Air Mata Soekarno, Titik Awal Malapetaka Rakyat Aceh
Sejarah mencatat, bahwa Aceh merupakan Bangsa yang besar dan diakui kedaulatannya oleh negara lain. Ketika Jawa, Sumatera Utara, Borneo, hingga Papua, menjadi bagian dari Hindia Belanda, Aceh masih berdaulat penuh.
Kedigjayaan Kesultanan Aceh mampu eksis saat itu dikarenakan ketaatan Bangsa Aceh dalam penerapan Syari'at Islam di wilayahnya. Tak heran jika Bangsa Aceh menjadi lebih unggul dalam ilmu pengetahuan dibandingkan penghuni wilayah Hindia Belanda.
Baca Juga: Kasman dan 7 Kata Piagam Jakarta
Ketika rakyat Jawa masih berperang menggunakan pedang dan panah, Prajurit Kesultanan Aceh sudah dilengkapi dengan senapan dan meriam. Itu adalah bukti keunggulan Bangsa Aceh dalam hal ilmu pengetahuan, dibandingkan wilayah koloni Hindia Belanda.
Prajurit Kesultanan Aceh
Meriam ini bukti sejarah tentang besarnya kekuatan pasukan Kesultanan Aceh saat itu, dan perlu diketahui bahwa meriam ini adalah pemberian dari Kekhalifahan Turki Utsmani.
Ya, Islam itu mencerdaskan dan memerdekakan, sementara kekafiran menjerumuskan pada kebodohan dan penjajahan.
Meriam ini bukti sejarah tentang besarnya kekuatan pasukan Kesultanan Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pasukan Kesultanan Aceh menyambut serangan tersebut menggunakan meriam pantai dari Khalifah Ottoman.
Seminggu lebih Aceh dibombardir oleh kapal Citadel van Antwerpen, namun pasukannya tak kunjung bisa mendarat di Pantai Aceh. Serangan darat juga diluncurkan oleh VOC dengan kekuatan pasukan khusus Marsose.
Perang Aceh Pertama (1873-1874), dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan Aceh jadi bagian Kerajaan Belanda.
Jatuhnya Kuta Raja tidak serta merta menaklukkan Bangsa Aceh. Dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Indrapuri, Kesultanan Aceh terus melancarkan perlawanan bersenjata. Semangat jihad yang merasuk kuat dalam setiap diri rakyat Aceh mampu membuat VOC mengalami kebangkrutan.
Perang terus berkobar, membuat VOC terus merugi akibat menanggung biaya perang. Hingga datanglah seekor keturunan Yahudi yang bernama Snouck Hurgronje. Dia berpura-pura menjadi mu'allaf, kemudian merangkul tokoh desa dan perkampungan sambil memfokuskan target penyerangan terhadap ulama.
Snouck Hurgronje
Snouck meminta agar VOC mengesampingkan terlebih dahulu kaum bangsawan, lalu fokus membunuhi para ulama. Karena dapat dilihat jelas bahwa Ulama adalah sentral dari perlawanan rakyat Aceh.
Penting bagi VOC untuk menjauhkan rakyat dari pengaruh ulama agar mudah dipengaruhi VOC. Dan terbukti bahwa strategi Snouck Hurgronje efektif mengurangi eskalasi perlawanan terhadap VOC.
Snouck menarik kesimpulan yang tepat, bahwa Ulama sangat sulit untuk disuap dan tak haus jabatan, karena ulama saat itu sangat istiqomah dan belum kedatangan pasukan amplop coklat.
Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut hingga tahun 1942, dimana seluruh perlawanan bersenjata dikomandoi Ulama. Ulama Aceh tidak mau berkompromi dengan Belanda, dan tak ada satupun yang berambisi menjadi komisaris di perusahaan jawatan kereta api.
Saat era pendudukan Jepang, Rakyat Aceh konsisten melawan pemerintahan Dai Nippon. Tengku Abdul Jalil, adalah ulama Aceh yang memimpin pertempuran melawan serdadu Jepang.
Beliau syahid dalam pertempura yang berkecamuk pada akhir November 1942. Beliau lebih berhak menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional ketimbang si komunis pengkhianat Tan Malaka...!!
Jepang terus menuai perlawanan dari Rakyat Aceh hingga Jepang dibom atom oleh sekutu. Kepergian tentara Jepang membuat para pejuang Aceh turun gunung untuk menyusun kembali pemerintahan Negara Aceh Darussalam.
Disaat genting tersebut, datang berita proklamasi yang dibacakan Soekarno.
Para tokoh ulama Aceh akhirnya bermusyawarah untuk menentukan nasib bangsa Aceh, apakah ingin mendirikan pemerintahan sendiri atau manjadi bagian dari Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan oleh Soekarno- Hatta. Mayoritas ulama menginginkan Nangroe Aceh Darussalam merdeka.
Namun datang sepucuk surat dari Soekarno kepada tokoh ulama Aceh yang dituakan, yakni Tengku Daud Beureuh. Dalam surat tersebut, Soekarno meminta izin untuk bisa bertemu dengan seluruh ulama Aceh agar bisa mempresentasikan tentang konsep Republik Indonesia.
Baca Juga: Tentang Laksamana Yos Sudarso
Tahun 1948, Soekarno diterima oleh Tengku Daud Beureuh dalam forum musyawarah Ulama Aceh. Saat itu, pasukan Inggris dan Belanda sudah bercokol kembali di Jawa dan Sumatera, kecuali Aceh. Di tengah ancaman agresi militer dari sekutu, Soekarno meminta bantuan kepada rakyat Aceh.
Sejujurnya, Ulama Aceh sudah sangat siap untuk menyambut invasi dari sekutu, bukan hanya karena persenjataan hasil rampasan dari Jepang begitu melimpah, namun juga sumberdaya yang dimiliki oleh rakyat Aceh juga berlimpah. Meskipun Aceh sempat diduduki oleh Belanda dan Jepang.
Namun hampir seluruh rakyat Aceh memiliki perhiasan emas yang disimpan rapi, ditambah lagi pengalaman tempur rakyat Aceh dalam menghadapi VOC hingga Jepang selama puluhan tahun.
Ditambah lagi sumberdaya alam Aceh yang melimpah, membuat Aceh semakin siap dalam menghadapi ancaman sekutu.
Namun sikap tawadhu dan akhlaqul kariimah yang tertanam dalam setiap diri Ulama Aceh, membuat mereka memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk berdialog.
Setibanya di Banda Aceh, Soekarno diterima langsung oleh Daud Beureuh.
Dalam kesempatan itu, Tengku Daud mendengarkan Soekarno.
Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah Aceh.
Soekarno berkata kepada Tengku Daud, "Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan pasukan yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh menjawab, “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid. Ya, bagi seorang muslim, tak ingin berperang hanya demi hal duniawi. Hidup mulia atau mati sayhid adalah cita-cita bagi setiap muslim sejati".
"Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid," jawab Soekarno.
"Kalau begitu, kedua pendapat kita telah bertemu dengan Saudara Presiden. Dengan demikian, bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden bahwa persetujuan perang telah usai belakangan ini. Kepada rakyat Aceh yang diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya".
Baca Juga: Proklamasi Bukan Hanya Tentang Soekarno
"Wallah, Billah, rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumahtangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu?"
Begitulah percakapan kedua tokoh besar negara ini, bahkan ketika keduanya sepakat maka Tengku Daud menyodorkan sepucuk surat kepada Soekarno untuk ditandatangani, yakni surat yang berisi hasil kesepakatan keduanya.
Dengan air mata buaya, Soekarno menolak menandatangani surat tersebut dan mengatakan janjinya.
Tak ingin melukai hati Soekarno, Tengku Daud Beureh pun mempercayai Soekarno, “Saya tidak ragu saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh, saya terima kasih atas hati Saudara Presiden.”
Tak hanya itu, sebelum Soekarno berpamitan, seluruh hadirin yang ada di lokasi segera mengumpulkan emas dan uang yang dibawa saat itu untuk diberikan kepada Soekarno sebagai bekal perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur, baik orang kaya maupun rakyat biasa, di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh).
Antrian rakyat Aceh panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas. Dengan modal tersebut, Indonesia berhasil membeli RI-001 Seulawah (Gunung Emas), pesawat kepresidenan pertama dalam sejarah Indonesia.
Namun bukannya merealisasikan janjinya, Soekarno malah sibuk mengejar Hartini.
Dengan sengaja Soekarno melebur wilayah Aceh menjadi bagian dari Sumatera Utara, supaya tak ada penerapan syari'at Islam di Aceh.
Demikianlah mengapa disebut bahwa airmata Soekarno adalah sumber malapetaka bagi Rakyat aceh, tak lain karena setelah itu Rakyat Aceh tak hanya kehilangan kekayaannya, tapi juga kehilangan hak dan kedaulatannya untuk menerapkan syari'at Islam yang telah lama mereka jalankan.
Dan yang perlu digarisbawahi, meskipun jumlah bantuan dari Rakyat Aceh tak mencapai 11.000 triliun rupiah, tapi itu benar-benar nyata dan efektif membantu eksistensi pemerintahan Indonesia yang saat itu tengah bangkrut akibat blokade ekonomi dari Belanda. (*)
*) Sumber : Pecinta Sejarah Tanah Air (RevolusiAhlaq2)
Editor : Syaiful Anwar