Moh Nizar dan Sungai yang Hampir Dilupakan

Reporter : -
Moh Nizar dan Sungai yang Hampir Dilupakan
Ucapan terima kasih warga Desa Watugolong

Di balik aliran Sungai Avour Buntung yang tenang, tersimpan cerita perjuangan seorang anggota Dewan yang memilih turun ke lumpur demi masyarakat yang hampir menyerah.

Setiap kali hujan deras mengguyur Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, suara gemericik air bukan lagi pertanda kesegaran, melainkan awal dari keresahan. Warga Desa Watugolong dan Desa Barengkrajan telah lama hidup berdampingan dengan banjir, seolah menjadi bagian dari siklus hidup yang tak bisa dihindari. Sungai Avour Buntung yang membelah desa-desa ini sudah nyaris tak berfungsi penuh endapan, menyempit, dan tak sanggup lagi menampung air yang datang mendadak.

Baca Juga: Ketua Fraksi Golkar DPRD Sidoarjo Bantu Normalisasi Sungai Avour Kedunguling di Desa Temu

Namun, pada suatu hari yang tampak biasa di kalender, harapan datang dalam wujud seorang wakil rakyat. Ia tidak membawa janji, melainkan langkah konkret. 

Namanya Moh Nizar SH, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Sidoarjo, dari Fraksi Golkar. Lahir di Surabaya, namun menambatkan komitmennya di Sidoarjo, Nizar telah lama dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah memperjuangkan isu-isu lingkungan dan pembangunan.

Perjuangannya kali ini dimulai dari keluhan warga yang datang langsung kepadanya. Mereka sudah bosan dibohongi dan lelah dengan laporan-laporan yang menguap tanpa tindak lanjut. Saat Nizar mendengar bahwa normalisasi terakhir sungai itu dilakukan hampir satu dekade lalu, ia tahu: ini bukan sekadar proyek fisik, tapi persoalan martabat dan keadilan lingkungan.

Tanpa banyak kata, Nizar turun ke lapangan. Ia memverifikasi panjang sungai yang perlu dinormalisasi 2,5 kilometer, jauh lebih pendek dari angka 25 kilometer yang sempat salah tercatat dalam dokumen. Temuan ini menjadi dasar proposal yang ia ajukan ke Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga (PUBM) dan  Sumber Daya Air (SDA) Kabupaten Sidoarjo. Di saat banyak legislator nyaman berkutat di ruang rapat, Nizar justru berkeringat di bantaran sungai.

Masalah muncul ketika anggaran yang tersedia ternyata terbatas. Banyak proyek serupa yang berebut perhatian. Tapi Nizar, yang juga duduk di Badan Anggaran, tidak tinggal diam. Ia berdiri di forum pembahasan anggaran dan bicara lantang:

“Ini bukan hanya soal air yang tergenang. Ini soal anak-anak yang tak bisa sekolah, petani yang kehilangan panen, dan warga yang hidup dalam ketidakpastian.”

Baca Juga: Moh Nizar Inisiasi Pelaksanaan Normalisasi Sungai Buntung di Desa Watugolong

Kata-katanya menggerakkan. Anggaran pun akhirnya diketok.

advertorial

Tak puas hanya mengawal dari balik meja, Nizar kerap menyambangi lokasi proyek. Suatu hari di bulan April, ia bertemu langsung dengan Slamet Handoyo, Kepala Desa Watugolong. Di sela-sela suara ekskavator dan deru mesin penyedot lumpur, keduanya berbincang hangat. Warga pun melihat sendiri: wakil mereka tidak hanya turun, tapi menyatu dengan perjuangan mereka.

Untuk memastikan proyek berjalan transparan, Nizar melibatkan warga dan perangkat desa dalam pengawasan. Forum Curhat Warga dibentuk. Dua inspeksi bersama dilakukan pada 4 dan 7 Mei 2025. Langkah ini bukan hanya soal pengawasan, tapi pendidikan politik: bahwa warga berhak tahu dan terlibat dalam pembangunan.

Meski proyek itu "hanya" sepanjang 2,5 kilometer, dampaknya sangat terasa. Kritik sempat datang mengapa tak lebih panjang? Nizar menjawab dengan lugas: ini adalah awal. Ia menyebut Kali Buntung, sungai lain di Sidoarjo yang membentang sepanjang 23 kilometer, sebagai target lanjutan.

Baca Juga: Hari Kedua Tasyakuran Pelantikan M Nizar sebagai Anggota DPRD Sidoarjo Dimeriahkan Muspika Krian

Apa yang dilakukan Moh Nizar bukan sekadar kerja teknis. Ia sedang membangun kembali kepercayaan antara rakyat dan negara, bahwa solusi itu mungkin jika niatnya tulus dan langkahnya serius.

Di DPRD Sidoarjo, kiprah Nizar menjadi contoh. Rekan-rekannya mulai meniru pendekatannya: mendengar, turun, bertindak. Di tengah dunia politik yang kerap sinis, sosok seperti Nizar mengingatkan bahwa idealisme belum punah.

Kini, saat hujan kembali turun, air masih datang. Tapi bersama air itu, ada pula keyakinan baru. Bahwa banjir bukan kutukan, dan bahwa seorang wakil rakyat masih bisa jadi harapan. (*)

Editor : Syaiful Anwar