Mayor Dedi Hasibuan membawa sekitar 40 Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) berseragam dinas untuk menggeruduk Mapolrestabes Medan pada 5 Agustus 2023, dengan tujuan melakukan intervensi terhadap proses hukum kasus mafia tanah dengan Tersangka ARF (Keluarga Mayor Dedi). Mayor Dedi, dkk., juga meminta agar Penyidik menangguhkan Penahanan Tersangka ARF.
Peristiwa penggerudukan tersebut, mendorong Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasasi Indonesia (PBHI) untuk menegaskan beberapa pelanggaran yang terjadi. Pertama, terjadi dugaan tindak pidana berupa menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice) sebagaimana Pasal 221 KUHP, kemudian kedua, pelanggaran profesionalitas berupa disiplin militer pada UU TNI No. 34 Tahun 2004 karena bertindak di luar Tupoksi TNI sebagai alat pertahanan negara.
Baca juga: Dua Remaja Diduga Anggota Geng Motor Ditangkap di Medan
Keduanya sepatutnya ditindak tegas, baik obstruction of justice oleh Kepolisian, maupun pelanggaran profesionalitas yang harus diusut oleh Puspom TNI dan Panglima TNI serta pengawasan dan penindakan lebih ketat Kementerian Pertahanan dan Menkopolhukam.
Alih-alih diperiksa dan ditindak, pada Kamis 10 Agustus 2023, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro justru menyatakan beberapa hal. pertama, Mayor Dedi hadir sebagai penasihat hukum Tersangka ARH dengan merujuk pada SEMA No. 02/197.
Kedua, Tersangka ARH adalah keluarga dari Mayor Dedi yang merupakan Anggota TNI sehingga berhak mendapat bantuan pendampingan hukum didampingi anggota TNI sebagai kuasa hukumnya.
PBHI menilai bahwa pernyataan Kababinkum TNI melanggar atau bertentangan dengan peran TNI, Profesi Advokat, hingga makna bantuan hukum dalam proses penegakan hukum, sehingga justru memperkeruh keadaan dan menyesatkan pemahaman publik.
Bantuan Hukum, sebagaimana diatur oleh UU No. 16 Tahun 2011, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas bantuan hukum karena merupakan hak asasi manusia, namun mekanisme teknisnya telah ditetapkan, yakni bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, melalui organisasi bantuan hukum yang terverifikasi dan terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
Jika, bantuan hukum yang dimaksud merujuk pada Profesi Advokat, justru semakin melenceng jauh, di mana UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat justru melarang Anggota TNI dan Polri untuk menjadi Advokat.
UU Advokat menyatakan bahwa Advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, dan merujuk pada KUHP Pasal 92 ayat (3), “semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”.
Pun demikian dengan SEMA No. 02/1971 yang dijadikan dasar hukum oleh Kababinkum TNI, di mana Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin dalam SEMA No. 2 tahun 1971.
Baca juga: Satsamapta Polrestabes Medan Tangkap Dua Pencuri Besi
Apabila Kababinkum TNI menggunakan Pasal 50 ayat (3) yang menyatakan “Keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan meliputi.. (c). bantuan hukum”, maka pertanyaannya apakah berlaku di lingkup Peradilan Umum, sedangkan TNI berkali-kali menolak pemeriksaan Anggotanya di lingkup Peradilan Umum termasuk Peradilan Koneksitas.
Pernyataan Kababinkum Janggal dan Memperkeruh Keadaan
Pernyataan Kababinkum TNI pada satu waktu yang sama telah bertentangan atau melanggar hukum, profesionalitas Anggota TNI sekaligus mengambil alih Profesi Advokat sendiri. Bukannya justru bertindak tegas demi menjaga “marwah” kelembagaan TNI dan menjunjung tinggi sumpah prajurit TNI. Kejanggalan pernyataan Kababinkum TNI malah memperkeruh keadaan, karena selain menjadi satu tindakan yang melanggar dan melegalisasi pelanggaran itu sendiri, juga telah membuat kebingungan publik karena pemahaman yang salah.
PBHI menegaskan kepada Presiden Jokowi, untuk:
1. Memerintahkan Menkopolhukam, Mahfud MD dan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto agar memeriksa dan menindak segera dan secara menyeluruh Panglima TNI, Kababinkum TNI
Baca juga: 3 Pelaku Geng Motor Ditangkap Polrestabes Medan
beserta jajaran prajurit yang melakukan pelanggaran hukum, profesionalitas dan menimbulkan kebingungan publik yang terkait atas peristiwa di atas;
2. Menkopolhukam, Mahfud MD dan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan Panglima TNI, agar segera melarang tegas Anggota TNI untuk bertindak sebagai Advokat;
3. Mengeluarkan kebijakan Perppu tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk mempertegas batas peran dan tupoksi Anggota TNI dalam Sistem Peradilan, karena kondisi kedaruratan dan ketidakrelevanan hukum. (*)
*) Ditulis oleh Julius Ibrani (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia/PBHI) pada 12 Agustus 2023
Editor : Syaiful Anwar