Menuntut Keadilan Bagi 3 Petani Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi

lintasperkoro.com
Ratusan warga Desa Pakel bersama TeKAD GARUDA demo di Pengadilan Tinggi Surabata

Ratusan orang berkumpul di depan Pengadilan Tinggi Surabaya, Jalan Sumatera nomor 42, Kota Surabaya, pada Rabu, 13 Desember 2023. Warga yang tergabung dalam warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, bersama-sama dari Banyuwangi ke Surabaya untuk menuntut keadilan bagi 3 petani Desa Pakel dan warga sipil yang direbut haknya oleh konstitusi.

Tiga petani dari Desa Pakel ialah Mulyadi, Suwarno, dan Untung. Ketiga petani tersebut ditangkap tanpa prosedur yang jelas oleh Polisi pada Jumat, 3 Februari 2023, karena dianggap menyebarkan berita bohong.

Baca juga: Kehadiran Anggota LSM Alam Semesta di Pengadilan Negeri Agama Surabaya Ditolak Hakim

Mulyadi, Suwarno, dan Untung, ditangkap oleh pihak Kepolisian saat dalam perjalanan menuju Rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi. Kemudian mereka dijadikan tersangka dan diadili di Pengadilan Negeri Banyuwangi.

Mulyadi, Suwarno, dan Untung, dan Penasehat Hukumnya

Mereka divonis 5,6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan tuduhan "Penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran."

“3 Petani Pakel dianggap ancaman oleh negara. Demi hak asasi manusia dan tegaknya konsitusi, negara harus membebaskan 3 petani Pakel sekarang juga!” tegas Jauhar Kurniawan, perwakilan dari Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (TeKAD GARUDA) yang mandampingi 3 petani Desa Pakel.

Sebelum demo di depan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, ratusan warga Desa Pakel bersama TeKAD GARUDA melakukan longmarch dari Taman Lansia kemudian menuju Pengadilan Tinggi Surabaya.

“Saat ini, keluarga dan warga Desa Pakel, sedang berupaya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Karena putusan hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi prejudice. Hakim tidak membuka mata pada fakta persidangan dan tidak mempertimbangkan pembelaan dari para terdakwa," kata Jauhar Kurniawan.

Selain itu, dalam sidang yang berujung vonis 5 tahun 5 bulan tersebut, pihaknya menemukan ketidakjelasan objek berita bohong yang dituduhkan kepada terdakwa, kerugian materiil dan imateriil yang tidak pernah dibuktikan dalam persidangan, serta hakim jude factie melampaui kewenangan hakim pidana.

Kasus kriminalisasi ini bermula ketika tiga petani Desa Pakel, yakni Mulyadi, Suwarno, dan Untung, pada 3 Februari 2023 ditangkap polisi dan dibawa paksa ke Kepolisian Daerah Jawa Timur atas tuduhan penyiaran berita bohong yang dapat menyebabkan keonaran di kalangan masyarakat.

Atas persoalan tersebut, pada Maret 2023, Tim Kuasa Hukum mengajukan praperadilan. Namun upaya itu ditolak hakim. Selanjutnya, kasus ini berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Banyuwangi. Ketiganya akhirnya divonis bersalah. Untuk melawan ketidakadilan tersebut, pada 13 November 2023, TeKAD GARUDA melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. 

Selain mendesak Pengadilan Tinggi Surabaya membebaskan trio petani Desa Pakel, TeKAD GARUDA meminta Kementerian ATR/BPN mencabut segera Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Sari dan memulihkan seluruh hak-hak ekonomi, sosial, budaya warga Desa Pakel yang terampas.

TeKAD GARUDA juga mendesak aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap para petani dan elemen masyarakat lainnya yang sedang memperjuangkan hak-hak ruang hidupnya.

Baca juga: Putusan Terdakwa Dani Bahdani diSidang Lanjutan Perkara Tanah Mabes TNI Jatikarya

Mulyadi, Suwarno, dan Untung merupakan bagian dari 2.760 warga Desa Pakel yang turut berjuang dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel. Mereka sebagian besar adalah kaum tuna kisma, yakni kelompok yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali (buruh tani). Dari total luas 1.309,7 hektar di Desa Pakel, warga Desa Pakel hanya mengelola lahan seluas 321,6 hektare, sisanya dikuasai oleh PT Bumi Sari dan Perhutani.

Laporan penyebaran berita bohong, jadi dasar penangkapan tersebut. Sulit rasanya bagi kami, untuk menghindari pikiran/ dugaan, bahwa yang menjadi udang di balik batu dari pelaporan tersebut adalah hasrat untuk membuat kesan bahwa akta 1929 adalah dokumen hoax,” katanya.

Kriminalisasi 3 petani Desa Pakel yang dianggap menyiarkan berita bohong hingga menyebabkan keonaran bersumber dari salah satu siaran di akun Youtube. Siaran itulah yang yang dianggap berakibat pada timbulnya keonaran di masyarakat. Anehnya, siaran Youtube dibuat tahun 2022, sedangkan akibat keonaran yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui surat dakwaan terjadi pada tahun 2018.

Tiga petani tersebut tengah berjuang untuk mendorong redistribusi tanah di desanya, karena wilayahnya mengalami kekurangan lahan, sehingga mengakibatkan banyak warga yang tak bertanah. Nahasnya mereka dilaporkan oleh sesama warga desa karena diduga menyiarkan berita bohong.

“Dengan terburu-buru dan gegabah pihak berwajib tidak melihat faktor konflik agraria serta persoalan yang terjadi, parahnya Kejaksaan pun melakukan hal serupa. Penggunaan pasal berita bohong terlalu berlebihan, menganggap seolah-olah tiga petani ini adalah ancaman bagi Negara, padahal tidak seperti itu. Sehingga di sini perlu melihat konteks dan akar persoalan sosial menjadi kunci untuk memahami kejadian yang sedang terjadi,” katanya.

“3 petani Pakel ini divonis 5 tahun 6 bulan atas kasus ini, padahal persoalan ini tidak terlepas dari persoalan konflik agraria, sehingga menghambat penyelesaian konflik. Dari sini telah jelas bahwa Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi telah mengulangi kesalahan yang sama dengan kasus sebelumnya di mana gagal dalam melihat persoalan, sehingga menyebabkan seseorang yang memperjuangkan hak atas hidupnya dirampas kemerdekaannya,” jelasnya.

Baca juga: Terdakwa Kasus Dugaan Penyerobotan Tanah TNI Bacakan Pledoi

Sebelumnya pada tahun 2017, akibat konflik agraria sektor pertambangan 4 orang warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, dikriminalisasi, karena menolak tambang emas di bukit Tumpang Itu. Kriminalisasi tersebut menyebabkan salah seorang warga mendekam di jeruji besi atas suara lantangnya menolak pertambangan. Nahasnya hakim memilih menjatuhkan vonis meski bukti kurang kuat.

Kriminalisasi kembali terjadi pada tahun 2018, di mana petani hutan polos yang tidak tahu apa-apa dituduh merusak hutan di kampungya Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Ia difitnah oleh pihak pengelola hutan dan dilaporkan ke polisi saat itu.

Hampir kasus berjalan tanpa pendampiang hukum, lalu beruntung di petani mendapatkan pendampingan dari pengacara publik LBH Surabaya saat itu. Beruntung saat di pengadilan ia bisa lolos dari jerat aturan perusakan hutan, karena secara sah ia tidak terbukti.

Peristiwa serupa kembali terulang pada tahun 2021 lalu, saat 3 orang warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, dituduh menghalangi pertambangan dengan dikenakan pasal 162 Undang Undang Minerba. Pelaporan oleh perusahaan direspons cepat oleh pihak berwajib hingga ke fase persidangan.

Saat itu 3 orang warga tersebut diputus bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, meski apa yang mereka lakukan berada di luar konsesi dan bentuk protes atas rusaknya jalan sampai penurunan kualitas lingkungan akibat tambang. B

aik pengadilan maupun kepolisian tidak pernah melihat konteks mengapa orang protes, apalagi dampak pertambangan, sehingga 3 orang tersebut divonis bersalah. Beruntung saat kasasi di Mahkamah Agung mereka diputuskan tidak bersalah,” katanya. (dit)

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru