Jaksa Agung kedua dan Pahlawan Nasional sukses membujuk Ki Bagus agar mengganti "7 kata" sakral dalam Piagam Jakarta. Dia pula jadi di antara tokoh yang berani melawan arus ideologi politik revolusioner ala Sang Proklamator.
Sore itu, setelah paginya ikut memproklamasikan kemerdekaan, Mohammad Hatta menerima telepon dari Nishiyama, pembantu Laksamana Maeda. Nishiyama mengatakan segera meluncur ke rumah Hatta dengan membawa kabar penting. Hatta pun bersiap-siap setelah pesawat telepon ditutup.
Baca juga: Niat Pansos Malah Keceplosan Bongkar Aib Mertua
Tak butuh waktu lama, jelang petang, Nishiyama bersama seorang tentara Jepang lainnya sudah berada di rumah Hatta. Paras Sang Bapak Koperasi ini mendadak tampak cemas usai mendengar berita buruk yang baru saja disampaikan.
"Bhw wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, (di bagian timur Indonesia) yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, keberatan sangat terhadap bagian kalimat Pembukaan Undang-Undang Dasar..." demikian tulis Hatta dalam memoarnya, "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi".
Masyarakat di wilayah timur itu, ungkap Hatta meniru ucapan Nishiyama, bahkan mengancam keluar dari bagian Republik Indonesia bila "7 kata" dalam Pembukaan UUD, atau dikenal dengan Piagam Jakarta, masih tercantum.
7 kata yang dimaksud ialah frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Malam harinya, masih di 17 Agustus 1945 itu, Hatta menyebarkan kabar ini ke sejumlah tokoh.
Sukarno dan Hatta lantas mengutus 2 aktor, salah satunya adalah Kasman Singodimedjo, untuk menemui Ki Bagus Hadikusumo, yang saat itu merupakan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sekaligus anggota BPUPKI & PPKI yang paling kukuh mempertahankan 7 kata tersebut, esok paginya.
Kasman dipilih dalam pertemuan itu lantaran dianggap dekat dengan Ki Bagus dan sama-sama aktif di organisasi Islam terbesar kedua tersebut. Kendati malam itu masih di Bandung, Kasman mengiyakan permintaan Sukarno-Hatta.
Pada pagi sehari pasca Proklamasi Kemerdekaan, berangkatlah Hatta ditemani Kasman dan seorang lainnya menuju Gedung Chuo Sangi In, yang sekarang jadi Gedung Pancasila atau Gedung Kementerian Luar Negeri di Jakarta Pusat.
Baca juga: A Ujang Yang Untold Story
Perdebatan menegangkan pun tak dapat terhindar ketika Hatta menyampaikan pesan Nishiyama kepada Ki Bagus di sana.
"Bukankah sudah disepakati juga bahwa kalimat itu hanya berlaku untuk umat Islam?" sindir Ki Bagus, tetap pada pendiriannya.
Kasman lalu maju setelah Bung Hatta gagal membujuk. Ketegangan pun menyurut kala Kasman lebih memilih menggunakan bahasa Jawa halus di hadapan Ki Bagus. Dia meminta Ki Bagus utk mengalah sementara.
Kasman meyakinkan Ki Bagus bahwa komunitas Islam akan kembali mendapat 7 kata itu melalui rapat di parlemen 6 bulan mendatang pasca pertemuan mereka di Chuo Sangi In. Ki Bagus akhirnya mengalah, namun mendesak 7 kata itu diganti dengan frasa "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Perdebatan tajam dalam merumuskan dasar-dasar negara itu kemudian tuntas dengan kesuksesan menampung hajat bersama dari semua kelompok agama. Kasman sendiri kelak diangkat Sukarno menjadi Jaksa Agung kedua, sejak 8 November 1945 hingga 6 Mei 1946.
Baca juga: Tentang Laksamana Yos Sudarso
Meski kepemimpinannya terbilang singkat, Kasman berhasil membawa Kejaksaan tampil lebih rapi dan modern ketimbang lembaga lain, dengan mereformasi aspek birokrasi, administrasi dan personalia.
Dia juga mewarisi Maklumat Jaksa Agung Nomor 3 tanggal15 Januari 1946, yang dialamatkan kepada para Gubernur, Jaksa dan Kepolisian, agar lebih mengedepankan hukum yang lebih berkeadilan.
Maklumat ini tentu mengejutkan banyak pihak di tengah situasi negara yang berada di bawah ideologi politik revolusioner ala Seokarno saat itu. (*)
*) Source : Jaksapedia
Editor : Syaiful Anwar