Saat menangani sengketa lahan, sekelompok advokat yang tergabung dalam Pergerakan Seluruh Advokat Indonesia (Persadi) DKI Jakarta menemukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) ghaib alias fiktif. Tentu saja temuan ini langsung ditindaklanjuti dengan membuat laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pelaporan dilakukan pada Kamis sore 23 November 2023, oleh tujuh orang, dua diantaranya merupakan para saksi dan lima lainnya merupakan kuasa hukum (advokat).
Baca juga: 19 Orang Advokat Persadi DKI Jakarta Dilantik
Juru bicara para kuasa hukum, Iskandar Halim, usai menyerahkan berkas laporan di Sentra Gakkumdu Bawaslu DKI Jakarta menjelaskan, pihaknya tengah memperjuangkan upaya kepemilikan lahan kliennya bernama Meifilia yang kini tinggal di Kawasan Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Dalam sengketa tersebut, Meifilia harus berhadapan dengan kakak beradik yang masing-masing bernama Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong yang mengaku sebagai ahli waris. Namun saat ditelusuri keabsahan identitas kedua nama kakak beradik keturunan Tionghoa tersebut, mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, hingga Dinas Dukcapil dan Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM, ternyata tidak ditemukan keterangan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau kosong.
Padahal Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua nama tersebut memiliki NIK dan terdaftar sebagai pemilih dengan nomor TPS/DPT 075 dan 076 dikelurahan Gandaria, Jakarta Selatan, untuk pemilu 2024.
"Awalnya klien kami tidak pernah digugat. Tapi pada tahun 2008, Meifilia digugat oleh Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong. Padahal gugatan yang diajukan oleh Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong ditujukan kepada Sunarto. Sementara yang menempati gedung yang berdiri diatas lahan sengketa tersebut adalah milik Meifilia. Sehingga pada gugatan tersebut, Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong memenangkan gugatan. Namun Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong sama sekali tidak pernah hadir di Pengadilan, hanya pengacaranya saja yang selalu mewakili kehadirannya di persidangan. Kemudian ketika eksekusi hendak dilakukan pada tahun 2015, Meifilia berada dilokasi. Maka selanjutnya Meifilia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) penolakan eksekusi karena Meifilia tidak berada dalam gugatan itu (bukan pihak tergugat). Perlawanan Meifilia terus dilakukan hingga tahun 2021, yang akhirnya membuat Meifilia dikeluarkan dari bangunan. Namun semua barang miliknya berupa bangunan dan bahkan berlian yang ada di dalamnya tidak dikembalikan oleh Pengadilan Jakarta Pusat. Kemudian pada April 2023, datanglah Meifilia menemui kami. Kami menemukan kejanggalan. Pada penyidik pertama Tan Eng Hong pernah diperiksa. Tapi pada penyidikan yang baru Tan Eng Hong tidak pernah diperiksa, bahkan hilang dari Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP). Saat dia hadir, dia tidak berbicara sama sekali, diduga karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia lantaran dia WNA (warga negara Belanda),” jelas Iskandar, Sabtu (25/11/2023)
Iskandar mengatakan, fiktifnya identitas atas nama Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong juga diperkuat oleh surat keterangan Kecamatan Cilandak tanggal 10 November 2023, tempat alamat yang tercatat dalam identitas keduanya. Dalam surat tersebut, Camat Kecamatan Cilandak menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menegaskan status kewarganegaraan Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong karena tidak memiliki data pendukung dan kewenangan.
Baca juga: BPW Peradin Jawa Timur Menggelar Pembinaan di BPC Madiun
Pengecekan register pelayanan pelayanan surat keterangan waris kecamatan Cilandak atas nama keduanya juga tidak ditemukan. Sosok keduanya juga tidak pernah dijumpai oleh warga yang tinggal disekitar lahan sengketa yang beralamat di Jl. Pasar Baru Nomor 45, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Setiap kali pengurus RT datang ke alamat tersebut, hanya ditemui asistennya. Baik Tan Eng Hong maupun Tan Eng Siong dikabarkan sudah lama menetap di Belanda mengikuti kepindahan orangtuanya yang dahulu menempati lahan tersebut.
Untuk mempertegas status kewarganegaraan Tan Eng Hong dan Tan Eng Siong, Tim Kuasa Hukum mengirimkan surat ke sejumlah instansi terkait, seperti Kemendagri, Kemenkumham, Mabes TNI, Mabes Polri, BIN dan Kedubes Belanda di Jakarta pada tanggal 22 November 2023.
“Kami juga telah mengirim surat pengaduan ke instansi-instansi dan semua surat pengaduan telah di terima”, ungkap Iskandar.
Baca juga: Tekait DPT Fiktif, Persadi DKI Jakarta Kirim Surat Ke KPU dan Bawaslu
Iskandar menyebutkan, tanah seluas 444 meter persegi itu sendiri berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan telah habis masa penggunaannya pada tahun 1980, tak lama setelah dikeluarkannya Kepres dan Permen larangan kepemilikan lahan oleh WNA. Hingga kini, perpanjangan HGB tidak dilakukan, sementara gedung yang berdiri diatas lahan tersebut adalah milik Meifilia dan telah ditempatinya sejak tahun 1973. Ironisnya, gedung beserta aset milik Meifilia yang berada di dalamnya ikut tersita pada saat eksekusi Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2021.
Untuk memperjuangkan hak miliknya, Meifilia yang selalu membayar PBB lahan tersebut sejak awal sudah berusaha melaporkan kejadian itu ke Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat, namun sampai kini pihak pengadilan belum juga mengembalikan asetnya yang ikut tersita.
“BPN semestinya tidak boleh menyita aset tanah negara, sebab dalam pasal 34 ayat 1 butir a peraturan Menteri Agraria Tata Ruang (Permen Nomor 13 Tahun 2017) tentang Tatacara Blokir dan Sita, disebutkan bahwa sita tidak dapat dilaksanakan terhadap hak atas tanah yang merupakan barang milik negara/daerah, tapi ini kenapa BPN melakukan sita? Kepolisian perlu mendalami laporan kami,” harap Iskandar. (Anhar Rosal)
Editor : Ahmadi