Sembilan tahun dipimpin oleh Pak Jokowi (Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia) ternyata rakyat nusantara belum juga mampu membaca setiap gerakan cantik yang dibuatnya. Grand strateginya membawa Indonesia emas tahun 2045 dengan menyiapkan infrastruktur yang baik agar mampu memanfaatkan bonus demografi tentunya bisa dirasakan.
Tetapi taktiknya yang nyaris tak terbaca, sama seperti kita masyarakat awan disuruh baca morse jaman pramuka, hanya bisa menduga lalu berhalusinasi membangun cerita seakan lebih tahu dari apa yang dipikirkan seorang Jokowi. Bahkan kawan dan lawan politiknya serta para pengamatpun dipecundangi tanpa mempermalukan mereka yang memang sudah kehilangan rasa malunya.
Baca juga: Queen Bee Syndrome Iriana, Penyebab Runtuhnya Kerajaan Joko Widodo
Hanya sepak terjangnya menghabisi lawannya begitu nyata. Seperti politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Panda Nababan katakan kalau Suharto menghabisi lawannya melalui tangan beberapa jendral sehingga sering para jendral tersebut berebut posisi agar dianggap paling dekat dengan Soeharto (Presiden RI ke-2), tetapi Jokowi tidak perlu orang lain menyingkirkannya. Dia lakukan sendiri - ya sendiri.
Mungkin kita sudah mulai lupa bagaimana Jokowi meniadakan kehadiran Sang Wapres (Wakil Presiden) periode pertama dengan membuang orang - orang disekitarnya, sebut saja Sudirman Said, Anis Baswedan. Lalu mengirim Setia Novanto ke hotel Prodeo disaat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), membuang kerewelan Rizal Ramli dari kabinet, mencopot Gatot Nurmantyo dari Panglima TNI hingga tenggelam sampai sekarang, menghabisi mafia minyak dengan membubarkan Petral, memberangus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok radikal lainnya, bahkan yang lebih dahsyat lagi merebut kembali kekayaan tanah air kita dari tangan asing : Freeport, Blok Mahakam, New Mont Nusa Tenggara.
Jokowi bukanlah presiden hanya mampu omong doang, dia mampu menghadapi tekanan China, Eropa dan Amerika Serikat juga lembaga seperti World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Found (IMF). Namun sebelum berhadapan, dia siapkan dulu infra dan supra strukturnya.
Ketika dia bangun pangkalan militer di Natuna, membangun bandara di Mianggas dan Anambas, membangun jalan di papua, memperbaiki seluruh pintu masuk perbatasan menjadi lebih bagus dari negeri tetangga, banyak orang mempertanyakan.
Untuk apa bangun bandara di Mianggas dan Anambas, bahkan kawan politiknya mentertawakan dengan sombong, dia lupa kalau Jokowi sedang menyiapkan infrastruktur agar kalau benar terjadi perang terbuka antara China dan Amerika Serikat (AS), Indonesia tidak mati jadi pelanduk ditengah - tengahnya.
Bila diperlukan kedua bandara tersebut dapat difungsikan seperti kapal induk menjaga wilayah Indonesia di utara dengan dukungan pesawat tempur dari basenya di Makassar, dan Mianggas mengeliminir serangan dari selatan dengan dukungan pesawat tempur dari basenya di Madiun.
Daripada membeli kapal induk bekas yang membutuhkan biaya operasional yang cukup besar, seperti kesalahan yang dilakukan Thailand dan India punya kapal induk tetapi tidak mampu mengoperasikan secara maksimal.
Lalu untuk apa jalan jalan di Papua membelah hutan belantara, memudahkan mobilitas alutsista kita menyekat pergerakan KKB yang dapat bantuan dari berbagai negara.
Ciamik bukan, makanya AS gigit jari. Apalagi Papua di pecah-pecah lagi menjadi sekian provinsi, ini akan melemahkan kelompok criminal bersenjata (KKB).
Apakah itu sudah cukup, belum. Suara nyinyir dari negara negara seupil hidung di Pasifik dirangkul dan dielus oleh Jokowi. Mereka didatangi diundang dalam konfrensi negara kepulauan. Apa yang bisa kita lihat, eh dua negara yang dulu vokal menyuarakan kemerdekaan Papua Barat kini malah memuji Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Ingat apa yang diucapkan Solomon dan Timor Leste dalam sidang PBB lalu? Kini tinggal tunggu suara Vanuatu, Fiji dan negara sebesar biji gandum lainnya. Jokowi kok dilawan.
Sudah cukup? Belum. Sebelum China semakin agresif mengklaim berbagai bagian wilayah di laut China Selatan, Jokowi sudah lebih dahulu membentengi Kepulauan Natuna, dibangun secara fisik untuk rakyat sipil, dibuat markas angkatan laut, bandara diperbaiki, laut natuna utara digemakan, terakhir melebur penjaga pantai menjadi semacam coast guard.
Makanya China tidak berani seperti memainkan Philipina yang berseteru di laut yang sama. Melawan Eropa? Cukup dengan hilirisasi tambang nikel, baru satu sumber lho.
Melawan kecongkakan IMF cukup beli 10 % sahamnya, maka pembesar IMF ampun ampun atas kesalahannya untuk meminta Indonesia melepas ekspor bahan mentah tambangnya.
Cantik? Bukan, sangat cantik. Strategi tingkat Dewa yang sulit dipahami oleh lawan dan kawannya terpaksa menyembunyikan kekagumannya.
Baca juga: Peresmian Smelter PT Freeport Indonesia di Gresik
Langkah ini melambungkan namanya ke panggung politik tingkat dunia sebagai salah satu presiden terbaik di dunia ini. Bukan hanya Jokowi, dia juga menenteng Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik di dunia.
Lalu apakah dengan prestasi dan legacy yang akan ditinggalkan tersebut, Jokowi bertindak "bodoh dan tolol " untuk mengakhiri kekuasannya dengan game over bad ending story.
Jokowi terlalu cantik permainannya. Hanya para pengamat yang gegabah menilainya, hanya karena ada capres (calon presiden) yang kepepet dompleng nama besar Jokowi, sehingga selalu menenteng nama Gibran Rakabuming Raka lalu netizen berbalik arah menyebut Jokowi membangun politik Dinasti.
Kalau tidak anak presiden, mana mungkin Gibran yang berusia under forty bisa jadi Walikota. Eh kemarin malah Golkar dan PDIP sendiri yang seakan mengklarifikasi, kalau Golkar dan PDIP memiliki selusin Bupati dan Walikota yang under forty.
Apa mereka semua karena katabelece. Inilah jagonya Jokowi, fakta yang akhirnya mengungkapkan. Kini yang dulu gencar mendukung Jokowi, sekarang malah berbalik arah menggiring opini menihilkan peran Jokowi, apa berganti sponsor bos.
Kalau dilakukan oleh partai pendukung seperti PDIP dan kawan-kawan (dkk), saya maklum. Nama Jokowi memang harus mulai diturunkan, agar Ganjar bisa tampil menjadi dirinya sendiri menjauhkan diri dari bayang - bayang Jokowi.
Ibarat sebuah perusahaan, Megawati sedang menyiapkan Launching sebuah produk baru bernama GAMA (Ganjar Mahfud), agar produk baru bisa diterima, maka produk ini harus dikemas rapi, menarik namun formulanya tidak jauh berbeda dari Jokowi. Sehingga market bisa menerima GAMA sebagai sebuah produk yang memiliki kualitas yang lebih baik dari Jokowi (tanpa Maruf Amin) dengan kemasan design produk yang dapat diterima kaum milineal dan gen Z yang memiliki suara 62 % dalam pemilu 2024.
Sebab ibarat life cycle sebuah produk, Jokowi saat ini sudah dipuncaknya, grafik akan menurun. Kalau seorang Brand Manager maka akan dilakukan relaunch agar produk tampil kekinian, dengan biaya yang lebih murah.
Baca juga: Presiden Jokowi Nyatakan Kesiapan Indonesia Gelar KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta
Tetapi sang Marketing Director, Megawati Soekarno Putri yang dimata banyak orang dianggap arogan, punya strategi yang lebih berani. Mengapa mesti relaunch kalau bisa Launch di market yang sedang berubah?
Karena Megawati tahu, dia memiliki resources yang cukup untuk itu. 10 tahun berkuasa, PDIP didukung Harry Tanoesudibyo pasti memiliki energi besar untuk melakukan Launching GAMA. Konsekuensinya tentunya harus menarik produk lama dari pasaran (tim relawan Jokowi) diganti dengan produk baru (tim relawan Ganjar).
Karena ini launching bukan sekedar relaunch apalagi Minor Relaunch. Bagaimana menggarap market kelas menengah atas, kaum cendikiawan, santri dan minoritas, Mahfud MD jawabannya. Ini langkah yang sangat cerdas.
Untuk mendukung langkah besar Launching GAMA, iklan teaser sudah mulai di tayangkan sejak bulan lalu kalau anda cerdas mengamati, maka tinggal menayangkan iklan utama dalam beberapa hari kedepan. Ganjar sendiri sudah melakukan sejak bulan lalu, dia hadir dimana mana tidak menenteng Gibran atau Kaesang, karena kalau dia mau dia bisa membawanya. Tapi dengan yakin dia sengaja tidak melakukan, agar tidak terus berada dibalik bayangan Jokowi.
Ganjar yakin memiliki kualitas diri, rekam jejak, bersih visioner dan merakyat. Sekarang bagaimana mengiklankan. Jokowi punya Jan Ethes sebagai gimmick, Ganjar punya Alam yang besar tanpa memanfaatkan fasilitas sebagai seorang pejabat.
Mahfud MD benar-benar menjadi expert yang paham betul bagaimana Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif bekerja, karena ketiganya sudah dicicipi. Makanya sebagai masyarakat, kita harus sabar membaca langkah-langkah begawan politik yang terkadang jauh dari apa yang dibayangkan, apalagi sampai baper.
Para pengamat pun sering keliru menafsirkan, namanya juga pengamat bisa benar bisa lebih banyak salahnya. Yang pasti kita harus cerdas memilih agar Indonesia emas 2045 terwujud. Selamat akhir pekan, salam sehat selalu, jangan lupa senyum dan mari cerdas memilih calon pemimpin Indonesia. (*)
*) Penulis : R. Roland. A, S.H.
Editor : Syaiful Anwar