Rempah Dihabisi, Timah Dikorupsi

lintasperkoro.com
Bekas penambang timah di Kampung Menjelang Baru, Kecamatan Muntok.

Tak ada suku-suku Melayu Pulau Bangka yang akrab budaya timah. Keasingan mereka terhadap timah bisa dijumpai pada peralatan rumah tangga, perhiasan, peralatan pertanian, atau produk seni seperti instrumen tari dan musik yang tidak dibuat dari bahan logam ini.

Suku-suku seperti Mapur, Maras, Jerieng, Gudang, Sebagin dan sejenisnya, hanya mengenal timah untuk digunakan sebagai pemberat jaring ikan. Perkenalan ini pun terjadi belakangan setelah berkuasanya Kerajaan Sriwijaya di wilayah tersebut.

Baca juga: Tampang dan Peran DPO Kasus Timah

Pada abad ke-7 itu, timah masih dipakai untuk media barter dan bahan prasasti. Logam ini juga digali cuma dalam skala kecil. Suku Melayu sendiri lebih dulu mendiami pulau ini bahkan sejak masa Kerajaan Majapahit.

Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Indonesia (TMI) Muntok, menuturkan, baru pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I saat memerintah Kesultanan Palembang-lah penambangan timah di Bumi Serumpun Sebalai itu digelar besar-besaran. Kala itu, aktivitas penambangan dilakukan para buruh Tionghoa. Mereka sudah terbiasa menggunakan pacul dalam menambang. Mereka sengaja didatangkan karena Sultan Mahmud menganggapnya lebih disiplin dan bertenaga ketimbang pribumi.

Berlainan dengan zaman yang telah lalu, sekarang kebanyakan buruh tambang di Pulau Bangka merupakan pendatang dari sejumlah daerah, macam dari Tulungselapan, Air Sugihan dan Sungsang di Sumatera Selatan (Sumsel), atau dari Lampung dan Jawa.

Sementara yang menjadi cukong mereka saat ini adalah keturunan Tionghoa yamg leluhurnya sebagian merupakan buruh tambang.

Menurut pengakuan Sep Amir Ibrahim, untuk memenuhi kebutuhan, sudah ratusan tahun masyarakat sekitar mengandalkan perkebunan dan bernelayan bukan dengan menambang timah.

"Timah tidak ada dalam sejarah kehidupan kami," tegas tokoh masyarakat yang masih keturunan suku Sekak di Kabupaten Bangka Selatan itu. 

"Lada dan ikan yang menyekolahkan anak-anak kami, dan membuat kami naik haji atau membuat rumah."

Baca juga: Alasan Kejagung Tak Terima Putusan Hakim Denda Rp 5000 Tersangka Kasus Korupsi Timah

Rendy Hamzah sependapat dengan Amir. Peneliti Pusdappar Universitas Bangka Belitung ini menambahkan, Kepulauan Bangka Belitung (Babel) tidak pernah tumbuh dengan kebudayaan timah. Seperti suku-suku lain di Nusantara, rempah dan ikan merupakan bagian dari sejarah peradaban mereka.

"Mereka memilih hidup dengan rempah-rempah dan ikan karena tidak bertentangan dengan falsafah hidup yang menghargai alam. Makanya, Kesultanan Palembang terpaksa mendatangkan pekerja tambang Tionghoa," kata Rendy.

Timah itu bagian kecil dari sejarah masyarakat pribumi Bangka. Mereka menilai timah itu bisnis para penguasa. Kendati Kepulauan Babel masih menjadi produsen terbesar lada di Tanah Air, tapi diakui lahannya kini makin berkurang drastis.

Kondisi ini tak lain karena aktivitas penambangan yang masif di wilayah itu. Belum lagi dampak buruk lingkungan, sebab penambangan yang juga berimbas negatif pada sektor perikanan.

Baca juga: Terseret Perizinan Timah Bangka

Nahasnya, di tengah situasi pailit yang harus dihadapi suku-suku Melayu itu, Kejagung telah menyeret 15 tersangka korupsi tata kelola timah. Jumlah ini bisa terus bertambah seiring Korps Adhyaksa masih memeriksa sejumlah orang yang disinyalir terlibat.

Tak main-main, menyusul perbuatan para pelaku, kerugian ekologi negara mencapai Rp 271,06 triliun sepanjang periode tahun 2015-2022. 

Kejaksaan juga hingga kini masih menunggu penghitungan kerugian perekonomian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Diperkirakan kerugian total melebihi nilai tersebut. (*)

*) Source : Jaksapedia

Editor : Ahmadi

Peristiwa
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru