Maria Ulfah Santoso, Sarjana Hukum Perempuan Pertama di Indonesia

lintasperkoro.com
Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso merupakan salah satu tokoh perempuan generasi baru yang sangat gencar membela hak perempuan sejak tahun 1930-an. Maria sendiri lahir di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, pada 18 Agustus 1911, dari pasangan bangsawan R. A. A. Mohamad Achmad dan R. A. Hadidjah Djajadiningrat.

Ayah Maria merupakan tokoh yang berpengaruh di Kabupaten Kuningan, sebab ia menjabat sebagai Bupati Kuningan dari tahun 1923 sampai 1939. Sementara itu, ibu Maria merupakan salah satu bagian dari keluarga elit Djajadiningrat yang terkenal memegang banyak posisi penting di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Bersamaan dengan pendidikannya, Maria juga memiliki kualifikasi akademis dalam berpartisipasi aktif di bidang politik.

Sebelumnya, Maria berhasil lulus dari Universitas Leiden, Belanda sebagai sarjana hukum pada tahun 1933. Keberhasilan Maria menyandang gelar sarjana hukum menjadikan Maria sebagai perempuan Indonesia pertama yang memiliki gelar tersebut.

Status Maria sebagai sarjana hukum membuat dirinya cepat dikenal di kalangan pergerakan perempuan di Indonesia. Karena pamornya itu, Maria diikutsertakan dalam Kongres Perempuan Indonesia II yang berlangsung di Jakarta pada bulan Juli 1935.

Kongres tersebut menjadi panggung pertama Maria dalam ekosistem pergerakan perempuan Indonesia. Di sana Maria membagikan pengetahuannya tentang hak perempuan kepada masyarakat luas melalui tulisan atau pidato. Oleh karena itu, Maria berada di posisi strategis untuk membangun kesadaran hukum di dalam diri kaum perempuan Indonesia.

Menurut Maria, hak pilih dan bentuk representatif perempuan Indonesia di tengah dewan-dewan perwakilan mampu memberikan dampak positif bagi seluruh pergerakan perempuan di Indonesia.

Sebagai seorang perempuan Indonesia pertama yang berhasil menjadi sarjana hukum, Maria Ulfah Santoso menyadari alasan mengapa kedudukan perempuan Indonesia masih lemah disebabkan oleh adanya ketentuan hukum yang acap kali tidak berpihak pada kaum perempuan.

Berangkat dari permasalahan itu, Maria berharap perempuan Indonesia gencar dalam berpartisipasi di dewan-dewan perwakilan untuk memperbaiki segala bentuk permasalahan yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia.

Di penghujung akhir tahun 1930-an, Maria melihat permasalahan yang ada di dalam dewan-dewan perwakilan di Hindia Belanda. Pada saat itu, tepatnya tahun 1937, hanya laki-laki saja yang diperbolehkan menjadi anggota dewan di setiap daerah.

Akan tetapi, memasuki awal tahun 1938 pemerintah kolonial untuk pertama kalinya memperbolehkan perempuan untuk memasuki keanggotaan di Dewan Kota (Gemeenteraad). Mendengar hal itu, beberapa organisasi pergerakan perempuan menyerukan agar Maria turut menjadi pembicara di dalam sebuah forum pertemuan antar organisasi pergerakan perempuan pada 3 Juli 1938.

Maria pun setuju dan memberikan pidato tentang hak pilih perempuan di negara-negara Barat, terutama di Belanda, dan di negara-negara yang memiliki banyak penduduk Muslim, seperti Turki dan India.

Sejak saat itu, berbagai macam surat kabar mengabarkan bahwa pidato yang diberikan Maria mendapatkan tanggapan baik dari kaum perempuan.

Pada dasarnya, dengan dibukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki Gemeenteraad menandakan bahwa perempuan sudah memiliki hak pilih—meskipun hanya hak pilih pasif. Berbeda dengan anggota dewan laki-laki yang memiliki hak pilih pasif dan aktif. Sementara anggota dewan perempuan hanya diperbolehkan menggunakan hak pilih pasif.

Terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan bagi Maria, yaitu:

1) kaum perempuan yang menjadi anggota dewan hanya memiliki hak pasif;

2) perempuan yang diperbolehkan untuk menjadi anggota dewan hanya perempuan Belanda saja;

3) bentuk pemilihan anggota dewan baru hanya boleh dilakukan oleh laki-laki saja.

Untuk memperjuangkan perempuan dalam memiliki hak pilih perempuan, Maria mencoba jalan lainnya dengan cara mempertimbangkan hak perempuan di Dewan Rakyat (Volksraad).

Syarat sebagai Volksraad sendiri tidak memiliki keterangan bahwa anggota dewan baru diwajibkan hanya untuk laki-laki saja. Beberapa syarat yang tertera adalah anggota dewan harus warga Belanda atau warga Hindia Belanda dengan usia minimal 25 tahun.

Meskipun begitu, kesempatan perempuan untuk bergabung di Volksraad sangatlah kecil karena pemilihan anggota dewan baru dipilih secara tidak langsung oleh anggota dewan lama yang diisi oleh kaum laki-laki saja—hingga tahun 1938 anggota Volksraad masih terdiri dari kaum laki-laki.

Berdasarkan pemahaman Maria dan kelompok pergerakan perempuan Indonesia, cara lain untuk menjadi anggota dewan dapat dilakukan melalui proses pengangkatan oleh Gubernur Jenderal.

Di tahun 1935, seorang perempuan berdarah Belanda, Razoux Schultz, menjadi anggota Volksraad setelah dirinya diangkat oleh Gubernur Jenderal.

Pengangkatan Razoux Schultz menjadi anggota Volksraad sendiri dilakukan dengan alasan ia merupakan seorang feminis dan politisi asal Belanda yang menyatakan mampu mewakili perempuan-perempuan Hindia Belanda.

Meskipun Schultz berperan sebagai perwakilan perempuan Hindia Belanda, pandangannya terhadap isu perempuan seringkali bertentangan dengan pandangan perempuan Indonesia. Schultz hanya memfokuskan perhatiannya pada perempuan asli Eropa dan perempuan blasteran Indo-Eropa. Hal tersebut menjadi dasar pertentangan antara Schultz dan perempuan Indonesia.

Kemudian, menjelang pemilihan anggota Volksraad periode 1939—1943 di tahun 1939, organisasi-organisasi perempuan Indonesia mencoba mendesak Gubernur Jenderal untuk mengangkat seorang perempuan Indonesia sebagai anggota Volksraad.

Pada saat itu, kandidat terkuat yang dipilih oleh organisasi-organisasi perempuan Indonesia adalah Maria. Terdapat beberapa alasan mengapa Maria dipilih sebagai kandidat terkuat, yaitu perhatian Maria terhadap kondisi perempuan Indonesia sangatlah kuat, ditambah dirinya yang sudah terkenal di kalangan banyak organisasi perempuan.

Maria juga dianggap memiliki pengetahuan yang cukup terkait keanggotaan di Volksraad, sehingga organisasi-organisasi perempuan percaya bahwa Maria cocok untuk menjadi bagian dari badan perwakilan itu.

Sayangnya, keinginan tersebut harus kandas karena tidak ada satupun perempuan Indonesia yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Walaupun Maria belum berhasil, ia meneruskan langkahnya demi mewujudkan harapan perempuan Indonesia.

Perjuangan Maria bersama organisasi-organisasi perempuan Indonesia terus berlanjut hingga 9 dan 10 September 1941 sampai dimana akhirnya dewan perwakilan sepakat untuk mengajukan amandemen terhadap rancangan hak pilih aktif pemerintah kolonial.

Kemudian pada tanggal 20 September 1941, pemerintah kolonial akhirnya menyetujui amandemen dewan perwakilan. Maka dari itu, secara resmi seluruh golongan termasuk perempuan Indonesia memiliki hak pilih aktifnya.

Di masa kemerdekaan, Sutan Sjahrir menunjuk Maria sebagai Menteri Sosial yang mana hal itu merupakan puncak karir dari Maria. Ia terus melanjutkan perjuangannya untuk membela perempuan Indonesia, terutama dalam hal rumah tangga dan perkawinan. (*)

*) Sumber : Neo Historia Indonesia

Editor : Ahmadi

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru