Berkunjung ke Petirtaan Jolotundo di Malam 1 Syuro, Terasa Aura Mistis

Reporter : -
Berkunjung ke Petirtaan Jolotundo di Malam 1 Syuro, Terasa Aura Mistis
Pengunjung antri di loket masuk Petirtaan Jolotundo
advertorial

Malam 1 Syuro atau malam tahun baru Hijriyah yang jatuh pada Sabtu malam, 6 Juli 2024, Petirtaan Jolotundo yang berlokasi di lereng di utara Gunung Penanggungan, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, ribuan orang berkunjung. Mereka yang datang tidak hanya pria dewasa dan wanita, melainkan remaja dan juga anak-anak.

Ritual dilakukan dengan mandi ke sumber petirtaan Jolotundo yang diyakini memiliki banyak khasiat bagi tubuh, seperti bisa awet muda, memberikan kesucian diri, penyembuhan, dan pemikat. Banyaknya khasiat itu, hingga saat ini, masyarakat berbagai daerah datang ke Petirtaan Jolotundo untuk mandi dan ziarah.

Baca Juga: Menyambut Hari Asyura

Selain mandi, pengunjung juga membawa galon untuk diisi air dari sumber di petirtaan Jolotundo. Konon, air di Petirtaan Jolotundo memiliki kualitas terbaik setelah air Zam Zam di Mekkah. Pengujiannya pernah dilakukan sebanyak tiga kali. Penelitian perdana dilaksanakan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan pada tahun 1984. Langkah serupa turut dilakukan tim arkeologi Indonesia-Belanda pada 1991 dan terakhir oleh Ikatan Dokter Indonesia Pusat di tahun 1994.

Suasana di malam 1 Syuro di Petirtaan Jolotundo terasa aura mistisnya. Bau kemenyan semerbak di berbagai sudut tempat. Tampak beberapa orang sedang semedi seakan sukmanya menyatu dengan dinginnya malam yang dibalut dengan rintik hujan pada malam itu.

Untuk sampai ke sumber air Petirtaan Jolotundo saat malam 1 Syuro, pengunjung yang membawa kendaraan bermotor bisa langsung naik dan memarkir kendaraannya di tempat yang disediakan, tepat di depan pintu masuk Petirtaan Jolotundo. Tapi bagi yang membawa mobil, pengunjung harus memarkir kendaraannya sejauh kurang lebih 1,5 km dari pintu masuk.

Redaksi Lintasperkoro.com yang pada malam itu tiba sekitar pukul 22.17 WIB, dan mengendarai mobil, tidak bisa masuk ke lokasi terdekat. Disitu jalan diplang bambu untuk kendaraan roda 4, dan dijaga oleh petugas Kepolisian dan petugas wisata. Mobil diharuskan parkir di tepi jalan atau di halaman rumah atau rumah makan. Jaraknya sekitar 1,5 km. Tarif parkir untuk kendaraan roda 4 sebesar Rp 20.000. Dan kendaraan roda 2 sebesar Rp 10.000.

Dari tempat parkir itu untuk menuju ke lokasi Petirtaan, pilihannya jalan kaki atau naik ojek. Jasa ojek disediakan oleh warga setempat. Tarif ojek menuju lokasi Petirtaan sebesar Rp 10.000 untuk sekali berangkat. Di tengah perjalanan sekitar 800 meter dari pintu masuk Petirtaan, pengunjung wajib beli tiket masuk di loket senilai Rp 10.000 per orang.

Di dalam kompleks Petirtaan Jolotundo, jika Anda mau mandi, maka harus antri. Antrian tampak di kolam pemandian untuk wanita atau pria. Jika mandi, Anda dilarang mandi bawa kembang.

Kebetulan pada malam 1 Syuro atau Sabtu malam, 6 Juli 2024, hujan mengguyur kawasan wisata Jolotundo. Meski demikian tidak menyurutkan antusias pengunjung untuk melaksanakan ritual.

Sejarah Jolotundo

Candi Jolotundo menjadi tempat masyhur bagi kalangan Hindhu. Letaknya di kawasan hijau seluas 3.019,75 meter persegi di ketinggian 525 meter di atas permukaan laut (mdpl) tepat pada lereng barat Gunung Penanggungan, Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Masyarakat Jawa kuno mengenal dataran setinggi 1.653 mdpl ini sebagai daerah suci bernama Gunung Pawitra, seperti disebut dalam kitab Negarakertagama. Pawitra sendiri diartikan sebagai sumber air.

Air Petirtaan Jolotundo bersumber dari mata air Penanggungan yang dikelilingi empat gunung lebih kecil, yakni Saraklopo (1.275 mdpl), Bekel (1.238 mdpl), Kemuncup (1.227 mdpl), dan Gajahmungkur (1.087 mdpl). Masih ada lagi empat lain yang lebih tepat disebut bukit seperti Semodo (719 mdpl), Jambe (747 mdpl), Bende (927 mdpl), dan Wangi (987 mdpl). Kedelapan gunung dan bukit tadi berada tepat di sekitar Penanggungan seperti membentuk delapan penjuru mata angin.

Air dari ke-33 kendi berasal dari mata air di kedelapan tempat tersebut yang kemudian disatukan ke kolam Petirtaan Jolotundo dalam acara ruwatan.

Petirtaan dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai patirtan atau tempat berkumpulnya air dan merupakan lokasi istimewa bagi raja tempo dulu. Seperti dikutip dari buku Patirtaan Jalatunda karya guru besar arkeologi Universitas Leiden, Belanda, Frederik David Kan Bosch pada tahun 1965, semua berawal dari keinginan Raja Udayana untuk membangun sebuah tempat pemandian khusus di lereng Pawitra.

Ini sebagai bentuk syukur atas kelahiran Prabu Airlangga, buah hati dari pernikahan Udayana dengan Mahendradatta atau dikenal pula sebagai Putri Gunapriya Dharmapatni. Tempat itu ia namai Jolotundo. 

Jolo berarti air dan tundo adalah bertingkat yang bermakna pemandian air bertingkat atau berundak seperti terlihat sekarang ini. Pada pahatan di salah satu undakan tertera aksara tiga angka Jawa kuno bertuliskan 899 dalam tarikh Saka atau 977 Masehi.

Bosch meyakini itu sebagai tahun berdirinya Jolotundo atau sekitar 1.046 tahun lampau. Pada dinding-dinding Jolotundo ini diukir relief cerita Mahabharata dan kelahiran Udayana berdasar kisah Kathasaritsagara, dari kitab pertama Mahabharata. Selama ratusan tahun setelahnya, petirtaan ini ditinggalkan pengikutnya.

Surveyor Hindia-Belanda, Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar menemukan kembali pemandian tersebut pada tahun 1815 saat penjelajahan belantara Jawa Timur atas perintah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat ditemukan, kondisinya berantakan dan tertutup semak belukar. Terdapat hiasan batu andesit berbentuk oval menyerupai bunga teratai atau padma pada bagian utama, yakni di dinding sebelah timur.

Batu-batu andesit yang dihaluskan ini memiliki lubang tempat mengucurnya air. Ada 16 lubang pancur di tingkat terbawah dan 14 lubang pancur di undakan berikutnya. Air bersih tampak mengalir deras dari lubang-lubang pancur tadi dan jatuh ke kolam di bawahnya. 

Pada masanya, Petirtaan Jolotundo juga menjadi lokasi semedi favorit raja-raja Kerajaan Majapahit yang berkuasa di tanah Mojokerto antara abad ke-13 sampai abad ke-15.

Warung di sekitar Petirtaan JolotundoWarung di sekitar Petirtaan Jolotundo

Kini, Petirtaan Jolotundo menjadi tempat wisata religi di Kecamatan Trawas Mojokerto. Saat momen-momen tertentu, ribuan pengunjung memadatinya. Di sekitar Petirtaan Jolotundo, terdapat warung makan dan warung kopi serta penjual souvenir maupun perlengkapan ruwatan. Juga disediakan tempat penginapan bagi masyarakat luar kota. Tarif penginapan mulai Rp 100 ribu / malam. (*)

Editor : Syaiful Anwar