Bebek Madura di Jakarta, dan Dua Hal yang Ditakuti Orang Madura

Reporter : -
Bebek Madura di Jakarta, dan Dua Hal yang Ditakuti Orang Madura
Pedagang bebek asal Madura di Jakarta
advertorial

Perantau asal Madura memang militan, pejuang rupiah banget. Kita tak asing dengan Toko Kelontong Madura, di Jakarta dan kota kota besar lain. Dan, sejak tahun 2015 lalu, Warung Bebek Madura menyerbu Jakarta.

Tak jauh beda dengan warung kelontong mereka, Warung Bebek Madura ini juga punya tampilan khas, yakni minimalis. Tak begitu terlihat gambar-gambar menu makanan, hanya gerobak dengan kaca yang lebar, tenda terpal, meja dan yang pasti dari kejauhan sudah terlihat ember bumbu hitam, khas mereka.

Saya semalam sempat mampir di salah satu lapak mereka di sekitaran Jakarta Selatan, lapak kecil mepet dinding tembok toko material bangunan, anak muda usia di bawah 30 tahun yang berjualan. Saya tanya, apakah itu usahanya atau ia punya juragan. 

"Usaha sendiri, pak," ujarnya. 

Keren, saya membatin.

Biaya sewa di tanah itu Rp 1,5 juta/bulan (saya sempat kaget, karena hanya emperan 1,5 meter x 5 meter). 

"Mahal ya," saya berujar. 

"Lalu, biaya-biaya lain?" Saya lanjut bertanya.

"Bayar petugas, pak. Sebulan total Rp 600 ribu."

"Petugas apa," tanya saya pura pura gatau. 

Kalian pembaca pasti sudah menduga jawabannya, kan? 

Lalu, kawan saya berkelakar : "Wong Madura itu cuma takut sama dua hal, Allah dan petugas berseragam." 

Kami bertiga ngakak.

Total Rp 2,1 juta / bulan, biaya yang dikeluarkan untuk sewa dan petugas di tempat ia berjualan. 

"Sudah berapa lama di sini jualan?" 

"Insha Allah sekitar 7 bulan," katanya. 

"Bisa nutup sewa dengan hasil penjualan?"

"Alhamdulillah nutup, pak. Ya ada dikit dikit lebihnya," ujarnya.

Saya tanya kenapa bisa begitu cepat menjamur Warung Bebek ini, di Jakarta.  Menurutnya, para pedagang yang terlebih dahulu merantau untuk berjualan di Jakarta memberikan resep rahasia secara gratis kepada orang Madura lain (biasanya saudara/tetangga) yang ingin membuka warung serupa.

Tapi, ada syaratnya; pedagang tidak boleh berjualan di dekat lapak mereka. Hal itulah yang membuat semakin banyak wirausahawan nasi bebek tumbuh. Tidak ada sistem waralaba yang memberikan fee tertentu kepada pemilik resep awal.

Warga Madura memegang teguh prinsip bahwa memberi bukan berarti mengurangi. Toh dalam konsep rezeki mereka, pekerjaan bisa saja ditiru, tapi rezeki tidak bisa ditiru.

Masyarakat Madura di perantauan senang jika ada orang yang mau mulai berwirausaha. Tidak heran jika kemudian semakin banyak penjual warung bebek Madura di Jakarta.

Bumbu dan rasa warung di Jakarta dan sekitarnya umumnya hampir sama. Warna bumbu bebek Madura di Jakarta umumnya berwarna hitam. Dan yang mengejutkan buat saya adalah ternyata bebek mereka adalah bebek impor dari Malaysia, pengepulnya juga orang Madura yang tinggal di Condet (Jakarta). Warbiasah. (*)

*) Source : MinmonPS7

Editor : Syaiful Anwar