Di lereng pegunungan Sumedang, di tengah kabut pagi tanggal 11 April 1949, berdirilah seorang perwira yang tubuhnya tak sekuat semangatnya. Itu adalah Mayor R.O. Abdurahman Natakusumah, Komandan Batalyon II Tarumanegara dari Divisi Siliwangi. Meski sedang diserang malaria, ia menolak mundur karena di pundaknya terletak tugas suci : melindungi Panglima Siliwangi, Letkol Sadikin, dari ancaman pasukan Baret Hijau Belanda.
Dari sudut kediamannya di Desa Cibubuan (atau Lencang / Leuncang, menurut sebagian catatan) di Kecamatan Conggeang, Mayor Abdurahman mempelajari peta mental musuh. Karena sakit, ia tak bisa mengikuti rombongan utama yang bergerak, tetapi kediamannya menjadi titik penting dalam operasi perlawanan.
Baca juga: Genpatra Datangi Kejari Gresik, Sampaikan 6 Poin Penting
Ketika malam semakin larut dan gerimis merayapi desa, pasukan Baret Hijau Belanda mulai menyergap. Mereka mengepung desa dengan langkah senyap, menekan kawanan pejuang lokal.
Mayor Abdurahman, meski lemah dan demam, berdiri dengan tegar di tengah kepungan. Ia tidak menyerah pada sakit, dan tidak tunduk pada tekanan musuh. Dalam kisah yang dikenang, ia menunjukkan keteguhan moral yang tak tergoyahkan, bahkan saat diinterogasi untuk membuka lokasi Panglima Sadikin, ia tetap diam.
Pihak Belanda, dipimpin oleh Letnan Henk Ulrici (Kompi Eric / KST), tidak mentolerir keheningan itu. Mereka memaksa, menekan, berbicara dengan nada mengancam, bahkan menggunakan siksaan, tetapi Mayor Abdurahman tetap menjaga rahasia Siliwangi.
Dalam puncak konfrontasi itu, tragedi heroik pun terjadi. Menurut laporan, Abdurahman dan beberapa anak buahnya, termasuk Sersan Sobur dan Kopral Karna yang ditangkap. Mereka dibawa ke balai desa Cibubuan, di sana diinterogasi di depan penduduk lokal.
Saat tekanan memuncak, Belanda menembakkan peluru ke tubuh Abdurahman. Ada berbagai versi detail bagaimana eksekusi itu dilakukan. Menurut Museum Pendidikan Nasional, ia ditembak di bagian kepala oleh Ulrici. Dalam narasi lain, seperti yang ditulis oleh Radio eRKS FM, setelah menolak membuka lokasi letak panglima, Abdurahman menyaksikan dua bawahannya ditembak di depan matanya, tetapi tetap tidak menyerah.
Baca juga: Dana Hibah KPU Gresik dari Rp 61 Miliar ke Rp 65 Miliar Diusut Kejaksaan
Setelah ditembak, tubuh Mayor Abdurahman dibiarkan di bawah Panji Batalyon II Tarumanegara di depan balai desa sebagai simbol perlawanan. Sebuah pesan tegas kepada Belanda bahwa para pejuang Siliwangi rela mati daripada mengkhianati komandan dan republik mereka.
Kematian Mayor Abdurahman tidak sia-sia. Karena keberaniannya menahan interogasi dan menutup mulut soal posisi-letak Letkol Sadikin, Belanda gagal mencapai tujuan utama mereka. Serangan brutal itu memang mengejutkan, tetapi usaha perlawanan Siliwangi tetap berlanjut.
Di kemudian hari, kota Sumedang memperingati pengorbanannya. Nama beliau diabadikan menjadi Jalan Mayor Abdurahman dan Jalan 11 April, sebagai simbol pengorbanan dan semangat perlawanan pejuang lokal terhadap kolonialisme.
Setiap tanggal 11 April, warga Sumedang mengheningkan cipta dan berziarah ke makamnya di Cibubuan, mengenang bagaimana seorang komandan yang tak lemah secara fisik menjadi batu karang bagi perjuangan.
Baca juga: Komisi I DPRD Gresik Bikin Kecewa GenPabumi Usai Rapat Koordinasi
Abdurahman menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya soal senjata, tetapi soal prinsip. Di tengah interogasi mematikan, ia memilih diam demi menjaga rahasia strategi Siliwangi.
Meskipun ia sakit (diterpa malaria) dan berpeluang mundur, ia memilih tetap berada di garis depan mental, ia bertahan di tempat berbahaya demi melindungi rekan dan komandan. Kematiannya menjadi simbol bagi prajurit Siliwangi dan rakyat Sumedang, bahwa perjuangan kemerdekaan dibayar mahal. (*)
Source : Rapakat
Editor : Bambang Harianto