Jangan Jadi Dokter ?

lintasperkoro.com
Foto ilustrasi

“Sungai tidak bisa berhilir.” Kalimat itu saya tulis sebagai tanggapan terhadap posting teman soal pembukaan Fakultas Kedokteran baru di daerahnya.

Bayangkanlah bila sungai tidak bisa berhilir karena tidak menemukan muara sementara hulu sungai di gunung terus mengalirkan air tanpa henti, dan makin lama makin banyak. Saya sudah banyak kali membuat tanggapan tentu sudut pandang pribadi terhadap maraknya pembukaan Fakultas Kedokteran sekarang.

Baca juga: IDI Lampung Melantik 9 Ketua IDI Cabang di Lampung Health Festival

Tanggapan yang sayangnya bernada negatif. Tanggapan negatif yang selalu saya ceritakan kalau ada orang tua yang bercerita bahwa dia mengarahkan anaknya untuk jadi dokter kelak, atau bercerita bila anaknya bercita-cita menjadi dokter.

Jangan salah paham dulu, saya tidak negatif terhadap cita-cita menjadi dokter. Saya sendiri seorang dokter. Kalau mau tanya sisi positif menjadi dokter saya akan memberi sangat banyak jawaban positif yang Insya Allah benar. Dan jawaban positif itu jauh lebih panjang daftarnya dibanding yang negatif. Bukan pula saya tidak senang dengan semakin banyaknya Fakultas Kedokteran dibuka di Indonesia.

Sebaliknya semakin banyak dibuka saya semakin senang. Jumlah dokter di Indonesia masih sangat sedikit terutama bila kita melihat rasio dokter-penduduk. Indonesia masih jauh dari ideal. Terlebih lagi bila kita mempertimbangkan segi geografis Nusantara, akan lebih nyata lagi kurangnya dokter di Indonesia.

Bukan hanya rasio yang jauh dari ideal, distribusi dokter lebih tidak ideal lagi. Jadi bangsa ini masih membutuhkan sangat banyak dokter, sangat ideal bila semakin banyak dibuka pendidikan dokter, baik pendidikan dasar maupun tingkat advance seperti pendidikan spesialis dan subspesialis. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.

Semua itu kemudahan di hulu. Di hilirnya tidak ada yang mudah, bahkan problemnya pelik dan butuh tata laksana kompleks, (luar biasa) mahal, butuh waktu panjang dan mesti berkesinambungan. Kesehatan di Indonesia hingga kini masih “Hospital oriented,” bukan “Community oriented” dengan pengertian para tenaga kesehatan khususnya dokter membutuhkan sarana kesehatan seperti klinik, Puskesmas, Rumah Sakit untuk bekerja.

Dokter tidak dididik untuk bekerja “Community community,” kerja langsung di tengah masyarakat tanpa menggantungkan diri pada fasilitas kesehatan (faskes) yang disediakan pemerintah (dan sedikit sektor swasta). Ini yang menjadi problem di hilir.

Daya tampung faskes tidak sebesar jumlah alumni Fakultas Kedokteran. Laju pertumbuhan fasilitas kesehatan tidak sepesat laju dokter yang diwisuda setiap tahun. Akibatnya bukan sedikit dokter yang menganggur. Dokter tidak bisa seenaknya dijejalkan ke dalam faskes yang ada karena faskes itu punya daya tampung dan beban maksimal juga.

Penempatan dokter ke faskes tidak hanya mempertimbangkan jumlah dokter yang masih sedikit dan rasionya yang rendah serta distribusinya yang belum merata. Penempatan dokter problemnya lintas sektoral dan lintas departemen. Terlebih di era daerah otonom, kebutuhan dokter diserahkan ke daya tampung daerah masing-masing.

Peraturan penerimaan pegawai, peraturan penggajian pegawai semuanya rumit dan harus dihitung secara matematis. Tidak bisa asal comot dan taruh. Tidak bisa satu Puskesmas dijejali 100 dokter sementara yang digaji cuma tiga orang. Tidak bisa 50 ahli bedah dijejali ke RS yang cuma punya satu kamar operasi. Tidak bisa ortoped ditaruh begitu saja di RS yang tidak punya alat ortopedi. Tidak bisa juga kardiolog ditaruh di Puskesmas karena BPJS tidak mau bayar kalau diluar 115 diagnosis yang tidak boleh dirujuk itu.

Jadi penempatan dokter bukan hal mudah, tidak bisa “comot dan letakkan” di sembarang faskes. Faskesnya sendiri terbatas, daya tampung terbatas pula. Beda halnya bila dokter dididik dan dibiasakan praktek mandiri seperti di banyak negara.

Bila bisa seperti ini rasio dokter-penduduk bisa cepat terpenuhi, distribusi dokter bisa lebih mudah. Beri penekanan dan training pada mahasiswa kedokteran bahwa kelak mereka akan praktek benar-benar mandiri tanpa bekerja di faskes lain. Bukan seperti yang lazim sekarang ini, pagi kerja di RS sore praktek di rumah.

Pemerintah juga harus menumbuhkan iklim usaha bagi para dokter dan mengedukasi masyarakat untuk berobat di luar faskes. Semua itu belum terlaksana saat ini. Sedikit dokter yang punya modal untuk benar-benar mandiri.

Praktek dokter bukan sekedar menyediakan satu meja dan dua kursi. Kalau mau optimal harus ada lab sederhana, alat pemeriksaan mencukupi supaya tidak dibilang 71% persen dokter hanya pegang-pegang pasien. Pengadaan alkes saat ini tidak murah karena sebagian besar masih impor dan dikenakan pajak barang mewah oleh pemerintah. Belum ongkos kirim, bea impor, sewa gudang, keuntungan distributor hingga retailer, dan lain sebagainya. Rantainya panjang dan berbelit-belit, dan membelit.

Dokter sama sekali tidak mudah mendapatkan modal awal untuk membangun praktek pribadinya. Seharusnya para dokter baru diberi kucuran kredit lunak untuk membangun klinik pribadi dan pengadaan alat kesehatan, mungkin perlu pula dukungan sunset policy untuk masalah-masalah moneter di tahun-tahun pertama mereka berpraktek.

Bila iklim usaha mandiri tercipta 2-5 dokter bisa membuat praktek bersama mungkin di setiap RT bila berdomisili di daerah padat, atau tiap RW kalau penduduknya jarang.

Beberapa klinik kecil ini dibina klinik lebih besar yang juga mandiri. Edukasi masyarakat agar tercipta iklim berobat ke dokter mandiri, nanti dengan rujukan berjenjang baru ke Rumah Sakit. Tidak seperti sekarang, pasien berjubel di RS sementara praktek pribadi para dokter banyak yang sepi. Yang cuma selesma rela antri berjam-jam di Rumah Sakit padahal kalau ke praktek sore bila dilayani dalam waktu kurang dari 5 menit.

Datangnya cuma selesma akhirnya dirawat karena kelenger hipoglikemi kelamaan nunggu buat dapat nomor antrian (buat dapat nomor antrian aja harus antri berjam-jam!). Rumah Sakit penuh sesak. Jadinya yang lazim di RS perawatan itu kelas 1, kelas 2, kelas 3, sekarang karena pasien membludak jadi ada perawatan kelas 4 (ekstra bed/ekstra brankar atau duduk di kursi roda di sela-sela ruangan), perawatan kelas 5 (koridor dalam ruang perawatan), perawatan kelas 6 (selasar luar antar bangsal), dan kelas 7 (tempat parkir yang disulap jadi rawat inap pake tenda dadakan).

Ada lagi kelas 8, yang terpaksa dirujuk ke RS lain lalu balik lagi karena RS lain penuh semua. Kelas 8 ini paling repot, biasanya pengantarnya udah emosi tinggi, bawa wartawan, nelfon anggota dewan, atau bawa katebeletje pejabat Pemda.

Di beberapa daerah timur datang balik udah dengan golok terselip di ikat pinggang. Entah mau ngancam atau emang dia tukang rumput. Apapun tetap serem. Hal-hal seperti di ataslah (antara lain) yang membuat saya gerah bila mendengar kabar ada lagi Fakultas Kedokteran baru dibuka. Harusnya kontrol perijinan lebih ketat.

Baca juga: PB IDI Tekankan Pentingnya Dukungan Kesehatan Mental Selama Pendidikan Kedokteran

Jumlah Fakultas Kedokteran dan laju pertambahan alumninya harus selaras dengan daya tampung dokter di masyarakat (di faskes Pemerintah, swasta, maupun mandiri). Jangan hulu terus mengalirkan air (dan makin hari makin banyak) sementara sungai tidak menemukan muara untuk berhilir. Jadinya banjir dan alumni berkelahi rebutan saling sikut mencari pegangan supaya tidak hanyut.

“Sungai tidak bisa berhilir” jadinya. Yang begitu pasti banyak korbannya. Itu semua masalah di hilir, masalah sungai tak punya hilir.

Jangan kira masalah cuma di situ. Masalah ada (dan banyak!) di semua lini. Kalaupun bisa dapat muara banyak tetap masalah sebelum air sungai bisa mengalir ke laut. Masalahnya tidak sesederhana yang dikatakan seorang sahabat, “Biar aja mereka bersaing, yang kuat yang menang.”

Tidak sesederhana itu. Tidak seperti teori Darwin: “Survival of the fittest.” Yang terbaik yang menang. Jadi dokter banyak persyaratannya untuk bisa ikut berkompetisi. Untuk masuk ke gelanggang saja sudah susah. Ada yang namanya UKDI yang kemudian bertransformasi menjadi entah apa namanya tapi sama saja. Serupa tapi tak sama. Kayak adat kita di nusantara, kalau sakit-sakitan anak diganti nama tapi orangnya tetap sama, dan tetap sakit-sakitan setelah ganti nama.

Si Bejo karena selalu meriang sampai lumpuh layuh sama bapaknya dipotongin kambing, bikin selamatan ganti nama jadi Hasan. Orangnya sama aja. Hasan itu Bejo, Bejo itu Hasan. Abis ganti nama Hasan tetap sakit-sakitan. Tetap sering meriang sama lumpuh layuh. Lah dia selalu meriang karena TBC, lumpuh layuh karena spondilitis TB (tambah lagi tidak divaksin, mungkin polio juga dia).

TBC tidak sembuh kalau cuma ganti nama. UKDI dan suksesornya itu luar biasa sulit lulusnya dan sudah menjadi polemik berkepanjangan yang tidak juga bisa selesai. Belum lagi ada yang namanya internship. Program jantan tapi gajinya setengah banci. Tujuannya mulia, percepatan pemerataan dokter ke seluruh nusantara, sayang dokternya digaji (setidaknya saat awal peluncuran programnya) lebih rendah dari UMR daerah paling terpencil di Indonesia.

Masak asisten rumah tangga standar gajinya dua kali lipat dari gaji dokter (internship)? Asisten rumah tangga masih mending. Ikut mondok sama tuan, gaji rutin tiap bulan, kosmetik numpang kalau boss belanja bulanan, pembalut numpang nyonyah. Lah ini yang namanya dokter gajinya yang seupil itu diterima per tiga bulan, banyak yang baru terima setelah 6 bulan. Itu juga harus telfon sendiri berkali-kali ke pejabat pemberi janji dan pemegang janji.

Bayar pondokan sendiri, makan tanggung sendiri, pembalut wanita juga beli sendiri. Udah gitu banyak yang mati lagi. Dan berbagai problem dan polemik lainnya yang harus dijalani sebelum seorang dokter bisa bekerja di faskes pemerintah maupun swasta.

Mau mandiri sebelum itu? Tidak bisa dan tidak boleh. Tidak boleh praktek sebagai dokter, tidak dapat surat registrasi dan tidak dikasih surat ijin praktek dokter. Jadinya sangat banyak dokter yang cuma punya ijazah mentereng, pembalut masih numpang punya emak di rumah. Yang laki mau cukur kumis minjam cukuran punya bokap.

Mau praktek sembunyi-sembunyi? Toh ilmu pengobatan udah lengkap? Melanggar hukum! Sanksinya pidana, bisa ditambah perdata. Buntutnya ya apa lagi selain penjara?

Mau situ? Kalau tidak mau ya mikir dulu sebelum mengkritisi. Jadi masalahnya tidak semudah “Biarkan mereka berkompetisi.”

Baca juga: Bahan Makanan yang Bagus untuk Mencegah Kanker Prostat

Lah gimana mau berkompetisi kalau masuk gelanggang aja tidak boleh. Saya malah sering mikir pendapat pribadi bahwa semua “Batu sandungan” itu dirancang untuk mengurangi arus sungai karena muaranya super sempit. Lebih sedikit gejolak bottleneck di faskes kalau yang melamar ke situ minimal.

Masyarakat lebih terima juga alasannya, lah gimana mau dipaksa terima kalau belum lulus ujian. Nyang begitu mah Si Otong yang kerjanya cuma bikin ribut main gitar di ujung gang juga ngerti.

Kata Otong, “Yaile, Bang. Lu pikir gue bego banget? Ngerti Otong Bang biar juga dikate Otong gak sekolah dan kerjanya cuma mabok-mabokan. Gimana mau diterima kerja kalau belum lulus ujian? Gimana mau nuntut gaji tinggi kalau lom jelas masih mahasiswa ape udah jadi dokter? Ngerti Otong, Bang!!!”

Tuh, Si Otong yang kalau tidak lagi main gitar kerjanya jadi copet aja ngerti. Di hulu? Jangan kira bebas masalah. Masalah paling besar justru di sini. Saking besarnya saya tidak pernah berani nulis walau udah banyak yang minta. Kalau ada yang nanya saya berani jawab verbal tapi pilih-pilih orang, takut direkam diam-diam (jiaahhhh kayak vublik pigure saiyya!).

Paling jauh berani komen dikit di sosmed mengharap sedikit yang baca. Kalau saya sering bilang, “Small problems here and there too many times are just small problems;” saya sering bilang juga ke orang tertentu, “Big problems are always big problems, even they are only one.”

Di hulunya begitu. Cukup menjelaskan kan? Jangan tanya lagi. A new Medical Faculty? Saya cuma berani jawab, “That’s the last thing this country needs.” Lainnya tanya Si Otong ajah.

Biar dikata dia tidak pernah sekolah, kalau tidak lagi nyopet dia molor 24 jam kayaknya dia ngerti kok masalahnya. Tanya dia ajah. Nah, sekarang ada lagi yang bakal jadi polemik, pendidikan dokter spesialis “Hospital based.”

Apa lagi tuh? Sttt… Otong lagi molor sambal meluk dompet yang dia abis copet, nanyanya tunggu dia melek aja. Nyang jelas di muara bakal ada banjir baru. Banjir dokter spesialis. Banjir besar kayak iler si Otong yang bikin maknyak tiap hari ngomel harus jemur bantal. (*)

*) Penulis : dr. Erry Yunus SpOT Aktivis Dokter Indonesia Bersatu (DIB)

 

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru