Sutimah jadi korban kekerasan dengan cara disiram air panas. Sontak, hampir sekujur tubuhnya melepuh. Dia pun sekarang dalam proses pemulihan setelah dirawat di Puskesmas Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur.
Kejadian tragis yang dialami Sutimah terjadi pada Kamis, 12 Oktober 2023 sekitar pukul 13.00 WIB, di kediamannya, di Dusun Bandungan, Desa Rongdurin, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan. Dari keterangan Sutimah, terduga pelakunya ialah Hama, yang tak lain sebagai iparnya sendiri.
Baca juga: Sertu Aviv Ashab Anggota Koramil 0816/06 Tanggulangin Bantu Evaluasi ODGJ
Sutimah disiram air panas oleh Hama menggunakan gayung tidak hanya sekali, tapi 2 kali. Sutimah bercerita, kejadian tersebut bermula saat dirinya sedang di dapur untuk memasak kebutuhan dalam rangka acara 7 hari meninggalnya mertuanya. Dia di dapur bersama beberapa orang termasuk Hama. Entah kenapa, tiba-tiba, Hama menyiramkan air panas yang diambilnya dalam panci di atas perapian dengan menggunakan gayung kepada dirinya sebanyak 2 kali.
Pada hari itu juga, Kamis 12 Oktober 2023, Sarip (49 tahun) yang merupakan suami dari Sutimah mendatangi Polsek Tanah Merah untuk membuat laporan atas kekerasan yang dilakukan oleh Hama kepada istrinya.
Laporan diterima oleh petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terparu (SPKT) Polsek Tanah Merah bernama Aiptu Rudi Wijaya, dengan tanda terima laporan / pengaduan masyarakat nomor : LPM/14/X/2023/POLSEK TANAH MERAH tanggal 12 Oktober 2023.
Dalam proses hukum tersebut, muncul desas desus bahwa Hama mengajukan permohonan Surat Keterangan Mengalami Gangguan Jiwa ke rumah sakit, salah satunya disebut Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya. Untuk mencari fakta terkait desas desus tersebut, Tim Redaksi Lintasperkoro.com mengonfirmasi ke pihak RSJ Menur.
Dalam konfirmasi tersebut, Kepala Bagian (Kabag) Umum RSJ Menur Surabaya, Basuni, melalui sambungan seluler mengungkapkan bahwa pihak RSJ tidak pernah menerima atau merawat pasien atas nama Hama dari Desa Rongdurin.
"Kami cek di beberapa bagian, tidak ada pasien atas nama Hama. Rekam medis pasien atas nama Hama saat dicek di data tidak pernah ada," ungkap Basuni kepada media Lintasperkoro.com, Selasa 19 Desember 2023.
Basuni menjelaskan, untuk menentukan kejiwaan pasien dalam kondisi terganggu tidaklah mudah. Apalagi pasien tersebut dalam proses penanganan perkara di Kepolisian.
"RS tidak mudah mengeluarkan surat kuning (Surat Keterangan Gangguan Jiwa). Daftar dulu di rumah sakit, baru ditentukan. Jika masuk di Kepolisian, Polisi yang seharusnya membawa pasien tersebut ke RS Jiwa. Divisum, apakah layak dapat kartu kuning atau tidak," ungkapnya.
Dilansir dari Hukumonline, dijelaskan pihak yang berhak menentukan gila atau tidaknya pelaku tindak pidana. Disebutkan bahwa penyidik Kepolisian tidak berwenang untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini karena melepaskan pelaku karena diduga mengalami gangguan jiwa bukan merupakan alasan dilakukannya penghentian penyidikan sehingga penyidik melepaskan pelaku.
"Yang berhak menentukan pelaku tindak pidana itu mengalami gangguan kejiwaan kemudian pelaku tersebut tidak dapat dihukum adalah hakim pada persidangan berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya dengan mendengar keterangan ahli," demikian disebutkan dalam hukumonline.
Aturannya pada.Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi:
“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”
Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:
“Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.”
Aturan di atas menunjukkan bahwa apakah perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pelakunya mengalami gangguan jiwa merupakan wewenang hakim saat memeriksa dan memutus perkaranya. Akan tetapi, tentu hakim menentukannya dengan berdasar pada bukti-bukti yang ada yang menerangkan pelaku memang benar memiliki gangguan jiwa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal serupa juga dijelaskan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61). Terkait Pasal 44 KUHP, Soesilo menjelaskan bahwa dalam praktiknya jika Polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa.
Pada praktiknya di persidangan, untuk membuktikan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, dihadirkan saksi ahli terkait masalah tersebut.
Baca juga: DPC LIRA Tanah Merah Menggelar Rakor Bersama Muspika
Ketidakwenangan penyidik Kepolisian untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan juga dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dalam menghentikan penyidikan.
Mengenai penyidik salah satunya adalah polisi, dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) berbunyi:
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Penyidik dalam hal ini adalah Kepolisian tidaklah berwenang menentukan kejiwaan seorang pelaku tindak pidana kemudian melepaskannya begitu saja. Hal ini berkaitan dengan tugas tugas penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
Baca juga: Kejari Bangkalan Terima Berkas Pelimpahan Kasus Penyiraman Air Panas di Desa Rongdurin
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan;
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Terkait tugas penyidik mengadakan penghentian penyidikan, harus dilihat kembali apa saja syarat untuk dilakukannya penghentian penyidikan sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP:
a. tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
b. peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana
c. atau penyidikan dihentikan demi hukum
Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa. (kin/ins)
Editor : Syaiful Anwar