Beberapa hari lalu, ada insiden unik datang dari surat kabar Dawn di Pakistan. Sebuah artikel mengenai penjualan otomotif terbit seperti biasa, dilengkapi data dan analisis pasar, serta gaya penulisan khas laporan bisnis.
Namun di bagian paling akhir, terdapat satu paragraf yang sepertinya lupa tidak dihapus oleh Editor. Teks yang dengan jelas mengungkapkan bahwa artikel tersebut dibuat oleh ChatGPT, lengkap dengan kalimat, “Do you want me to do that next?” Sebuah penanda yang seharusnya tidak pernah lolos ke halaman cetak.
Baca juga: SMA Negeri 3 Taruna Angkasa Madiun Bertransformasi Menuju Smart Digital School
Momen unik ini menarik untuk direnungkan, karena penggunaan AI (Artificial Inteligence) dalam proses penulisan sebenarnya bukan hal baru lagi. Banyak organisasi memanfaatkan teknologi untuk mempercepat riset, membuat gaya bahasa yang menarik, atau menyusun draf awal. Namun, insiden ini menunjukkan bahwa ketika manusia tidak mengawasi secara detail, kesalahan kecil dapat berubah menjadi perhatian publik yang luas.
penggunaan AI (Artificial Inteligence) memang membawa banyak manfaat, efisien, konsisten, dan mampu mengolah informasi secara cepat. Namun, kualitas komunikasi bukan hanya tentang menyusun kata yang tepat, tetapi juga memahami konteks, sensitivitas, dan implikasi sebuah pesan. Di sinilah peran manusia tetap tak tergantikan.
Sebagai praktisi komunikasi, memahami bahwa setiap kalimat memiliki tujuan, nuansa, dan dampak.
Baca juga: Aplikasi AI untuk Editing Video Online
Persepsi publik dapat terbentuk atau runtuh hanya karena satu paragraf yang terlewat. Dalam dunia PR, kelalaian seperti ini setara dengan unforced error kalau kita main tenis, sebuah kesalahan yang mengurangi nilai kita dan menguntungkan pihak lawan.
Pada akhirnya, kasus di Pakistan ini mengingatkan kita bahwa teknologi sebaik apapun tetap memerlukan sentuhan manusia. Bukan karena penggunaan AI (Artificial Inteligence) tidak mampu, melainkan karena komunikasi yang bermakna membutuhkan intuisi, empati, dan kehati-hatian, karakteristik yang sama sekali tidak bisa digantikan oleh mesin.
Pengawasan oleh manusia tetap menjadi fondasi agar pesan yang disampaikan selaras dengan nilai dan tanggung jawab institusi.
Dan mungkin yang paling menarik dari semuanya adalah ironi bahwa paragraf terakhir yang tidak dihapus, merupakan sebuah pengingat bagi kita bahwa teknologi adalah alat bantu, dan kualitasnya tetap ditentukan oleh kita sendiri yang menggunakannya. (*)
Editor : S. Anwar