Raden Ayu Tan Peng Nio, 'Mulan' dari Tanah Jawa

Reporter : Redaksi
Raden Ayu Tan Peng Nio

Awal September 2020, Studio Disney merilis film ”Mulan”.

Di Jawa, pada tahun 1740 ada kisah serupa. Seorang gadis Tionghoa ikut berperang melawan VOC atau kompeni Belanda dalam Perang Geger Pacinan.

Mulan yang diperankan artis Yifei Liu.

Film Mulan, bercerita tentang pahlawan perempuan dalam sejarah China abad ke-4 hingga ke-6 Masehi yang menyamar menjadi lelaki untuk menjalani dinas militer dan berperang.

Di Pulau Jawa, pada 1740 ada kisah serupa.

Seorang gadis Tionghoa yang kelak menikah dengan bangsawan Jawa ikut berperang melawan VOC atau kompeni Belanda dalam Perang Geger Pacinan. Perempuan tersebut adalah Raden Ayu (RA) Tan Peng Nio, istri dari KRT Kolopaking III.

Novelis Seno Gumira Aji Darma menyebut Tan Peng Nio sebagai ”Mulan van Java”.

Tan Peng Nio disebut-sebut sebagai kerabat Kapitan Sepanjang, Panglima Pasukan Tionghoa yang bertugas di bawah Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning dalam perang gerilya melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur semasa itu.

Keberadaan Tan Peng Nio sebagai petempur perempuan memberi warna dalam historiografi Nusantara dan Jawa tentang hubungan antara masyarakat Jawa dan Tionghoa sebagai teman seperjuangan.

Sejarawan dari Pura Mangkunegara, KRMH Daradjadi Gondodiprodjo, yang menulis buku Geger Pacinan 1740 – 1743.

Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC menjelaskan, Tan Peng Nio menjadi bagian dari pasukan Kapitan Sepanjang dan bertempur di garis depan dalam perang gerilya masa itu.

Para prajurit Tionghoa yang bergerak bersama para prajurit Mataram (Jawa) sama-sama mengenakan busana hitam-hitam dan bergerak lincah dari satu mandala pertempuran ke wilayah lainnya membuat pihak kompeni Belanda berikut pasukan-pasukan bantuan yang didatangkan, terutama dari Sumenep, Madura, kewalahan.

Kisah tentang prajurit perempuan dan kepiawaian mereka dalam berperang diabadikan dalam beragam tari Bedhaya di Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai contoh tarian Retno Tinandhing, diilhami olah gerak prajurit perempuan Jawa, masih ditampilkan di Keraton Surakarta.

Sejarawan Ann Kumar dalam buku Prajurit Perempuan Jawa mengutip keterangan utusan VOC dari Batavia, Rijklof van Goens pada pertengahan abad ke-17 di Keraton Mataram di Kartasura telah menyaksikan kepiawaian ”Prajurit Estri”, yakni 150 serdadu perempuan dalam menggunakan senjata, menyanyi, menari, dan memainkan alat musik.

Selang kemudian pada abad ke-18, semasa berjuang dalam Perang Geger Pacinan, Tan Peng Nio berkenalan dengan KRT Kolopaking III alias Sulaiman Kertowongso.

Keluarga Kolopaking adalah keluarga bangsawan yang berkuasa di wilayah Banyumas, dekat perbatasan Jawa Barat.

Sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, yang mempelajari sejarah Pangeran Diponegoro sejak 1971, mengatakan, keturunan keluarga Kolopaking pasca-Perang Geger Pacinan pada masa Perang Diponegoro 1825-1830 ikut bertempur bersama Diponeogoro.  Keberadaan prajurit perempuan di Jawa, menurut Peter Carey, juga dikenal dengan kemampuan mereka berkuda dan menggunakan senjata.

Setelah Perang Geger Pacinan berakhir, diketahui Tan Peng Nio yang dinikahi KRT Kolopaking III diberi gelar Raden Ayu sebagai bagian dari keluarga bangsawan Jawa yang menetap di Kutowinangun, Kebumen.

Di batu nisan RA Tan Peng Nio disebut anak dari pernikahan dengan KRT Kolopaking III adalah:

KRT Endang Kertawangsa,

RA Mulat Ningrum,

dan menantu RA Jati Arum,

R Tjondro Dahono,

R Kertalaksana.

Para cucu:

R Kertawangsa Gandawijaya,

R Kertawangsa Tjandrawijaya,

RA Eguningrum,

R Bintara Ajiwijaya, dan

R Harjo Jadmiko.

KRT Kolopaking III memiliki wilayah kekuasan di daerah Panjer, Kebumen.

Makam RA Tan Peng Nio di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, dibangun dengan gaya makam Tionghoa.

Makam tersebut terletak di tengah persawahan dan masih diziarahi hingga kini.

Raden Ayu Tan Peng Nio adalah istri kedua dari K.R.A.T. Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso).

Keempat istri Kolopaking III adalah:

1. Raden Ayu Sekar Mayang Sari (putri Kyai R.

Ngabei Reksoprojo II),

2. Raden Ayu Tan Peeng Nio (putri dari Champa,

anak dari Jenderal Tan Wan Swee),

3. Raden Ayu Ambini (putri K.R.T. Arung Binan II),

4. Raden Ajeng Sekar Lasih (putri K.R.A. Aryo

Danurejo II)

® Ringkasan.

Tan Peng Nio adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee yang berselisih pendapat dan melakukan pemberontakkan yang gagal terhadap Kaisar Kien Long dari Dinasti Qing, Manchuria .

Jenderal Tan Wan Swee lalu menitipkan putrinya yang bernama Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Saat kudeta gagal, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singapura kemudian ke Sunda Kalapa (Jakarta).

Pada saat terjadi huru-hara yang terkenal dengan Geger Pecinan (pada tahun 1740) dimana terjadi pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC, diceritakan bahwa Lia Beeng Goe dan Tang Peng Nio mengungsi ke arah Timur hingga tiba di Kutowinangun dan bertemu dengan Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata.

Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun oleh Pangeran Garendi, yaitu dari tahun 1741 - 1757, maka Tan Peng Nio dikabarkan bergabung dalam 200 pasukan K.R.A.T. Kolopaking II yang dikirimkan untuk membantu pasukan Pangeran Garendi.

Tan Peng Nio dikabarkan menyamar menjadi prajurit laki-laki.

Paska peperangan berakhir di meja perundingan Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Putra K.R.A.T. Kolopaking II, yaitu Raden Sulaiman Kertowongso, yang pernah tergabung dalam 200 pasukan Panjer Rinå yang dikirim dan bergabung dengan Pangeran Garendi, pada akhirnya menikahi Tang Peng Nio dan kemudian menggantikan ayahnya menjadi K.R.A.T. Kolopaking III. (*)

*) Source:  R. Tirto Wenang Kolopaking dalam catatan Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Kiai Geng Mangir – Kolopaking – Arung Binang, Trah Kolopaking, 2005:256).

Makamnya ada ditengah sawah di Jatimulyo Kebumen.

Editor : Zainuddin Qodir

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru