UU Omnibus Kesehatan: Terdiagnosa Cacat Kongenital

lintasperkoro.com
Zaenal Abidin

Bila kita perhatikan konsideran Undang Undang (UU) Omnibus Kesehatan, kita akan menemukan tujuan pembentukannya, yang ingin menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional. Juga ingin meningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan sehingga diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik dalam satu undang-undang secara komprehensif.

Tentu apa yang tertera di dalam konsideran di atas, tidak jauh dari maksud omnibus law sebagai regulasi atau UU yang mencakup berbagai isu atau topik. Atau secara harfiah merupakan hukum untuk semua. Istilah ini berasal dari bahasa latin, yakni omnis yang berarti untuk semua atau banyak.

Baca juga: Ngeprank Rakyat dengan UU Kesehatan

Fadel Muhammad, ternyata berpendapat lain. Menurut Anggota MPR RI ini, RUU Omnibus Kesehatan merupakan upaya pemerintah untuk menguasai aspek kesehatan secara penuh. Tidak menghendaki adanya campur-tangan, termasuk dari Organisasi Profesi kesehatan.

Bila pendapat Fadel Muhammad benar, dapatlah dimengerti mengapa pembahasan sampai pengesahannya sangat lancar tanpa kendala. Ibarat kelahiran bayi ia dapat disebut lahir prematur. Persoalan bertambah rumit sebab ada bahagian dari UU yang disebut dalam definisi namun tidak dibentuk atau lupa dirumuskan di batang tubuh.

Lahir Prematur Mengapa dikatakan lahir prematur? Karena proses kehamilan sampai melahirkannya sangat cepat, relatif tanpa kendala. Penyebab kelahiran prematur adalah adanya kontraksi atau tekanan berlebihan dari pihak tertentu sehingga memicu terbukanya leher rahim, yang menyebabkan janin yang bernama UU Omnibus Kesehatan keluar melalui jalan lahir.

Bayi yang lahir prematur sangat rentan mengalami gangguan kesehatan karena organ tubuhnya belum berkembang sempurna. Karena itu, kelahiran prematur perlu segera ditangani tim yang kompeten guna menjaga kesehatan dan keselamatan si buah hati (UU Omnibus Kesehatan) mapun ibunya.

Sebagai bayi yang organ tubuhnya belum terbentuk sempurna, maka UU Omnibus Kesehatan membutuhkan perawatan khusus agar organnya dapat terbentuk sempurna. Dibutuhkan banyak sekali peraturan pelaksanaan yang tentu memerlukan waktu cukup lama bila peraturan tersebut dibuat di dalam negara yang menganut pemerintah demokrasi.

Memang dapat saja peraturan pelaksanaan itu dibuat secepat kilat, namun tentu itu bukan tujuan dan juga bukan karakter pemimpin berbangsa Indonesia yang amat Pancasilais dan demokratis. Dan tentu cara semacam ini akan membuat si bayi prematur semakin menderita sakit.

Lain soal bila bayi UU Omnibus Kesehatan lahir di negara yang menganut paham totalitarianisme tentu proses kilat semacam itu dapat dimaklumi. Cacat Kongenital Bayi UU Omnibus Kesehatan ini rupanya belum cukup masalahnya dengan lahir prematur, ia pun terdiagnos mengalami kelainan kongenital.

Apa itu kelainan kongenital? Kelainan kongenital adalah kelainan bawaan atau kondisi tidak normal yang terjadi pada masa perkembangan janin. Kelainan ini dapat mempengaruhi fisik atau fungsi anggota tubuh anak sehingga menyebabkan cacat lahir, yang berdampak terjadinya disabilitas serta berbagai masalah kesehatan lainnya.

Cacat kongenital bisa dideteksi pada masa kehamilan atau saat bayi dilahirkan. Namun, ada juga kelainan kongenital yang baru bisa diketahui pada masa tumbuh kembang anak Pada banyak kasus, penyebab kelainan kongenital tidak diketahui. Namun, kelainan kongenital atau kelainan bawaan dapat terkait dengan faktor, seperti fakto genetik dan faktor lingkungan.

Kondisi cacat kongenital UU Omnibus Kesehatan ini baru terdeteksi setelah lahir. Penyebabnya bisa karena bawaan, bisa juga karena faktor lingkungan atau keduanya.

Lalu, mengapa UU Omnibus Kesehatan ini yang dianggap mengalami cacat kongenital?

Karena di dalam batang tubuhnya tidak ditemukan uraian atau penjelasan tentang kesehatan sosial. Padahal bila diperhatikan Ketentuan Umum, Pasal 1 butir (1) pada naskah yang beredar tertulis, jelas diksi tersebut tertulis.

Baca juga: Hilangnya Manusia Merdeka

“Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.”

Pengertian kesehatan pada undang-undang baru ini memang agak berbeda dengan pengertian yang ada pada UU No 36/2009 tentang Kesehatan. UU Omnibus Kesehatan telah mengganti kata “mental” dengan kata “jiwa” dan meniadakan kata “spiritual” yang berarti bahwa sehat spiritual tidak lagi menjadi bahagian penting dari konsep kesehatan.

Demikian pula kata “sosial dan ekonomis” sebagai kelanjutkan dari kata “produktif” juga hilang. Artinya UU Omnibus Kesehatan ini telah merampingkan definisi kesehatan, sehingga yang tertinggal hanya komponen sehat fisik, sehat jiwa, sehat sosial, dan bukan sekadar terbebas dari penyakit.

Lalu, apakah kesehatan sosial itu tidak ada sehingga tidak dicantumkan di batang tubuh UU? Jawabnya, tentu saja ada, sebab kalau tidak ada tentu pembuat UU tidak akan menyebut dan menuliskan di dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 1. Terlebih bila kesehatan sosial ini dapat ditemukan definisinya tentu semakin menunjukkan bahwa memang benar ada.

Apa Itu Kesehatan Sosial? Bila orang menyebut kesehatan raga dan jiwa, selalu saja menyertakan kata kesehatan sosial di belakangnya. Konon, kesehatan raga berkaitan dengan badan dan kesehatan jiwa berkaitan dengan pikiran, kesehatan sosial berhubungan erat dengan hubungan sosial.

Kesehatan sosial bukan hanya bertujuan agar seseorang dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Hal ini juga terbukti bisa memperkuat fungsi kekebalan tubuh, menjaga kesehatan jantung, dan menimbulkan rasa bahagia sehingga mengurangi risiko depresi.

Secara lebih rinci, kesehatan sosial dapat diartikan sebagai suatu gambaran hubungan seseorang dengan orang lain, lingkungan, dan komunitas di sekitarnya. Kesehatan sosial adalah suatu interaksi positif dengan orang lain, lingkungan, dan komunitas. Hal ini melibatkan hubungan yang sehat, komunikasi yang efektif, dan rasa saling memiliki antara satu orang dengan orang lain dalam suatu lingkungan.

Baca juga: Dokter dalam Genggaman UU Kesehatan

Menurut Prof Myrra, social health atau sehat sosial adalah kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain secara baik atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama, atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik. Bahkan di tengah masyarakat dikenal pula patologi sosial sebagai kebalikan dari kesehatan sosial.

Patologi sosial menurut Kartini Kartono, merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan juga hukum formal.

Catatan Akhir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan sehat atau kesehatan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Konsep ini tentu saja merupakan pengertian dari kondisi sehat, kondisi kesehatan ideal, baik dari segi biologis, psiologis, dan sosial. Dan inilah pengertian sehat yang sebenarnya, holistik-sistemik dan sekaligus ekologis.

Karena itu, semestinya UU Omnibus Kesehatan yang ka-tanya untuk menguatkan sistem kesehatan secara integratif dan holistik dalam satu UU komprehensif mengikuti pengertian WHO di atas. Artinya, UU Omnibus Kesehatan seharusnya lahir dalam keadaan sempurna.

Batang tubuhnya dilengkapi dengan rumusan tiga komponen kesehatan, yakni: sehat fisik, sehat jiwa, dan sehat sosial. Tidak seperti sekarang ini, pembentuk UU alfa mencantumkan pasal untuk menjelaskan tentang kesehatan sosial di dalam batang tubuhnya sehingga terdiagnosa cacat kongental. (*)

*) Penulis : Zaenal Abidin (Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015)

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru