Pada akhir November 2022, Polisi menggrebek kegiatan penambangan di wilayah Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik. Sejumlah alat berat diamankan. Beberapa orang juga dimintai keterangan, dan kegiatan penambangan dihentikan.
Tak dinyana, belum seminggu pasca penertiban tersebut, penambang di wilayah Panceng kembali beroperasi. Ada 3 daerah penambangan di Kecamatan Panceng dengan luas berkisar hingga 39 hektar yang terbagi di 3 desa, yaitu Desa Ketanen (± 21 ha), Desa Banyutengah (± 11 ha), dan Desa Pantenan (± 7 ha).
Baca juga: Komplotan Perusak Lingkungan di Kecamatan Panceng Divonis Ringan
"Penambang buka lagi. Truk-truk besar angkut tambang. Saat kesana, ada 2 penambang dengan truk-truk besar warna ijo," ungkap Slamet, nama panggilannya, seorang warga sekitar yang menyebut area penambangan ilegal yang buka diantaranya di Desa Banyutengah, pada Rabu 6 Desember 2023.
Slamet bersama warga lain penolak tambang ilegal awalnya riang menyambut ditutupkan penambangan ilegal di dekat kediamannya. Namun, keriangan itu tak berlangsung lama ketika mengetahui truk-truk besar kembali melintasi jalanan desa di wilayahnya.
"Saya kira sudah ditutup oleh Polisi. Ternyata cuma gimmick belaka. Kepada siapa lagi kami berharap penderitaan warga di sekitar tambang. Para penambang kebanyakan orang luar desa yang didukung oknum perangkat desa," katanya.
Baca juga: Miris ! Penambang Ilegal di Kabupaten Gresik Dituntut Ringan
Slamet mengakui, keberadaan tambang di desanya tidak berdampak kepada kesejahteraan warga di desanya. Justru yang terjadi sebaliknya. Jalan pertanian tertutup tambang. Sumber air terganggu karena mengalir ke lokasi tambang yang kedalamannya mencapai kurang lebih 15 meter.
"Belum lagi dampak sosial ekologis yang membuat warga disini menderita. Apalah daya kami orang kecil. Sedangkan mereka, orang dekatnya Bupati (Gresik). Apa perlu kami jalan kaki ke Jakarta menemui Jokowi (Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia) untuk mengadukan dahsyatnya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tambang," ujar Slamet.
Untuk diketahui, sebelum ditertibkan Kepolisian, ada 6 penambang di wilayah Kecamatan Panceng yang beroperasional. Material berupa paras dan pedel (lime stone) yang dikeruk dari penambangan di wilayah Panceng disupplai ke perusahaan di kawasan industri di Manyar, Kawasan Ekononi Khusus (KEK) JIIPE, dan beberapa perusahaan lain.
Baca juga: Konflik Tambang di Panceng : Cuan, Lingkungan, dan Lemahnya Penegakan Hukum
Supplai tanah urug ke KEK JIIPE sama saja menjual tanah negara kepada negara. Tidak itu saja, ada dugaan pungutan liar (pungli) yang berkedok atensi sebesar Rp. 40 ribu/truk muatan 10 kubik, dan Rp 60 ribu/truk untuk muatan 20 kubik. Pungli itu kuat dugaan untuk pengondisian di lapangan dan uang keamanan yang diduga dikordinatori oleh keluarga orang nomor satu di Gresik.
Penambangan di wilayah Kecamatan Panceng juga mengancam keberadaan objek vital (obvit) berupa tower listrik atau Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Jarak tiang PLN (Perusahaan Listrik Negara) dengan tanah yang ditmbang sangat dekat. Ketiga SUTET tersebut berada di wilayah Desa Pantenan, dengan tiang 1, jarak tiang Sutet dengan tanah yang dikeruk sekitar 5 meter. Tiang 2, jarak tiang Sutet dengan tanah yang dikeruk sekitar 10 meter. Dan tiang 3, jarak antara tiang Sutet dengan tanah yang dikeruk sekitar 20 meter. Jika tiang itu sampai roboh, arus listrik Jawa Bali bisa terputus. (adi)
Editor : Syaiful Anwar