Saya mendapat cerita dari seorang kolega pengacara. Bukan kasus biasa, katanya. Ini kasus perlawanan orang kecil melawan sebuah sindikat yang rapi. Saya menyebutnya "mafia lelang".
Dulu, ada sepasang suami istri pekerja, sebut saja Pak Budi dan Bu Siti. Mereka punya rumah di Jakarta Timur, dengan cicilan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) di sebuah bank plat merah, sebut saja Bank B*I.
Baca juga: Panin Bank Cabang Surabaya Cendana Digugat Warga Gresik
Rumah itu adalah surga mereka. Nilai pasar wajarnya di kisaran Rp 2 miliar. Beli dengan uang muka Rp 211 juta, sisanya KPR Rp 1,2 miliar.
Semua berjalan baik sampai badai pandemi datang. Bisnis Pak Budi kolaps. Penghasilan terpangkas. Cicilan pun tersendat. Saat itulah, naluri Pak Budi menyuruhnya untuk berjuang.
Ia tahu ada aturan dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang memberi kelonggaran restrukturisasi. Berkali-kali ia mendatangi Bank Merah. Memohon, meminta keringanan, dan menunjukkan itikad baiknya. Namun, bank itu seolah sudah punya rencana lain.
Semua pintu negosiasi ditutup rapat. Janji ketemu diundur undur sampai melewati tenggat. Pimpinan cabangnya, selalu sibuk. Permohonan ketemu Pak Budi diabaikan, semua dicuekin termasuk surat yang berulang kali dikirim.
Tepat saat Pak Budi dan Bu Siti terpojok, skenario itu dimulai. Lelang pun diadakan. Harga limitnya bukan Rp 1,4 miliar, bukan Rp 1,2 miliar, tapi hanya Rp 690 juta. Jauh sekali di bawah nilai pasar.
Siapa yang diuntungkan dari harga semurah itu? Seorang pembeli, yang saya sebut Tuan B. Ia memenangkan lelang dengan harga Rp 725,5 juta. Sebuah "hadiah" yang sangat manis. Prosesnya sangat cepat. Sertifikat rumah langsung dibalik nama.
Tuan B, tanpa basa-basi, langsung mengajukan permohonan pengosongan rumah. Tentu saja Pak Budi dan Bu Siti tak tinggal diam. Mereka menggandeng pengacara yang punya nyali, sebut saja Pengacara P. dan timnya. Mereka melihat semua kejanggalan itu bukan kebetulan.
Baca juga: Tips Aman Membeli Rumah dengan KPR
Ini adalah rangkaian peristiwa yang terstruktur, yang tujuannya hanya satu: merampas aset dengan cara yang "legal".
Di pengadilan, mereka melawan. Mereka menyebutnya perlawanan terhadap eksekusi lelang. Mereka mengungkap bagaimana Bank B*I sengaja menciptakan wanprestasi. Bagaimana nilai limit lelang dimanipulasi agar harganya murah.
Bagaimana risalah lelang itu punya dua versi tanggal yang berbeda. Lalu, siapa Tuan B? "Pembeli yang beritikad baik pasti akan datang melihat rumahnya dulu. Tapi Tuan B tidak. Dia hanya tahu di atas kertas, lalu terburu-buru mengosongkan."
Mereka juga menyeret dua lembaga pemerintah: Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan. Kedua lembaga ini, dalam pembelaannya, mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan prosedur. Hanya mengurus dokumen.
"Bagaimana mungkin sebuah lembaga bisa menjalankan prosedur yang cacat? Bagaimana mungkin sebuah risalah lelang yang isinya tidak konsisten bisa dianggap sah?"
Kasus ini masih berjalan. Tapi, bagi saya, ini sudah membuktikan sesuatu. Bahwa "mafia lelang" itu nyata. Mereka punya komplotan yang rapi. Bank yang menutup pintu, penilai yang membuat harga rendah, pembeli yang siap menampung, dan lembaga pemerintah yang memproses tanpa bertanya.
Semua orang dalam komplotan itu punya peran masing-masing. Mereka menunggu saat yang tepat untuk mencaplok aset-aset berharga.
Perjuangan Pak Budi dan Bu Siti adalah perjuangan kita semua. Perlawanan ini harus didukung, agar tidak ada lagi yang menjadi korban. Agar keadilan tidak lagi dilelang dengan harga yang terlalu murah. (*)
*) Penulis : ET Hadi Saputra (Konsultan Hukum dan Investasi Asing)
Editor : Redaksi