Kyai Haji (KH) Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri.
Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa.
Baca juga: Kisah Muhsin, Wali yang Menyamar Sebagai Penjual Tempe
Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru.
Hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk.
Hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman. Fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu Madrasah klasikal. Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi KH Hamid. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “Kyai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar.
Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far Assegaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar tahun 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar.
KH Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf -- meminjam istilah Gus Mus -- “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).
KH Hamid bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya.
Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, KH Hamid memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan.
Baca juga: Lokasi Parkir Haul KH Abd Hamid ke 42 Tahun 2023
“Yang paling berkesan dari KH Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
KH Hamid sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap KH Hamid layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani.
Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” KH Hamid. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat.
Baca juga: Rangkaian Acara Haul KH Abdul Hamid bin Abdulloh Umar di Pasuruan
Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini.
Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. KH Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir.
Sampai KH. Ali Ma'shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.” (*)
Editor : S. Anwar