024 saja ada 600 pengaduan. Tahun 2025, baru setengah semester, sudah 200-an kasus. Tak semua bisa diselesaikan. Media liar tumbuh lebih cepat daripada aparat yang hendak menertibkan.
Di tengah situasi kacau ini, obsesi wartawan menjadi penulis esai praktis terkubur. Penulis opini tidak lagi dianggap profesi prestisius, melainkan pengangguran intelektual. Bayaran? Jangan tanya. Kecuali Kompas dan Tempo, hampir semua media besar sudah tak lagi membayar honor tulisan. Kolumnis sekarang statusnya “kismin terhormat.”
Yang lebih ironis, iklan sebagai nyawa media, kini lari ke influencer, buzzer dan media sosial. Iklan lebih suka wajah cantik dengan filter dan suara merdu ala TikTok daripada esai reflektif penuh argumentasi.
Lalu apa jadinya? Wartawan senior yang pensiun kini lebih realistis buka warung daripada nulis opini. Kata seorang mantan anggota Dewan Pers: “Kalau nggak kuat iman dan spiritual, ya bubar jalan. Dunia wartawan tidak ada uangnya hanya penuh dengan kata-kata.”
Fenomena Global
Fenomena “matinya penulis” bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara. Di Amerika Serikat, media cetak seperti The Village Voice dan The Boston Phoenix mati. Sementara The New York Times selamat hanya karena mengubah pola berlangganan secara digital. Ribuan jurnalis kehilangan pekerjaan, kolumnis senior terpaksa mengajar menulis di universitas.
Di Inggris, jurnalis opini yang dulu berkuasa kini kalah pamor dengan Youtuber politik atau podcaster yang bisa meraup donasi lewat Patreon - skema urunan dana. Pena kalah dengan mikrofon.
Baca juga: Penganiayaan Wartawan di Situbondo Tambah Daftar Kekerasan Jurnalis
Sedangkan di Filipina dan India media online menjamur tak terkendali. Wartawan dan penulis opini sering hanya jadi “free content provider” — pengisi halaman gratis. Uang iklan? Lagi-lagi habis diborong influencer medsos.
Jadi, jangan khawatir. Indonesia bukan satu-satunya “kuburan massal” kaum penulis. Dunia memang sedang menggelar upacara kematian mereka
Kalau dibiarkan, tulisan esai kritis akan benar-benar tinggal sejarah. Negara hanya akan dijejali propaganda, postingan iklan dan thread medsos penuh hoaks. Maka diperlukan revolusi pena — meski tanpa darah berikut:
Subsidi Intelektual. Kalau negara bisa memberi subsidi pupuk dan listrik, mengapa tidak memberi insentif bagi penulis esai bermutu? Bukan sekadar lomba menulis berhadiah sertifikat tapi program apresiasi reguler.
Model Bisnis Baru. Penulis jangan berharap lagi pada media. Belajar dari luar negeri, mereka bisa membangun basis pembaca lewat Patreon, Substack atau platform berlangganan. Pembaca langsung membiayai penulis.
Kolaborasi dengan Kampus dan Komunitas. Penulis bisa bermitra dengan universitas, LSM atau pusat studi. Tulisan esai tak lagi sekadar “opini” tapi bagian dari gerakan literasi publik.
Kurasi Media Berkualitas. Dewan Pers atau asosiasi bisa membuat white list media yang benar-benar kredibel dan masih membayar tulisan berkualitas. Dengan begitu penulis harus menitipkan karyanya ke mana.
Baca juga: Ungkapan Istri Wartawan Korban Kecelakaan di Bangkalan
“Matinya kaum penulis” memang sudah di depan mata. Tapi obituari ini belum final. Pena bisa hidup kembali jika bangsa sadar bahwa esai, opini atau tulisan kritis adalah vitamin peradaban.
Negara tanpa penulis? Sama seperti tubuh tanpa imun. Ia akan kuat sebentar namun beberapa saat kemudian tumbang.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti bergantung pada buzzer, berhenti menunggu media, dan mulai membangun kembali tradisi menulis — meski dari sudut warung kopi, meski tanpa honor, meski hanya dibaca segelintir orang.
Sejarah tak pernah ditulis oleh iklan tapi oleh pena-pena kecil yang keras kepala. (*)
*) Penulis : Rokimdakas
Surabaya, 19 Agustus 2025
Editor : Zainuddin Qodir