Jenazah Bertabur Bunga Mawar di Sidoarjo (Bagian ke -1)

lintasperkoro.com
Lokasi ditemukannya mayat Mega

Jumat pagi tanggal 4 Agustus 2023, saya masuk kantor seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dari pagi itu. Masih dengan ruang kantor yang sama, posisi sofa yang tak berubah, juga tumpukan berkas-berkas perkara yang menuntut untuk diperiksa.

Masih dengan kebiasaan yang sama, saya letakkan tas di atas meja lalu menyalakan mesin kopi untuk membuat double espresso sebagai pelengkap mengawali hari.

Baca juga: Prahara Rumahtangga Berujung Maut di Desa Wage

Cukup pahit memang. Tapi, bukankah kadang kita juga diharuskan menerima hal-hal yang rasanya seperti itu?

Hmm.. Aroma espresso yang baru dibuat memang tak pernah mengecewakan. Saya nikmati gelas kopi pertama saya pagi itu sambil duduk di sofa dan membuka grup-grup kerjaan yang selalu saja update walau di dini hari itu.

Hah..

Rutinitas.

15 menit berlalu dan saya masih duduk sendiri di sofa, memeriksa laporan di grup, dan melihat tetes kopi terakhir di gelas mungil itu berpamitan. Saya pun mulai mengarahkan pandangan ke sudut-sudut ruangan, perabotan, sampai ke langit-langit ruangan yang menguning.

Senin sampai Jumat kerja di kantor jadi Kasat. Belum malam Minggunya ngepos antisipasi tawuran sampe pagi. Minggunya menunaikan kewajiban menjadi bapak dan menjadi suami karena memang tidak ada waktu lagi.

Terus kapan aku sendiri menjadi aku?

Tiba-tiba saja, pikiran aneh itu terlintas di kepala. Pikiran tentang peran-peran yang harus dijalani dalam hidup, yang tanpa disadari meletakkan keinginan diri pada sudut yang tak menjadi prioritas.

Peran sebagai manager, peran sebagai bawahan, peran sebagai anak, suami, dan bapak. Setiap peran itu akhirnya menuntut kita untuk menyesuaikan laku, pikir, dan tutur yang dapat diterima oleh kelompok.

Yah.. Apa boleh buat. Semua demi norma yang harus diikuti, nama yang harus dijaga, dan masa depan yang harus dirawat.

Ya ampun.. Ada apa dengan pagi yang serba biasa ini?

Apa pikiran saya sudah mulai terganggu? Atau.. ini adalah tanda kalau saya masih manusia yang sesekali menunjukkan sisi-sisi tak sempurnanya? 

Hah… Nampaknya saya butuh rehat.

“Jam 10.00 kumpul di ruangan!”

Saya ketikkan sebuah kalimat perintah di grup perwira yang biasanya diasosiasikan oleh anggota sebagai perintah untuk rapat dan evaluasi mingguan. Tapi, bukan itu sebenarnya maksud dari kalimat yang saya lontarkan tadi.

Pukul 10.00 WIB, semua perwira sudah berkumpul, duduk rapi di meja sambil membawa bahan yang akan digunakan untuk rapat. Mereka terlihat saling berbincang menerka apa saja poin-poin pembahasan yang akan saya sampaikan pagi ini.

Saya pun langsung menuju kursi pimpinan rapat dan mengambil posisi.  Saya duduk hening sejenak sembari memperhatikan masing-masing raut wajah anggota yang hadir pagi itu. Mereka yang sedari tadi mengobrol, seketika terdiam serempak tanpa aba-aba.

“Yak, selamat pagi. Hari ini saya lagi banyak pikiran. Saya mau camping! Carikan spot yang sepi, akses yang gampang, udaranya dingin. Gimana-caranya caranya-gimana, pokoknya harus ada!”

Saya ucapkan beberapa kalimat lantang dengan penekanan kepada mereka.

“Yaelah, bang.. Kirain ada apa. Ekspresi abang diem itu tadi, udah kaya mafia Hongkong. Udah takut aja saya kalau-kalau Kanit ini ada yang buat salah. Ternyata cuma lagi butuh healing.”

Amad langsung merespon ucapan saya dengan celotehan sembari mengendorkan posisi duduknya.

“Ancuk. Udah cepet cari dulu! Daripada tak bikin rapat sampe Maghrib ini nanti.”

“Hehe.. Selow doong.. Udah nanti saya siapin tenda, makanan, sama cariin tempatnya. Bapak Kasat tenang aja ya.. Ngasep dulu sini.”

Amad pun kembali membalas dengan celotehan yang mencairkan suasana.

“Mad.. Mad.”

Saya pun menyerah kali ini. Saya ikuti saran Amad dan membakar sebatang rokok sembari merebahkan tubuh saya ke sandaran kursi. Memang sepertinya, hari ini saya sangat perlu mengambil sejenak jeda dari rutinitas.

Rehat.

Sesekali, perlu rasanya saya kesampingkan dulu rasa malu pada anggota untuk sekedar mengutarakan apa yang menjadi keinginan diri. Kali ini, saya sisihkan dulu hasrat untuk selalu terlihat kuat di depan anggota. Bukankah sebuah tim ada justru untuk saling menguatkan?

Beberapa menit berlalu dengan pembahasan tentang lokasi-lokasi camping yang mungkin cocok dikunjungi. Selain lokasi yang indah dan menenangkan, saya juga menambahkan beberapa syarat lokasi yaitu bisa diakses mobil, ada sinyal, dan berjarak maksimal 2 jam dari Sidoarjo.

Bukan apa-apa, saya hanya bersiaga kalau-kalau ada kejadian mendadak dan saya harus hadir saat itu juga. Yah.. Walaupun saya nanti akan camping selepas jam kerja, tetap saja saya tidak bisa memaksa para pelaku kejahatan untuk libur sementara.

“Saya sedang butuh waktu rehat. Harap pelaku kejahatan meliburkan diri dulu sementara. Kami on lagi di hari Senin pagi.”

Hahaha.

Ingin sekali rasanya memberikan pengumuman itu ke khalayak ramai. Tapi kan..    Ga mungkin.

Pukul 11.13 WIB, saya iseng meminta rekomendasi tempat camping ke warga twitter. Siapa tau, saya dapat rekomendasi tempat yang cocok.

Pukul 18.00 WIB setelah semua perlengkapan telah tertata di dalam mobil, saya lajukan kendaraan menuju Pandawa Camping Ground, Kota Batu.

Ditemani oleh 5 orang anggota, saya memulai perjalanan menuju tempat untuk menenangkan hati dan kepala. Setelah 1,5 jam perjalanan, saya mulai memasuki pusat Kota Batu. Terlihat di kanan kiri, terhampar bangunan taman permainan, pusat oleh-oleh, dan berbagai macam restoran. Fasilitas yang lengkap dan tempat yang sejuk. Asik memang.. Tapi bukan suasana itu yang saya cari sekarang ini.

Beberapa menit melintasi pusat Kota Batu, perjalanan pun membawa saya masuk ke area pedesaan dengan vegetasi yang cukup rimbun di kanan kiri. Suasana yang semula terang penuh cahaya lampu, kini berganti syahdu di bawah cahaya rembulan dan bintang.

Sunyi, syahdu, dan tenang.

“Ah.. Andai saja kehidupan sesekali tak seramai gemerlap lampu kota, mungkin isi kepala ini juga bisa menuntut hal yang lebih sederhana. Sesederhana bulan dan bintang yang tak pernah menuntut untuk tau siapa yang menikmati sinarnya.”

“Patokannya patung sapi pokoknya, Ndan. Nanti kita dijemput guide dari situ.”

Perkataan salah seorang anggota tentang patung sapi tiba-tiba memecahkan lamunan saya. Dia memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan sampai ke tujuan yang kami maksud.

Benar saja. Tak lama setelah kami tiba di patung sapi yang dimaksud, kami didatangi oleh seseorang menggunakan sepeda motor. Setelah itu, kami diarahkan menuju lokasi parkir mobil terakhir sebelum menuju lokasi camping.

Menuruni mobil, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menaiki jalanan menanjak di antara rimbunan pohon pinus. Benar-benar gelap, sunyi, dan tak ada lampu.

Sempurna.

10 menit berjalan, terlihat 2 orang warga yang sedang duduk di samping perapian menyapa kami sembari menunjukkan 3 tenda yang akan kami gunakan tidur nanti. Setelah itu, mereka lanjut memasak beef short plate yang sudah saya minta untuk siapkan sebelumnya.

Memang saya sengaja mengajak warga lokal untuk bergabung dengan saya camping kali ini.

Selain mereka bisa membantu saya menyiapkan keperluan camping, mereka juga bisa menjadi teman berbincang tentang hal-hal yang tak terkait dengan keseharian saya biasanya.

Malam yang sunyi, udara yang dingin, pemandangan lampu Kota Batu, dan alunan lagu Saudade dari Kunto Aji W. 

Ah..

Sebuah cara yang sempurna untuk merayakan kepenatan. Tapi nampaknya, takdir pun tak ikhlas membiarkan saya rehat sepenuhnya.

Tepat pukul 23.45 masuk sebuah panggilan dari anggota, “Izin Ndan, di tempat kami ada penemuan mayat dan sepertinya agak janggal.”

“Maksudnya gimana, Pak?”

Sayapun melanjutkan percakapan itu dengan pertanyaan untuk memperjelas kata “agak janggal” yang diucapkan oleh anggota sebelumnya.

“Siap, Ndan. Di atas tubuh jenazah, ada taburan bunga mawarnya.”

“Coba kirim fotonya, Pak!”

Beberapa saat kemudian, sayapun menerima dokumentasi penemuan jenazah itu. Terlihat dalam foto, jenazah yang sudah mulai mengalami proses pembusukan berposisi terlentang di atas kasur di dalam sebuah kamar berukuran 2,5 x 3 m.

Korban masih menggunakan celana jeans dan kaos, namun bagian kepala korban tertutupi oleh hoodie yang tidak dikenakan.

Selain itu, nampak serpihan kelopak bunga mawar yang tersebar di atas tubuh dan sekitar ruangan kamar yang hanya disekat oleh gordyn itu.

“Aduh.” Respon spontan saya itupun menarik perhatian anggota yang berkumpul dengan saya malam itu.

Mereka serempak menatap saya seraya ingin tahu perihal pembicaraan yang saya lakukan di telepon.

“Ada apa bang?” Amad pun langsung bertanya kepada saya.

“Bentar, le. Kayanya ada kejadian ini. Orang mati tapi di atasnya ada kembangnya.”

“Waduh..” Amad merespon singkat.

“Detailnya gimana Pak Darto?”

Sayapun melanjutkan pendalaman kepada Kanit Polsek S untuk mendapatkan gambaran umum kejadian, sebelum saya mengambil langkah.

“Jadi begini, Ndan. Tadi malam sekitar jam 21.30, saya dapat kabar kalau ada penemuan mayat di warung bebek. Terus kami ke TKP dan panggil identifikasi. Setelah kami olah TKP, kok saya rasa ada janggalnya ini, Ndan. Makanya saya telfon komandan,” jawab Pak Darto.

“Ya kalau kaya gitu ceritanya, kenapa ga ngabari saya dari jam 10 tadi, Pak?” Saya merespon jawaban Pak Darto dengan nada mengayun yang sedikit meninggi.

“Siap salah, Ndan.”

“Ya memang salah, Pak!” Jawab saya dengan nada kesal.

“Terus sekarang mayatnya dimana? Ada tanda kekerasan ga? Ada barang yang hilang? Keterangan saksi gimana?”

Saya membombardir Pak Darto dengan beberapa pertanyaan untuk memperjelas.

“Untuk mayat saat ini sudah dibawa ke Porong untuk diotopsi, Ndan. Kalau dari penampakan luar tadi, tanda kekerasan belum terlihat karena memang sudah mengalami pembusukan. Untuk barang korban dan keterangan saksi-saksi, kami mohon waktu, Ndan.”

Saya yang kurang puas mendengar jawaban itupun memilih untuk mengakhiri pembicaraan.

“Udah ntar Resmob sama Pidum ke sana, Pak. Bapak amankan TKP aja sambil himpun keterangan saksi yang bapak tau.”

Tengah malam, kondisi mendesak, dan lokasi saya yang jauh dari TKP.

Saya menghela nafas sambil berpikir, ada apa sebenarnya dengan hari ini?

Argh.. Ancen wedhus.

“Andai saja saya bisa menjawab laporan kejadian itu dengan sekedar balasan “Noted Pak”.

Sudahlah.. Saya rasa ini bukan waktu yang tepat untuk berlarut-larut mengeluh akan keadaan. Ada tanggung jawab yang harus diselesaikan dan ada misteri yang harus dipecahkan.

Jin Ho Gae harus segera beraksi!

Langsung saja, saya kirimkan perintah singkat di grup reskrim.

“Ada kemungkinan 338 di Polsek S. Lapangan segera merapat!”

Memang perintah itu tidak saya jabarkan detail. Tapi saya yakin para anggota saya sudah paham apa yang harus dilakukan setiap ada kejadian seperti itu.

Tak sabar menunggu respon, sayapun menelepon Kanit Resmob untuk mengabarkan kejadian ini dan memberikan arahan tugas. Tapi, bukan respon baik yang saya terima. Berulang kali saya mencoba menelepon, namun tidak satupun panggilan saya yang dijawab olehnya.

Suasana hati yang tak mengenakkan pun bertambah seketika. Memang, sekarang sudah lewat tengah malam dan waktunya orang beristirahat. Tapi jam 12 malam juga bukan waktu istirahat yang semestinya untuk seorang Buser.

Saya pun mencoba menelepon anggota lain yang mungkin masih terjaga. Akhirnya saya tersambung dengan Pak Budi, anggota Buser senior.

“Pak Budi, ada 338 itu di Polsek S. Telfon anak-anak suruh merapat. Cek TKP yang bener, cari saksi, dan laporkan hasilnya!”

“Siap, Ndan. Saya telfoni anak-anak,” jawab Pak Budi singkat.

“Nanti report saya begitu ada baket ya. Saya lagi di luar kota, tapi kemungkinan 3 jam lagi sampe sana.”

Saya memberikan arahan sembari menyampaikan kendala jarak yang saya alami saat ini.

Hah.. Lumayan.

Minimal satu anggota sudah bisa dihubungi. Jadi, ada yang bisa mendahului melakukan penelusuran awal.

“Terus saya ngapain bang?” Amad bertanya sembari mengarahkan pandangannya ke wajah saya.

“Ya telfon anggotamulah.. Ke TKP, bagi tugas, analisa, terus lakukan yang perlu dilakukan.”

“Oh, siap Bang kalo gitu. Tapi kita ini balik ga, Bang?” Amad melontarkan pertanyaan yang sulit.

“Nanti kita tetap balik, Mad. Cuma bolehlah aku ngopi sama makan Pop Mie di sini sejam aja.”

Sayapun mengakhiri percakapan itu dengan sedikit rasa keengganan untuk meninggalkan suasana ini. Selama 30 menit saya hanya terduduk, minum kopi, dan menikmati pemandangan yang luar biasa di depan mata saya.

Baca juga: Satu Orang Jadi Tersangka di Kasus Kekerasan Antar Kelompok Pemuda

Sementara itu, Amad tak berhenti menelepon dan mengontrol anggotanya yang berada di Sidoarjo untuk melakukan penanganan terhadap temuan kami malam itu.

Saya berikan ruang kepada dua tim buser saya untuk bekerja sementara waktu; tim Pak Budi dan tim Amad. Harapan saya, mereka akan membawa informasi yang lebih bermanfaat karena informasi awal yang saya dapatkan tadi belum cukup digunakan untuk membuat deduksi penyelidikan.

“Ini dua tim sudah turun ya. Baket yang didapatkan sama. Waktunya membuktikan keunggulan masing-masing tim.”

Saya lemparkan sebuah pernyataan ke dalam grup untuk memotivasi. Terkadang, persaingan yang sehat memang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Benar saja, 15 menit kemudian Pak Budi menelepon saya untuk mengabarkan temuannya di TKP. Korban diketahui bernama Mega, seorang pemuda perantau usia 23 tahun asal Kabupaten T yang kesehariannya berjualan nasi bebek di sebuah kios tempat dirinya ditemukan meninggal dunia.

Dari orang tua korban, Pak Budi mendapatkan informasi bahwa awal mula kecurigaan orang tua Mega berawal pada tanggal 2 Agustus 2023 pukul 18.00, saat dirinya dihubungi oleh temannya kalau dompet Mega ditemukan di jalan raya. Namun sampai 2 hari berlalu, Mega tidak bisa dihubungi. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus pukul 21.15 WIB, orang tua Mega pun datang mengecek ke kios Mega di Sidoarjo untuk mencari keberadaan Mega.

Namun sesampainya di lokasi, rolling door kios tersebut dalam keadaan terkunci dari luar. Penasaran dengan apa yang terjadi dengan Mega, orang tuanya mencari tukang kunci dan akhirnya berhasil masuk ke dalam kios.

Namun saat masuk ke dalam, Mega sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia dengan kondisi yang sudah mengalami pembusukan.

“Barang korban apa ada yang hilang, Pak Bud?”

“Sementara ini menurut keluarga, dompet, HP, dan motor korban tidak ada, Ndan.” Pak Budi menjelaskan temuan informasi sementara.

Apa ini akibat ulah pelaku spesialis perampokan?

“Terus, ada kerusakan akses ga Pak Bud?” Saya bertanya ke anggota untuk memperjelas gambaran di kepala saya.

“Ga ada yang rusak, Ndan.” Balasnya singkat.

Hmm.. Pintu terkunci dari luar dan tidak ada kerusakan.

Pembunuhan di ruang tertutup!

“Korban ini sama siapa jualan bebeknya, Pak Bud? Ga mungkin sendiri to?”

“Sama temennya namanya Anjar, Ndan. Ini sudah sama saya sekarang.”

“Keterangan Anjar apa?”

Saya pun melanjutkan pertanyaan. Bagaimanapun, Anjar adalah orang yang paling tau keseharian korban.

Pak Budi menjelaskan jika hari Senin kemarin, Anjar dan korban menyiapkan dagangan bebek seperti biasa. Selain mereka berdua, di warung itu juga ada Tanto, sepupu korban yang datang sehari sebelumnya setelah merantau selama beberapa bulan di Jakarta.

Mereka bertiga berdagang sambil bercengkrama seperti anak muda pada umumnya. Namun sekitar waktu petang, Tanto pergi ke luar dan kembali dengan membawa 2 botol arak bali, 1 botol anggur merah, dan cola. Rencananya, minuman itu akan mereka nikmati setelah selesai bekerja.

Sekitar pukul 23.30 WIB, mereka mulai minum-minum bersama dengan gelas kopi yang ada di warung. Mereka mencampur arak dan cola lalu meminumnya bersama-sama.

Tidak ada hal aneh yang terjadi, sampai sekitar pukul 23.45 WIB, tiba-tiba korban jatuh tersungkur di hadapan mereka.

Melihat kejadian itu, Anjar dan Tanto lalu mengangkat korban dan membaringkannya di kamar. Anjar yang takut lalu bertanya kepada Tanto, “Iku kenek opo, Mas?”

Tanto pun menjawab, “Iku kepegelen.”.

Setelah itu, Anjar bertanya kepada Tanto tentang bagaimana kondisi korban dan apa yang harus dilakukan terhadapnya. Namun Tanto menjawab agar tenang saja karena besok pasti akan siuman.

Selain itu sebelum pergi, Tanto juga menawarkan kepada Anjar apakah dirinya mau “dipagari” supaya tidak terkena dampak.

Setelah itu, mereka berdua pergi meninggalkan kios dan mengunci pintu rolling door. Sebelum pergi, Tanto berpesan kepada Anjar untuk pulang ke kampungnya.

Semenjak kejadian itu, Anjar tidak kembali lagi ke kios tapi kembali ke rumah orang tuanya di Kabupaten T. Tapi tadi sore jam 18.00, dia dijemput oleh saudara korban untuk bersama-sama mencari korban di Sidoarjo.

Saya terdiam sejenak mencoba mencerna informasi yang baru saja saya dapatkan. Di kepala saya, asumsi-asumsi liar mulai muncul.

Kenapa korban tiba-tiba tersungkur?

Apa dia mempunyai riwayat sakit lambung yang kemudian bereaksi ketika korban minum alkohol dalam jumlah banyak? Atau.. Mega merupakan korban dari miras oplosan?

Tapi kalau saja akibat kandungan miras, kenapa yang terjatuh hanya Mega? Seharusnya, Anjar dan Tanto juga menunjukkan tanda-tanda keracunan kalau begitu.

Hmm.. Asumsi-asumsi ini masih belum bisa dijadikan acuan. Tapi.. Saya mencium sesuatu yang mencurigakan dari Anjar. Insting saya mengatakan ada hal yang disembunyikan olehnya.

“Petunjuk, Ndan?”

Pertanyaan anggota itu pun memecahkan lamunan saya. Pertanyaan yang menuntut saya untuk mengambil keputusan tindakan.

“Oke, gini. Pak Budi bagi tugas anggota untuk interogasi ulang Anjar di Polres. Saya kok ga feeling sama omongannya barusan. Terus, cari keberadaan Tanto. Dua orang ini kuncinya, Pak!”

Saya memerintahkan Pak Budi untuk menggali lebih dalam tentang kejadian pada Senin kemarin.

“Siap, Ndan. Kami langsung gerak intro dan cari Tanto.” Jawab Pak Budi singkat tanpa bantahan. Sepertinya, dia juga sepaham dengan apa yang ada di pikiran saya.

“Oiya, jangan lupa cek lagi TKP dan ambil barang-barang terkait yang mereka gunakan untuk minum miras ya, Pak.”

Saya juga memerintahkan anggota untuk mengambil semua barang baik minuman, botol, atau gelas yang digunakan mereka malam itu.

Untuk mematahkan asumsi, saya harus mengecek kandungan zat yang terkandung dalam minuman mereka. Pemeriksaan laboratoris adalah kuncinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Sudah waktunya saya merelakan suasana pegunungan ini dan menyambut tanggungjawab yang menuntut untuk diselesaikan.

Saya pun segera beranjak dan bergegas kembali ke Sidoarjo untuk bergabung bersama anggota. Di dalam perjalanan, kepala saya tak henti-hentinya memikirkan beberapa kejanggalan yang muncul dari cerita Anjar.

Ceritanya memang meragukan, tapi sosok Tanto sendiri juga tak kalah mencurigakan. Tanto menyuruh Anjar pulang kampung dan Anjar menurutinya tanpa sanggahan.

Sebenarnya apa hubungan mereka bertiga?

Kenapa Anjar sangat menuruti perkataan Tanto?

Ah.. Semua cerita ini belum nampak logis.

Perihal bunga mawar yang tersebar di kamar dan di atas tubuh korbanpun, juga belum terjawab.

Baca juga: Sok Jago Bawa Golok di Jalan, Pria Asal Berbek Ditangkap Sat Samapta Polresta Sidoarjo

15 menit berselang, terdapat kiriman foto ke HP saya. Dalam foto itu terlihat gambar gelas kopi bening, botol bekas arak, dan botol air mineral yang terisi oleh air yang berwarna.

“Ini BB miras dan gelasnya ya, Pak Bud?”, balas saya.

“Betul, Ndan. Kami temukan sisanya di dapur.”

“Mantap. Terus gimana perkembangan pencarian Tanto?”

“Ini kami lagi menggerakkan agen-agen di lapangan, Ndan. Semoga Tanto segera ketemu.” Pak Budi menjawab dengan tindakan taktisnya.

“Oke. Good. Jam 4 keungkap ini. Bismillah. Yakin!”

Kalimat optimis penyemangat itu pun menjadi penutup percakapan kami. Sisanya, saya kembali berikan ruang mereka untuk berupaya dan berkreasi sembari saya menyusuri jalanan menuju Sidoarjo malam ini.

Satu jam berlalu dan saya mulai mendekati ruas tol Pandaan. Saya masih hafal betul dengan ruas jalan ini. Kalau saja sekarang ini pagi, pasti pemandangan di sekeliling jalan ini akan terasa sangat sejuk karena di sisi kanan kiri jalan terbentang hamparan sawah dan perkebunan.

Selagi saya sedang melihat sekeliling yang gelap itu, terdapat panggilan masuk dari Pak Budi. Nah.. Pasti ada perkembangan baru ini.

“Gimana, Pak Bud?” Langsung saja saya respon panggilan itu dengan penuh semangat.

“Izin melaporkan perkembangan introgasi Anjar, Ndan.”

Percakapan kami selanjutnya dilanjutkan dengan hasil pendalaman terhadap keterangan Anjar. Terdapat beberapa detail keterangan yang tak tersampaikan kepada kami sebelumnya. Detail yang mungkin bisa menjadi penentu pengambilan kesimpulan deduksi penyelidikan kali ini.

Pak Budi menjelaskan kalau pukul 21.30 di hari kejadian, saat Anjar sedang berada di depan warung bebek, Anjar melihat dompet Tanto terjatuh dan terlihat bungkusan plastik kecil transparan berisi serbuk warna putih. Tanto lalu memasukkan kembali plastik itu ke dalam dompetnya.

Tanto pun berkata kepada Anjar, “Aku wis biasa dulonan narkoba dan sabu”.

Anjar yang saat ini sedang bermain HP tidak merespon lebih lanjut dan hanya mengiyakan perkataan dari Tanto.

“Proses mereka minum miras sama seperti yang diceritakan sebelumnya, Ndan. Cuma ada 2 detail penting yang komandan harus tau.” Jelas Pak Budi.

“Bagian mananya Pak?”

“Kalau dari ceritanya, memang acara minum itu diinisiasi sama Tanto. Tanto yang pergi beli semua minuman itu.”

“Bahkan, Tanto juga yang menjadi bandar menuangkan minuman mereka. Tapi yang paling penting ini, Ndan.. Sebelum korban tersungkur, Anjar melihat Tanto mencampurkan serbuk putih ke gelas korban sembunyi-sembunyi!” Pak Budi menjelaskan sebuah temuan yang sangat berarti.

Nah, terjawab sudah yang menjadi ganjalan pemikiran saya tadi. Tidak mungkin kalau kematian ini hanya disebabkan oleh miras oplosan karena yang kami temukan hanya satu korban. Tapi apa sebenarnya serbuk putih itu? Apa benar ini narkoba jenis sabu seperti yang dikatakan Tanto?

Tapi.. Kalau saja Anjar melihat Tanto menuangkan serbuk putih itu ke dalam minuman korban, kenapa dia tidak memberitahukan ke korban? Dan kenapa setelah kejadian korban jatuh, Anjar tidak melapor ke keluarga korban dan malah pulang kampung? Apa jangan-jangan mereka bekerjasama?

Tapi kalau memang mereka bekerjasama untuk merampok korban, kenapa Anjar tidak mengambil barang milik korban? Selain itu, saat dihubungi oleh keluarga korban untuk mencari keberadaan korban, Anjar juga ikut aktif membantu dan menceritakan kejadian yang terjadi malam itu.

“Menurut Pak Budi, Anjar ada andil dalam kejadian ini ga?” Saya mencoba menanyakan penilaian anggota terhadap Anjar.

Bagaimanapun, Pak Budi yang berinteraksi secara visual akan mendapatkan pengalaman indera yang berbeda dibandingkan dengan saya yang hanya mendengarkan cerita.

“Ehm.. Kalau menurut saya, Anjar ini bukan terlibat, Ndan. Tapi takut sama Tanto. Dia ini menganggap Tanto seperti orang yang punya kelebihan spiritual. Semacam klenik-klenik gitu, Ndan.” Balas Pak Budi.

“Lah kok bisa, Pak? Maksudnya gimana?” Saya bertanya menuntut penjelasan.

“Jadi gini, Ndan.. Kesimpulan saya ini juga ada kaitannya sama bunga yang bertaburan di kamar dan di atas tubuh korban. Semua itu atas perintah dari Tanto. Komandan masih inget cerita Anjar waktu dia ditawari untuk ‘dipageri’ sama Tanto?”

Pak Budi menjelaskan kalau setelah korban dibaringkan di tempat tidur, Tanto memerintahkan Anjar untuk membeli kembang sekar. Setelah itu Tanto mengambil ember, mengisinya dengan air, mencampur kembang sekar, lalu menyiramkan air kembang itu ke sekujur tubuh korban.

Tanto lalu menutup rolling door dan mengajak Anjar pergi untuk prosesi ‘pemagaran tubuh’ di sebuah masjid tak jauh dari TKP. Sebelum pergi, Tanto juga mengambil HP, dompet, dan sepeda motor milik korban.

Di Masjid itu, Anjar dimandikan dengan air kembang yang telah dibeli sebelumnya dengan dalih 'pemagaran' agar tidak ikut terkena sial. Setelah itu mereka berpisah. Anjar pulang ke Kabupaten T dan Tanto pergi entah kemana.

Jadi kembang sekar ini merupakan ide dari Tanto. Hmm.. Saya pun mencoba membayangkan berada dalam atmosfer kejadian malam itu. Saya membayangkan diri saya menjadi Anjar, sesuai dengan kondisi psikis yang saya tangkap dari personanya.

Anjar hanya terdiam tak merespon ketika Tanto berkata, “Aku wis biasa dulonan narkoba dan sabu”.

Anjar hanya diam saat melihat Tanto menuangkan serbuk ke minuman korban. Anjar mengikuti semua perintah Tanto untuk membeli bunga, mandi kembang, bahkan pergi pulang kampung.

Di antara keduanya, tidak ada ikatan relasi kelompok atau pekerjaan. Satu-satunya kemungkinan penyebab yang dapat menempatkan posisi Anjar berada di bawah Tanto adalah Anjar menganggap kalau Tanto memiliki kelebihan ilmu spiritual dan akhirnya mengikutinya.

Hmm.. Kalau memang seperti itu, Anjar bukan merupakan tokoh sentral dalam kejadian ini. Niat, perbuatan, dan motif tidak dilakukannya. Tapi itu baru 80% keyakinan. Kuncinya adalah menemukan Tanto. Lebih baik saya segera saja menemukan Tanto dan mengkonfirmasi semuanya.

Sekitar pukul 3.00 WIB, saya pun tiba di Sidoarjo. Kali ini saya langsung menuju tempat anggota saya berkumpul untuk mendengarkan perkembangan temuan sekaligus menentukan arah penyelidikan setelah ini. Tidak boleh ada sedikitpun waktu yang disia-siakan.

“Yak, gimana perkembangan?”

“Izin, Ndan. Sesuai yang telah kami bagi tadi, sebagian melakukan interogasi Anjar dan sudah kami laporkan. Lalu Tim Kijang yang mencari keberadaan Tanto, Alhamdulillah sudah mendapatkan petunjuk.” Jawab Pak Budi selaku katim.

“Jadi agen tukang roti keliling kita berhasil mengidentifikasi 2 tempat yang mungkin menjadi lokasi keberadaan Tanto. Rumah tinggal dan juga kosan yang kebetulan lokasinya berdekatan sekitar 1 km. Kita sasar yang mana dulu, Ndan?”

“Kondisi kerawanan wilayah itu bagaimana, Pak? Akses keluar masuknya gampang ga?” Saya memberikan pertanyaan untuk menilai kerawanan wilayah untuk mempertimbangkan perihal keamanan anggota ketika melakukan kegiatan.

Saya tidak mau kejadian saya di Bekasi 13 tahun lalu terulang.

“Insya Allah aman, Ndan.” Jawab Pak Budi singkat.

Berarti, sekarang saya tinggal menentukan cara bertindak yang efektif. Ada dua target tempat yang belum bisa dipastikan ketepatannya. Kemana saya harus bertaruh? Rumah atau tempat kos? Kalau salah memilih, bisa jadi target hilang.

“Yaudah karena ga rawan, kita bagi jadi 2 tim. Saya ga mau gambling milih salah satu. Pak Budi pimpim tim yang ke rumah, saya ke kosan. 5 menit lagi kita gerak!”

Saya pun mencoba mengambil keputusan yang menurut saya paling efisien. Sisanya.. Bertawakal.

Dengan dituntun oleh agen roti kijang-1, kami pun bergerak menuju target masing-masing. 8 menit berselang, saya tiba di lokasi kos dan mempersiapkan teknis penangkapan. Saat itu juga, ada pesan masuk dari Pak Budi yang berisi, “Rumah kosong. Tanto ga ada di sini.”.

Pesan itu pun menjadi pemantik tersendiri untuk saya agar tidak gagal di tempat ini. Saya mulai menganalisa rumah kos yang terdiri dari beberapa pintu itu. Menentukan pintu yang Tanto tinggali.

“Ndan, itu motor Jupiternya.” Tiba-tiba saja salah satu anggota memecahkan keheningan. (bersambung)

*) Penulis : Kompol Tiksnarto Andaru Rahutomo (Kasatreskrim Polresta Sidoarjo)

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru