Bullying Dokter

Reporter : Redaksi
A. Sofyan Hasdam

Heboh, ada dokter muda mengalami bullying. Ada calon dokter spesialis diperas. Ini satu isu panas yang dilemparkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin dan menjadi salah satu penguat alasan mengapa Undang Undang (UU) Kesehatan harus direvisi.

Sebetulnya kalau traktir mentraktir sebagai sesama calon dokter sudah sejak dulu terjadi dan itu dianggap sebagai bentuk syukuran karena berhasilnya seorang calon dokter melakukan tindakan medis yang istimewa. Misalnya, seorang dokter muda karena dinilai mampu oleh dokter spesialis bedah lalu diberi kesempatan melakukan tindakan bedah usus buntu (appendectomy), tentu saja dengan pendampingan. 

Baca juga: Payung Duka Masyarakat Sipil di Kantor Kemenkes Pasca Pengesahan UU Kesehatan

Karena kesuksesannya, dokter muda ini diminta oleh rekannya melakukan syukuran, biasanya dengan mentraktir makan. Ini sama sekali bukan kebijakan Bagian (Departemen) apalagi Fakultas.

Sama halnya pada seorang calon dokter spesialis. Karena kenaikan tingkat atau kebolehannya melakukan tindakan yang "advanced" layaknya seorang spesialis, lalu sejawatnya meminta melakukan syukuran. Bahkan syukuran itu malah muncul dari residen yang bersangkutan sendiri.

Sulit untuk mengatakan kedua bentuk syukuran diatas sebagai "bullying" karena sifatnya keikhlasan dan tidak perlu dilakukan jika calon dokter atau residen tidak punya duit. Lagi pula tdk terkait dengan catatan prestasi untuk penyelesaian pendidikan.

Kepentingan pribadi

Kalau yang dicontohkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) benar terjadi, tentu tidak bisa diterima oleh akal sehat. Seorang calon dokter atau kandidat dokter spesialis memeras yunior agar dibayarkan atau dibelikan sesuatu yang merupakan kepentingan atau kebutuhan pribadinya. Ini adalah tindakan yang sama sekali tdk bisa dibenarkan. 

Begitu pula kelakuan dokter spesialis yang memeras calon dokter spesialis adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Sayangnya Menkes tidak tunjuk hidung pada pelaku tidak terpuji ini. Kalau saja hal ini disampaikan kepada rektor atau dekan Fakultas Kedokteran (FK) yang bersangkutan, permasalahan ini akan cepat teratasi. Atau Menkes menginformasikan kejadian tidak terpuji tersebut ke IDI (MKEK), tentu pelakunya akan dipanggil dan bahkan bisa dapat sanksi.

Sangat disayangkan bahwa Menkes melempar permasalahan ini ke publik sehingga terkesan sebagai bahan pembenar dari tindakannya merevisi UU Kesehatan. Dan tentu hal inipun disampaikan kepada para wakil rakyat di Senayan, sehingga mayoritas anggota Dewan merasa perlu menyetujui UU Kesehatan yang baru. 

Semoga saja perilaku tidak terpuji dari kasus diatas tidak dikatakan sebagai kesalahan IDI agar alasan untuk menghilangkan tajinya IDI semakin kuat. (*)

*) Penulis : A. Sofyan Hasdam

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru