Tentang Purbaya, Kaya Bersama dan Musuh Bernama Bersama Sama

Reporter : Redaksi
Purbaya Yudi Sadewa

Pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI), Purbaya Yudi Sadewa, “Semoga kita bisa kaya bersama,” terdengar seperti doa yang turun dari langit pajak—hangat, lembut, tapi tetap penuh perhitungan. Kalimat itu menggembirakan, karena di negeri ini, kata “semoga” sudah lama berhenti bergaul dengan kata “kaya”. Biasanya dia bersahabat dengan “sabar” atau “ikhlas”.

Namun yang membuat telinga bergetar bukan sekadar semoga-nya, melainkan kata “bersama”-nya. Setelah enam puluh tahun hidup di Republik yang katanya kaya raya ini, baru kali ini terasa ada pejabat yang ingin rakyat ikut numpang sejahtera di kapal kekayaan, bukan sekadar mendayung dari bawah.

Baca juga: Aturan Baru tentang Pelaksanaan Pembukuan dan Audit di Kepabeanan dan Cukai

Ucapan Purbaya itu serasa menggema dari masa lalu, dari suara Abraham Samad yang pernah bilang, “Kalau kekayaan alam Indonesia dikelola dengan benar, tiap kepala rakyat bisa dapat 20 juta.”

Angka yang membuat dompet berdebar, sekaligus mengingatkan kita betapa “tidak hil mustahal”-nya kata pelawak Asmuni: harapan itu lucu sekaligus logis.

Tetapi, di sinilah ironi sekaligus bahan kajian sosial ekonomi paling lucu di dunia: kita miskin bukan karena alam tak memberi, tapi karena “bersama”-nya diselewengkan. Kata “bersama” dalam praktik ternyata punya kasta—ada yang bersama di atas meja, ada yang bersama di bawah meja. Yang satu membagi kontrak, yang lain membagi angsuran.

Maka ketika kita bicara “kaya bersama,” kita harus pula bertanya dengan gaya Asmuni yang sok polos tapi tajam: “Siapa-siapa yang bikin kita miskin bersama?”

Baca juga: Kemenkeu Sumut Hibahkan BMN ke Ponpes dan Panti Asuhan di Medan

Karena kemiskinan kolektif ini bukan bencana alam, melainkan hasil manajemen yang begitu manusiawi—dalam arti sangat kreatif dalam mencari alasan, dan luar biasa efisien dalam menyembunyikan keuntungan.

Jika doa Purbaya itu sungguh-sungguh, maka tugas besar bangsa ini adalah mencari musuh bersama itu, lalu menghadapinya bukan dengan senjata, tapi dengan keberanian berpikir lurus di tengah sistem yang doyan berbelit.

Sebab kalau kemiskinan bisa diproduksi bersama-sama selama puluhan tahun, masa kekayaan tak bisa diproduksi bareng-bareng juga?

Baca juga: Terjaga Baik, APBN Beri Beragam Manfaat bagi Masyarakat

Lucunya, di Indonesia, yang benar sering kalah oleh yang pandai tersenyum sambil bilang: “Semoga.”

*) Penulis : Meimura (Seniman asal Kota Surabaya)

Editor : S. Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru