Banyak Jalan Korupsi Pertambangan

lintasperkoro.com
Korupsi pertambangan

Regulasi kita yang transaksional menghendaki sektor pertambangan untuk dikorupsi. Apa saja modusnya?

Manusia adalah makhluk das radikal böse 'radical evil'. Satu waktu punya sisi pribadi yang kelewat biadab seperti iblis. Konsep filsafat manusia yang diadopsi dari ajaran Kristen, Radix Malorum, itu pertama kali disampaikan Immanuel Kant lewat sebagian karya magnum opusnya, "Religion within the Boundary of Pure Reason", yang bertarikh 1793.

Baca juga: Kasatreskrim Polres Solok Selatan Ditembak Kepalanya oleh Kabag Ops, Diduga Karena Tambang

Di sana, filsuf asal Jerman yang hingga berkalang tanah memutuskan tak berpasangan itu menuliskan, untuk membendung hasrat kebanalan manusia idealnya butuh sebuah sistem ketat, tepat dan mengikat.

Sistem ini diistilahkan Kant dengan "the Moral Law". Bukan disalin dari hukum agama, tapi dirumuskan secara konsensus. Sebagai salah 1 bentuk kebiadaban, korupsi juga semestinya dicegah sesuai dengan petuah Kant ini.

Yang jadi soal, di banyak negara regulasi apapun seolah sengaja disusun longgar untuk 1 golongan, apalagi di Tanah Air.

Mengutip penjelasan "Corruption, Capitalism & Democracy" karangan John Girling, mirip dengan negara Asia Tenggara lainnya macam Filipina dan Thailand, korupsi di Indonesia berkarakter "functional". Artinya, sistem, secara terstruktur dan terencana, memang dibuat agar tidak bisa diimplementasikan dengan baik, yang bertujuan untuk menguntungkan 1 pihak sembari mempersulit kelompok lain. Sistem semacam itu, kata Girling, lahir karena kondisi ekonomi-politik kita yang transaksional.

Dengan kata lain, elit politik butuh pendanaan untuk melanggengkan kekuasaan, dan di saat yang sama para bohir atau cukong memerlukan sistem yg bobrok minimal supaya dapat melindungi kekayaannya dan bila perlu agar hartanya bisa terus bertambah.

Baca juga: Pekerjaan Urugan Dinas PUTR di Desa Sidoraharjo Tak Kunjung Direalisasikan

Mirisnya, regulasi transaksional itu berlangsung di segala sektor, terlebih di area pertambangan yang paling mengakibatkan negara harus menerima kerugian yang tak sedikit. 

Sebagaimana catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara yang disebabkan korupsi pertambagan menjadi yang terbesar pada tahun 2019 lalu dengan total mencapai Rp 5,9 triliun. Di samping itu, modus korupsi pertambangan juga diakui lebih beragam ketimbang sektor lain.

Undang Mugopal menuturkan, di antara modus yang biasa muncul dalam kasus korupsi pertambangam adalah menambang tanpa izin, memanipulasi data ekspor, penyimpangan pada DMO, dan melakukan produksi di tahapan eksplorasi. Sedangkan sisanya adalah memindahtangankan perizinan kepada pihak lain, juga sengaja tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. 

Baca juga: Tragedi Berdarah di Muara Kate, 1 Orang Meninggal Dunia

Agar lolos dari pemeriksaan dan menjadi beking, tentunya semua tindak pidana ini membutuhkan gratifikasi atau suap kepada pejabat atau aparat. 

"Sekarang ini tidak hanya korupsinya yang ditindak, tapi juga unsur kerugian negaranya harus dipulihkan, sehingga ada denda/kerugian negara yg dikembalikan," kata Undang Mugopal, Direktur Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi (UHLBEE) Jampidsus Kejaksaan Agung. (*)

*) Source : Jaksapedia

Editor : Syaiful Anwar

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru