Ratna Sari Dewi atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sukarno adalah istri ke-6 Presiden Sukarno. Dewi Sukarno (selanjutnya akan disebut Dewi), yang memiliki nama asli Naoko Nemoto, lahir di Tokyo (Jepang) pada tanggal 6 Februari 1940, sebagai putri ketiga dari seorang pekerja konstruksi migran di Tokyo.
Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga mengharuskan Naoko untuk bekerja sebagai pramuniaga di sebuah perusahaan asuransi jiwa di Chiyoda, hingga ia lulus dari sekolah menengahnya pada tahun 1955.
Baca juga: Kasman dan 7 Kata Piagam Jakarta
Dewi remaja pada saat tersebut memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap dunia seni dan sastra. Ketertarikannya inilah yang kemudian mendorongnya untuk mempelajari tarian klasik Jepang, bernyanyi, hingga bermain drama di Sishere Hayakawa Art Production. Hal tersebut menjadi titik awal terjunnya Dewi ke dunia entertainment.
Paras cantik dan kepiawaiannya dalam dunia seni, membuat Dewi kerap kali muncul di pentas-pentas terkemuka yang berlangsung di Tokyo (Mat Enh dan Ghani, 2012: 119). Untuk mendukung kemampuannya tersebut, Dewi Sukarno memutuskan untuk mempelajari bahasa Inggris. Keputusannya untuk mempelajari bahasa Inggris tersebut, menjadi salah satu jalan menuju pertemuannya dengan Presiden Sukarno.
Baca juga: Tentang Laksamana Yos Sudarso
Dari sekian istri Presiden Sukarno, Dewi menjadi satu-satunya istri presiden yang memiliki penampilan modis, atau lebih modern dengan mengikuti gaya barat. Penampilannya inilah yang kemudian membuat Dewi Sukarno sering mendampingi Presiden Sukarno dalam berbagai pertemuan dengan pemimpin atau perwakilan dari negara lain, seperti misalnya kunjungan Duta Besar Italia dan Belanda (Lee, 1976: 121). Selain itu, karena daya tarik dan kepercayaan Sukarno kepada Dewi, membuat Dewi seringkali ‘diperebutkan’ oleh beberapa perusahaan, agar dapat memenangkan hati sang presiden.
Pada tahun 1973, tiga tahun setelah Sukarno meninggal, Dewi Sukarno menerbitkan sembilan surat, yang ditujukan kepada Presiden Soeharto. Surat-surat tersebut sebenarnya sudah pernah dimuat pada “Vrij Nederland” pada tanggal 16 Desember 1970, ketika kondisi Presiden Sukarno sedang kritis. Surat-surat tersebut akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar dapat diterbitkan. Akan tetapi, sayangnya pemerintah Orde Baru tidak pernah mengizinkan penerbitan surat-surat tersebut. Akhirnya, proyek penerbitan surat-surat Dewi Sukarno baru terlaksana pada 1998 dengan judul Mencekik dengan Kain Sutera, Willem Oltmans en Dewi Sukarno (1998).
Baca juga: Air Mata Soekarno, Titik Awal Malapetaka Rakyat Aceh
Sepeninggalan Presiden Sukarno, Ratna Sari Dewi pindah ke berbagai negara di Eropa, sebelum akhirnya kembali ke Jepang pada 2008 dan menetap di sana hingga saat ini. Di Jepang, Ratna Sari Dewi aktif sebagai seorang bussines woman, yakni dalam bidang perhiasan dan kosmetik. Meskipun demikian, Dewi tidak lantas meninggalkan jiwa entertainment-nya. Saat ini ia kerap kali muncul di layar TV Jepang, salah satunya menjadi juri dalam berbagai kontes kecantikan. (*)
*) Source : Yusuf Ikrom (@yosefikr)
Editor : Bambang Harianto