Beda Antara Etika Profesi dan Disiplin Profesi: Catatan untuk Menteri Kesehatan

lintasperkoro.com
Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D, Sp.BS

Disiplin profesi di bidang kedokteran adalah pedoman tata laksana pelayanan medis, yang biasanya tersusun dalam bentuk standar pelayanan yang spesifik untuk setiap jenis penyakit. 

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau MKDKI, yang anggotanya ada dokter—dokter gigi dan ahli hukum—adalah lembaga yang berwenang mengevaluasi ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmunya, untuk selanjutnya memberikan sanksi jika terbukti si subjek telah melakukan pelanggaran.

Baca juga: IDI Lampung Melantik 9 Ketua IDI Cabang di Lampung Health Festival

MKDKI adalah Lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dibentuk berdasarkan UU 29-2004 tentang praktik kedokteran (ada 16 pasal, pasal 55-70), dan bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran. 

MKDKI adalah sebuah lembaga pengadilan profesi yang memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin ilmu, dan tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke pengadilan (Pasal 66 ayat 3 UU 29-2004). 

MKDKI berwenang memberikan sanksi disiplin berupa pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR/SIP, dan/atau kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan tambahan. Dan apabila dalam investigasi ditemukan pelanggaran etika maka pengaduan ini akan diteruskan pada organisasi profesi melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran atau MKEK, badan otonom dalam kepengurusan PB IDI).

Sepemahaman saya, etika profesi dan disiplin profesi adalah dua hal yang berbeda. 

Etika profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain. 

Orang lain di luar profesi medis tidak memiliki kapasitas untuk bisa menilai apakah keputusan yang diambil seorang dokter masih sesuai atau sudah menyimpang dari etika profesi.

Seorang dokter hanya bisa memulai kerja profesi sebagai praktisi medis setelah mengucap Sumpah Dokter. Sumpah Dokter adalah sekumpulan janji yang diucapkan atas nama Tuhan. 

Isi sumpah dokter didasarkan pada deklarasi Jenewa tahun 1984 dari World Medical Association yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippocrates, dan secara resmi memiliki kedudukan hukum dalam PP No.26 tahun 1960. 

Selain lafal “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan” dan “saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat”. Ada pula lafal “saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya”, dan “saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia”. 

Karena pekerjaannya terkait dengan upaya menyelamatkan manusia dari penyakit, maka untuk menjaga keluhuran dan martabat profesi serta kepercayaan masyarakat penerima layanan, diperlukan landasan etik dan moral agar jasa dokter itu tidak dipengaruhi oleh motif lain.

Misalnya motif bisnis perdagangan atau jual beli yang memanfaatkan orang sakit sebagai objek untuk mencari keuntungan semata (jelas berbeda secara diametral dengan bisnis bank yang seolah menolong orang demi mencari rente atau bunga bank).

Dengan sumpah dokter dan kepatuhan pada kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki), seorang praktisi medis diharapkan bisa menjadikan sumpahnya sebagai landasan dalam melayani makhluk Tuhan yang paling mulia, manusia.

Setidaknya ada empat prinsip dasar etika profesi dokter yaitu  memaksimalkan ikhtiar untuk mencapai kebaikan, meminimalkan dan menghindari bahaya, menghormati hak pasien untuk memilih, dan keadilan.

Dalam Kodeki, tertera kewajiban untuk menghindari perbuatan yang bersifat memuji diri (pasal 4), dan (pasal 6) untuk berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan penemuan teknik pengobatan atau obat baru yang belum diuji kebenarannya (belum didasarkan atas Evidence Based Medicine/EBM).

Tanpa landasan EBM, praktik dokter akan sama dengan praktik-praktik dukun. Atau ponari misalnya, yang validasinya hanya berdasar pada testimoni pribadi sekalipun dari petinggi negeri.

Pelanggaran terhadap etika profesi berarti pelanggaran terhadap prinsip moral, nilai, dan kewajiban profesi, ini merupakan perbuatan buruk dan tercela yang akan meruntuhkan marwah dan keluhuran profesi medis.

MKEK memiliki tugas untuk membimbing dan mengawasi pelaksanaan etika profesi sampai memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar etika profesi ini. 

Baca juga: PB IDI Tekankan Pentingnya Dukungan Kesehatan Mental Selama Pendidikan Kedokteran

Sebagai badan otonom dalam organisasi profesi MKEK bertugas mengawal penegakan kode etik kedokteran Indonesia. Contoh sederhana adalah ketika asisten rumah tangga saya bercerita tentang saudaranya yang habis dioperasi kepalanya setelah jatuh dari motor. Pasiennya baik-baik dan keluarga berterima kasih atas tindakan cepat dari si dokter. 

Secara finansial, pasien juga tidak dirugikan karena dibayar oleh asuransi. Setelah saya pelajari, sebenarnya kasus tersebut tanpa operasi juga akan sembuh sendiri. 

Keputusan dokter untuk melakukan operasi itu bisa jadi karena dokternya kurang kompeten karena tidak mengikuti perkembangan keilmuan, atau kesengajaan karena melihat selisih jasa medis yang cukup besar antara mengobati dan mengoperasi. Dengan tindakan operasi tentu ada risiko terkait dengan pembiusan dan risiko lain seperti infeksi dan pendarahan yang berpotensi membahayakan pasien. 

Pelanggaran etik seperti cerita di atas banyak macamnya dan banyak terjadi pada hampir semua bidang kedokteran. 

Menurut saya, hal tersebut mustahil dideteksi oleh orang lain selain peer group atau teman sejawatnya. Bahkan, tidak pula mungkin dipahami oleh direktur RS. Atau oleh kepala dinas kesehatan setempat, apalagi oleh sistem administrasi Kementerian Kesehatan.

Jadi masyarakat luaslah yang akan menjadi korban bila aturan terkait registrasi dokter (STR) seumur hidup, dan izin praktik (SIP) diambil alih oleh sistem administrasi Kemkes tanpa melibatkan profesi (seperti ketentuan yang ada dalam RUU Kesehatan Omnibus Law).

Sebagaimana kata bijak dari Albert Camus “A man without ethics is a wild beast loosed upon his world”. Orang biasa saja, bukan dokter, bila tanpa etik bisa seperti hewan buas, apalagi dokter tanpa etik kepada pasiennya.

Melalui RUU Kesehatan Omnibus Law, pemerintah berupaya untuk menguasai seluruh tata kelola dokter dan tenaga kesehatan, mulai dari produksi sampai distribusi dokter spesialis, dan pengaturan perizinannya menjadi terpusat di bawah genggaman Kemenkes.

Semua ini dalam rangka menjadikan layanan kesehatan untuk rakyat sebagai objek liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan, dengan membuka lebar masuknya pengusaha rumah sakit, pengusaha alat kesehatan, dan pengusaha farmasi asing maupun domestik.

Kesehatan adalah hak rakyat dan kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai kewajiban konstitusional, bukan objek bisnis untuk mencari keuntungan. 

Baca juga: Bahan Makanan yang Bagus untuk Mencegah Kanker Prostat

Upaya komersialisasi layanan kesehatan rakyat ini semakin nyata dengan dihilangkannya anggaran wajib sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.

Penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law oleh para dokter bersama sebagian besar tenaga kesehatan lain disebabkan karena mereka semua menyadari bahwa mereka juga sama dengan masyarakat lainnya, 

bisa sakit dan menjadi pasien, yang memerlukan layanan kesehatan yang mudah, murah dan terjangkau, bukan layanan kesehatan yang dijadikan objek bisnis oleh pemerintah kepada rakyatnya sendiri. Sayangnya, Menteri Kesehatan tidak bisa memahami perbedaan antara etika profesi dengan disiplin profesi.

Hal ini tampak dalam dialog Menkes dengan Rosiana Silalahi (Rosi-Kompas TV, 15 Juni 2023, youtu.be/6ZjlKBPhMRg).

Dalam dialog tersebut, bisa disimpulkan bahwa Menkes menganggap kehadiran lembaga MKEK dan MKDKI sebagai sebuah duplikasi. 

Meskipun bukan seorang dokter, kesediaan beliau menerima jabatan Menteri Kesehatan seharusnya memiliki konsekuensi untuk memahami semua peraturan dan kelembagaan terkait dokter/dokter gigi dan nakes yang menjadi mitra utama kemenkes.

Ketidakpahaman inilah yang bisa jadi menyebabkan munculnya kebijakan maupun narasi tidak bersahabat bahkan cenderung fitnah terkait dokter/dokter gigi dan nakes.

Alangkah berbahaya bila ketidakpahaman ini juga (dipaksa) diikuti oleh seluruh jajaran Kemenkes dari pusat sampai ke daerah-daerah, bukan oleh indoktrinisasi saja, namun oleh tekanan relasi kuasa. (*)

*) Penulis : Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D, Sp.BS (Guru Besar Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang)

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru