Sudah cukup lama saya tidak mewawancarai pengemudi ojol (ojek online) sambil bonceng menggunakan jasa mereka. Pagi ini saya lakukan lagi.
Awalnya pertanyaan saya standar, “Bagaimana penghasilan ngojol saat ini, masih memadai, kah?”
Baca juga: Ricuh Ojek Pangkalan vs Ojol di Kabupaten Bandung
Abang ojol menjawab, “Ya masih bisalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”
Ia mengaku tiap hari narik dari jam 5 pagi sampai 9 malam dengan istirahat siang sekitar 1 jam. Dengan pola kerja seperti itu, rata-rata penghasilan bersihnya Rp 100 ribu- Rp 200 ribu perhari.
Saya pancing dengan pertanyaan, “Apakah narik ojol sekarang terasa makin berat?”
“Iya, jawabnya. Terutama karena kebijakan perusahaan ojol itu sendiri terkait porsi bagi hasil.”
Sekarang, tiap ada orderan, perusahaan mendapat bagi hasil 25%, pengemudi 75%. Padahal dulu porsi perusahaan hanya 10%.
Artinya, jika kita naik ojol dengan ongkos Rp 10 ribu, maka perusahaan dapat porsi Rp 2.500 dan pengemudi Rp 7.500. Sedangkan dulu, dengan contoh yang sama, perusahaan hanya memotong Rp 1.000 sehingga pengemudi dapat Rp 9.000.
Saya membatin, "Wah, untung besar ternyata perusahaan ojol ini. Bayangkan, dengan 'cost' relatif kecil mereka mampu menghasilkan profit yang besar.”
Kenapa bisa dikatakan modalnya kecil? Karena mereka tidak perlu repot menyiapkan faktor produksi yang butuh biaya sangat besar sebagaimana pada perusahaan konvensional.
Faktor produksi tenaga kerja, misalnya. Mereka tidak perlu merekrut pengemudi, tetapi pengemudi itu sendiri yang mendaftar berbondong-bondong. Bahkan para calon pengemudi tersebut yang justru harus membayar untuk bisa diterima bekerja. Diperkirakan saat ini ada sekitar 2,5 sampai 3 juta pengemudi ojol di Indonesia dan jumlahnya terus bertambah. Untuk mendaftar, tiap pengemudi membayar relatif tidak murah.
Baca juga: Mengaku Ngantuk, Pemotor Ojol Ndlosor di Jalanan Usai Antar Penumpangnya
Lalu faktor produksi modal/capital berupa aset. Perusahaan tidak perlu menyediakan motor. Malah sebaliknya, para pengemudi itu sendiri yang menyediakan motor untuk perusahaan. Bahkan, jaket dan helm seragam yang menjadi identitas pengemudi pun tidak disediakan gratis oleh perusahaan. Pengemudi harus membayar untuk memperolehnya (biasanya include dalam biaya pendaftaran).
Mari kita perkirakan keuntungan mereka.
Grab, contohnya. Saat ini pengemudi Grab jumlahnya sekitar 1,5 juta. Jika dari satu pengemudi mereka dapat bagi hasil Rp 10.000 ribu saja, maka penghasilan Grab sehari adalah Rp 15 miliar!
Bayangkan, Rp 15 miliar sehari! Luar biasa. Itu baru dengan asumsi Rp 10.000. Bagaimana jika asumsinya Rp 10 ribu, Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, dan seterusnya?
Betapa besarnya keuntungan mereka tanpa perlu repot menyediakan faktor produksi yang mahal dan rumit. Mereka hanya perlu menyediakan aplikasi yang stabil, mempekerjakan beberapa orang ahli IT (Informasi Teknologi), dan sejumlah karyawan pendukung.
Mereka juga tidak perlu gedung kantor yang besar dan mewah yang tentu mahal, karena karakteristik pekerjaan semuanya bisa dilakukan 'from anywhere'. Benar-benar bisnis yang cerdas.
Lebih "cerdas" lagi karena mereka ternyata juga tidak perlu keluar biaya sama sekali untuk membayar tunjangan hari raya (THR) para driver tersebut. Sebab mereka mengklaim, para pengemudi tersebut bukan karyawan mereka, melainkan mitra.
Dengan status driver sebagai mitra tersebut, mereka juga terbebas dari permasalahan harus mem-PHK driver yang tidak perform atau bermasalah. Dengan demikian, otomatis mereka juga terbebas dari keharusan membayar biaya pesangon.
Benar-benar bisnis yang luar biasa cerdik!
Saya jadi berpikir, sebaiknya bisnis ini dikuasai oleh negara saja. Karena sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Menjadi jaring pengaman sosial yang bisa menyelamatkan ekonomi jutaan rakyat Indonesia untuk bisa sekedar makan dan bertahan hidup. (*)
#catatan_RV
Editor : Syaiful Anwar