Dua minggu lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang (UU) Kesehatan. Ini terjadi ditengah maraknya pro dan kontra terkait UU ini. Pihak pendukung yakin bahwa UU ini adalah terobosan krusial dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang selama ini dianggap belum optimal.
Pihak kontra berpandangan lain. Menurut mereka, UU ini cacat prosedur dan tidak memenuhi azas pembentukan UU. Juga, gagal mengakomodir beragam isu kesehatan penting. Bila diteruskan, UU ini dapat menimbulkan dampak negatif yang serius terhadap sistem dan layanan kesehatan.
Baca juga: IDI Lampung Melantik 9 Ketua IDI Cabang di Lampung Health Festival
Saat ini, sejumlah organisasi masyarakat dan profesi kesehatan siap-siap mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). JR memang merupakan mekanisme hukum yang dapat ditempuh ketika timbul keberatan atau penolakan UU. Esensi JR adalah menilai apakah UU yang disahkan tidak tabrakan dengan konstitusi negara atau hukum yang berlaku.
Di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, JR menjadi bagian penting dari sistem hukum. Jadi bukan sesuatu yang tabu, apalagi dianggap pelanggaran hukum. Locus Minoris Banyak issu dalam UU Kesehatan yang dapat menjadi topik uji formil (formele toetsing) dan uji materi (materiile toetsing) dalam JR. Setiap issu berpotensi menghasilkan keputusan tak terduga.
Pertama, uji formil terkait prosedur dan pemenuhan prinsip pembuatan UU. Bagi pihak kontra, UU ini bermasalah secara formil karena tidak memenuhi prinsip-prinsip pembuatan UU. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan pemenuhan tujuh prinsip, yaitu kejelasan tujuan, ketepatan institusi atau pejabat yang terlibat dalam pembuatan, konsistensi antara jenis, hirarki, dan materi muatan, keterlaksanaan, keberlanjutan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
Menurut pihak kontra, enam dari tujuh prinsip ini dilanggar. Salah satunya adalah tidak adanya transparansi dan partisipasi publik yang cukup dalam pembuatannya. Draf awal RUU Kesehatan muncul pada bulan Oktober 2022 tanpa ada penjelasan terkait pembuatnya.
Saat itu, DPR dan Kementerian Kesehatan sama-sama lepas tangan. Penolakan lima organisasi profesi dan berbagai organisasi masyarakat memberi sinyal minimnya keterlibatan pemangku kepentingan. Padahal, kelima organisasi profesi ini diakui dalam UU sebagai representasi formal profesi dan sangat layak dilibatkan dalam pembuatannya.
Selain itu, salah satu prinsip penting yang sangat diperlukan dalam pembuatan UU, yaitu meaningful participation (partisipasi bermakna), juga diabaikan. Pihak kontra bernarasi bahwa proses pengesahan UU ini mengabaikan tiga elemen penting partisipasi bermakna, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat yang diberikan. Pihak DPR dan pemerintah tentu punya jawaban terhadap argumen diatas. Namun jawaban mereka mereka mesti sangat rasional, adekuat dan berbasis bukti. Alasannya, uji formil terkait prosedur dan pemenuhan azas ini sangat krusial.
Jika terdapat bukti tentang adanya cacat prosedur dan azas, maka keseluruhan UU ini bisa dibatalkan. Beberapa bulan lalu, MK memutuskan status UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional karena dinilai cacat formil. Kedua, ketiadaan pencantuman mandatory spending (pengeluaran wajib) dalam UU ini.
Mandatory spending adalah persentase anggaran yang harus dialokasikan untuk bidang kesehatan; nilainya tidak dapat diubah tanpa proses legislatif. Isu ini sangat penting karena terkait ketersediaan anggaran yang wajib disiapkan oleh pemerintah. Tidak adanya mandatory spending menjadi alasan sejumlah fraksi DPR menolak UU ini.
Bagi mereka, ketiadaan mandatory spending mencerminkan pengabaian perintah Undang-Undang Dasar yang mengamanahkan negara untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, mandatory spending ini disebutkan pada legislasi sebelumnya. UU Kesehatan Nomor 36/2009 mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD untuk bidang kesehatan di luar gaji.
Hilangnya mandatory spending pada UU ini artinya tidak ada batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan. Pemerintah bisa saja mengalokasikan hanya 1-2% dari dananya untuk kesehatan, demi prioritas-prioritas lainnya. Situasi ini berisiko terhadap pembiayaan kesehatan yang berujung pada terhambatnya ketersediaan akses pelayanan yang memadai serta menurunnya kuantitas dan kualitas program-program kesehatan.
Menteri Kesehatan beragumen bahwa pencantuman mandatory spending dalam UU tidak akan menghasilkan program dan hasil berkualitas dan efektif. Pencantuman ini bahkan akan memaksa penggunaan dana untuk program-program yang tidak rasional dan relevan. Karenanya, anggaran mestinya didasarkan pada rencana induk kesehatan berbasis kerja dan bukan mandatory spending.
Argumen Menteri Kesehatan ini tidak selaras dengan pandangan institusi internasional dan best practice di berbagai negara. Laporan dari World Health Organization pada tahun 2010 menyebutkan bahwa capaian cakupan universal kesehatan sulit dilakukan dengan anggaran kesehatan kurang dari 4-5% dari Gross Domestic Product (GDP).
Baca juga: PB IDI Tekankan Pentingnya Dukungan Kesehatan Mental Selama Pendidikan Kedokteran
Selain itu, Chatham House, McIntyre, Meheus, dan Røttingen juga menegaskan bahwa pemerintah perlu menargetkan minimal 5% dari GDP mereka untuk anggaran kesehatan. Faktanya, berbagai negara mencantumkan mandatory spending dalam undang-undang mereka. Undang-undang di Korea Selatan, Jepang dan India masing-masing mencantumkan anggaran kesehatan harus minimal 5%, 6%, dan 7% dari total anggaran negara. Ketiga, sentralisasi peran Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan kini menjadi penentu segala program kesehatan, mulai dari hulu ke hilir. Mereka tidak lagi hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi juga bertindak sebagai eksekutor dan operator. Kementerian ini menentukan standar pendidikan dokter, standar profesi, pelayanan kedokteran dan kesehatan, administrasi kesehatan, dan bahkan menjadi pelaksana berbagai program profesi, termasuk pendidikan profesi berkelanjutan.
Peran organisasi profesi diminimalkan; berbagai wewenang mereka yang tercantum dalam UU sebelumnya dihapus, termasuk pemberian surat rekomendasi praktik. Kolegium yang sebelumnya independen akan menjadi bagian Konsil dan konsil sendiri akan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri. Padahal sebelumnya, konsil adalah lembaga independen yang bertanggungjawab langsung ke Presiden.
Dengan peran yang sangat dominan ini, Kementerian Kesehatan menjadi institusi dengan kekuasaan sangat besar (super-body). Sentralisasi peran Kementerian Kesehatan berpotensi menimbulkan konflik serius. Pengabaian organisasi profesi yang selama ini berkontribusi signifikan pada sektor kesehatan dapat memicu keengganan mematuhi kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan dan program-programnya. Pada situasi ekstrim, organisasi profesi bahkan bisa memilih untuk tidak terlibat dalam program pemerintah.
Kata kasarnya, mereka lepas tangan. Padahal pentingnya dukungan dan partisipasi organisasi profesi tidak dapat disangkal. Kementerian Kesehatan akan kesulitan mencapai target-targetnya tanpa kolaborasi dan dukungan organisasi profesi. Kondisi ini bisa berdampak negatif pada ketahanan kesehatan bangsa.
Sentralisasi peran juga membuat pengambilan keputusan menjadi sentralistik dan tidak partisipatif. Hal ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau tindakan sewenang-wenang. Hal seperti ini pernah terjadi puluhan tahun lalu, saat Departemen Kesehatan menjadi penentu utama berbagai program dan proyek, termasuk penempatan tenaga profesional.
Saat itu muncul praktik-praktik tidak etis dan bertentangan dengan kepentingan publik, yang populer diistilahkan sebagai ‘Pojok Maut Depkes’. Ini momen dimana oknum Departemen Kesehatan menyalahgunakan wewenangnya untuk mendulang keuntungan pribadi. Sentralisasi peran ini juga membuat para investor lebih tertarik mempengaruhi atau memanfaatkan posisi Menteri Kesehatan daripada meyakinkan berbagai kelompok organisasi kesehatan yang bersifat plural, profesional, dan transparan. Hal ini berpotensi merusak integritas kebijakan kesehatan karena kepentingan bisnis dapat lebih mendominasi kepentingan masyarakat umum.
Baca juga: PB IDI Berikan Penghargaan untuk Dr Helmiyadi SpOT yang Meninggal Dunia dalam Tugas Pelayanan
Lebih jauh lagi, dominasi kekuasaan Menteri Kesehatan bisa menjadi sasaran oligarki investor kesehatan yang ingin mengendalikan kebijakan kesehatan untuk keuntungan mereka. Masa depan posisi Menteri Kesehatan rawan menjadi subjek pertarungan politik dan pengaruh dari berbagai pihak.
Akomodasi Aturan Turunan Dari pihak kontra, pengajuan JR sepertinya menjadi keniscayaan. JR merupakan saluran konstitusional penting yang bisa menunda atau menggagalkan UU ini. Hasil keputusan JR tidak mudah diprediksi. Peluang untuk diterima atau ditolaknya gugatan terhadap UU ini, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sama besarnya. UU Cipta Kerja, yang sebelumnya mendapat dukungan kuat dari pemerintah, DPR dan pemangku kepentingan, akhirnya dianggap inkonstitusional oleh MK. Hal yang tidak kalah pentingnya, bahwa keputusan MK bukan hanya mengikat pihak yang bersengketa (inter-parties) tetapi juga mengikat siapapun dan berlaku umum (erga omnes). Artinya, keputusan MK akan menentukan jadi atau tidaknya UU ini. Ini adalah real battle antara pihak pro dan kontra.
Sekarang bola ada ditangan pemerintah; apakah mereka ingin membiarkan JR ini menggelinding atau melakukan upaya pencegahan. Pasalnya, hingga saat ini JR belum diajukan. Bila mereka membiarkan JR terjadi, mereka harus mempersiapkan argumen rasional dan alat bukti adekuat untuk diuji dipersidangan.
Bila mereka ingin mencegah diajukannya JR, mereka perlu segera membuka ruang dialog dengan pihak kontra. Mendengarkan masukan dan keprihatinan mereka serta berusaha mencari solusi bersama dapat membantu mengurangi kemungkinan pengajuan JR dengan segala konsekuensinya. Jika masukan dan kritik dari pihak kontra beralasan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengakomodir usulan tersebut, termasuk diantaranya memutuskan penundaan masa berlaku UU ini atau memasukkan berbagai usulan relevan dalam peraturan turunan yang sementara digodok.
Pasca pengesahan UU ini, terlihat jelas Kementerian Kesehatan dan elemennya melakukan kampanye formal dan informal untuk memuluskan perjalanan UU ini. Dalam kampanye ini, pemerintah mesti menghindari narasi-narasi tidak kondusif, termasuk membombastis issu-issu tidak strategis dan subyektif atau menjelek-jelekkan organisasi profesi dan pihak lain yang tidak menyetujui UU ini.
Kampanye negatif dan asimetris, apalagi yang dilakukan secara berlebihan, hanya akan menimbulkan sikap antipati dari organisasi profesi dan masyarakat, yang pada akhirnya bisa menciptakan atmosfer kesehatan yang semakin turbulen. (*)
*) Penulis : Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI), pernah tayang di Harian Kompas
Editor : Syaiful Anwar