Akhir Bisnis PT Aditec Cakrawiyasa, Mengalami Pailit dan PHK Ratusan Karyawan

Reporter : Redaksi
PT Aditec Cakrawiyasa

PT Aditec Cakrawiyasa yang dikenal sebagai produsen kompor gas, regulator, dan selang dengan merek Quantum mengakhiri bisnis setelah beroperasi sejak tahun 1993. Sebanyak 511 karyawannya pun menjadi korban Pemutuhan Hubungan Kerja (PHK).

Kondisi itu terjadi setelah PT Aditec Cakrawiyasa mengalami pailit. Perusahaan yang beralamat di Jalan Raya Serang, KM 15, Desa Talagasari, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, pada 22 Juli 2024.

Direktur PT Aditec Cakrawiyasa, Iwan Budi Buana menceritakan nasib pabrik kompor Quantum berakhir mengenaskan dengan status pailit. Padahal, perusahaan tengah mencoba untuk bertahan di tengah kesulitan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Namun, tunggakan hutang yang mencapai ratusan miliar rupiah membuat perusahaan tidak bisa berbuat banyak selain harus pailit.

"Kita coba jalan pasca-Covid, tapi jualan agak drop. Sedangkan fix cost naik, 2019 karyawan kita mau di-PHK tapi susah bayar pesangon. Makin lama makin susah kita juga. Penjualan nggak sesuai target, cost nggak seimbang. Akhirnya kita nggak bisa bayar ke supplier pasca pandemi. Pasca PKPU ada beberapa suplier mengajukan pailit ke kita, kita sudah beberapa kali PKPU, tapi yang sekarang ini nggak bisa nahan lagi," kata Direktur Quantum Iwan Budi Buana dilansir CNBC Indonesia.

Matanya tidak bisa berbohong sembari berkaca-kaca ketika menjelaskan kondisi perusahaan, yakni tengah dalam kondisi kesulitan. Meski sudah berupaya melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), namun kondisi perusahaan tidak juga membaik karena dihajar pandemi.

"Sekarang jadi pailit. Padahal kita udah bertahan untuk nggak pailit. Gimana caranya karyawan masih bisa kerja tapi ternyata perusahaan dipailitkan, kita nggak bisa apa-apa. Jadi pailit kita coba bertahan terus, kita udah nego ke mereka, mereka nggak mau, akhirnya pailit. Sebenarnya kita nggak mau pailit karena kita ada karyawan," ujar Iwan.

Jumlah karyawan yang bekerja di pabrik ini sempat menyentuh 800 orang. Namun perlahan menyusut karena penjualan yang terus menurun.

"Dulu sampai 700-800, lalu turun ke 500-600 orang. Ekonomi lagi nggak bagus, daya beli juga turun, penjualan kita juga drop, cost biaya kita tinggi, bahan baku naik. Akibat bahan baku naik, kita juga produksi nggak bisa tercapai dengan target. Fix cost juga makin naik, produksi ngga bisa dapat, akhirnya kesulitan keuangan ngga bisa bayar ke suplier kan. Ini sudah lama sih kita jamin terus, tapi karena kita sulit, kita udah PKPU kan mereka ajukan pembatalan homologasi, ya udah," sebut Iwan.

Iwan Budi Buana mengungkapkan penyebab dari ambruknya perusahaan bukan terjadi serta merta langsung, melainkan karena proses yang sudah lama yakni menurunnya penjualan.

Imbas dari performa yang turun drastis, perusahaannya memiliki banyak tunggakan kepada banyak pihak. Salah satu tuntutan besar berasal dari 511 karyawannya yang terkena PHK. Namun angkanya berbeda dengan tuntutan dari karyawan.

“Klaim mereka begitu ya. Tunggakan gaji terhutang ya (ada) waktu itu operasional sempat berhenti 6 bulan, terus jalan, berhenti lagi, kira-kira 7-8 bulan. Angkanya saya nggak tau persis, terhutang karyawan mungkin Rp 17 miliar. Kayaknya belum pesangon, baru gaji selama beberapa bulan itu 2018-2019. Begitu 2019 kita susah langsung PKPU," jelasnya.

Ia tidak mengetahui persis total jumlah tunggakan kewajiban ke berbagai pihak lainnya. Namun Ia tidak menyangkal jika jumlahnya sangat besar.

Di kesempatan yang berbeda, Sekretaris Perwakilan Unit Kerja (PUK) Aditec Cakrawiyasa Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE) FSPMI Supriyono mendapat informasi bahwa tagihan kewajiban yang datang ke perusahaan jauh lebih besar dari total aset yang dimiliki perusahaan.

"Belum tentu dibayar haknya 100%, jumlah tagihan yang masuk kabarnya Rp 660 miliar, tapi asetnya Rp 100 miliar. Kekhawatiran kami asetnya jauh dari kewajiban sehingga harapan mendapat haknya semakin kecil," katanya.

Lebih lanjut, buruh tidak lagi menuntut haknya kepada perusahaan, melainkan semenjak pailit sudah tidak lagi berhubungan dengan manajemen karena langsung diambil alih kurator.

"Harapan kami, proses pailit bisa segera selesai dan harapan full mendapat haknya," kata Supriyono.

Berdasar klaim buruh, berikut rincian kewajiban kepada buruh yang tertunggak:

Pertama, pembayaran upah tertunggak tahun 2018 dan 2019 sebesar Rp 21.099.375.569 untuk 511 karyawan.

Kedua, pembayaran kekurangan upah periode 2019-2022 sebesar Rp 3.942.750.768.

Ketiga, pembayaran kompensasi pesangon bagi 511 karyawan dengan total Rp 22.795.510.420. (*)

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru