Kusni Kasdut dari Pejuang Kemerdekaan dan Perampok

avatar Redaksi
  • URL berhasil dicopy
Kusni Kasdut sebelum diekskusi
Kusni Kasdut sebelum diekskusi
grosir-buah-surabaya

Nama Kusni Kasdut meledak setelah aksi perampokan Museum Nasional tahun 1963. Ia dijuluki penjahat besar, buronan legendaris yang berulang kali lolos dari penjara.

Tapi jauh sebelum itu, Ia bukan kriminal, ia adalah pejuang. Di masa Jepang, ia masuk Heiho, tentara bentukan Jepang di Malang. Dilatih perang, menyabotase, dan bertempur.

Setelah Proklamasi 1945, ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kusni ikut pelucutan senjata Jepang, merebut gudang amunisi, bertempur di Surabaya pada 10 November.

Bagi Kusni, revolusi bukan sekadar kata. Ia bertempur, terluka, berkali-kali hidup di ujung peluru. Tapi sejarah punya jalan terjal.

Setelah perang, kebijakan ReRa menyingkirkan banyak laskar, termasuk dirinya. Negara hanya memberinya selembar surat bekas pejuang. Tapi tidak dengan pekerjaan, tidak pula penghidupan.

Sementara elit politik bergelimang kuasa, rakyat miskin semakin tercekik. Kusni lalu memilih jalan berseberangan. Masuk Brigade Teratai bentukan dr. Moestopo, pasukan revolusi yang dibiayai hasil rampokan.

Dari situlah Kusni belajar: merampok bisa jadi bagian dr perjuangan.

Tapi perang usai, garis batas hilang. Kusni tetap merampok, bukan lagi demi Republik, tapi demi hidup. Museum Gajah ia satroni. Dokter Tionghoa kaya ia culik. Seorang miliarder Arab tewas di tangannya.

Setiap kali ditangkap, Kusni berhasil kabur: dari Semarang, Surabaya, hingga Cipinang.

Sosoknya jadi mitos, separuh pahlawan, separuh bandit. Namun mitos punya ujung. Di pengasingan penjara, Kusni masuk Katolik, mengganti nama jadi Ignatius Waluyo. Ia merenung: apa bedanya merampok untuk perjuangan dan merampok untuk diri sendiri? Jawabannya getir: tak ada bedanya.

Berlian tetap berlian. Darah tetap darah. Presiden Soeharto menolak grasi. Pada 6 Februari 1980, regu tembak lalu mengeksekusi. Tiga peluru menembus dada, lima bersarang di perutnya. Kusni wafat sebagai penjahat, tapi hidup sebagai pejuang.

Kisah Kusni adalah ironi sejarah: dari lantang meneriakkan Merdeka atau Mati, hingga mati di tiang eksekusi karena dianggap pengkhianat. Antara pahlawan dan penjahat, garisnya seringkali hanya setipis bayangan. (*)