Menjadi tabiat setiap manusia sebagai mahkluk sosial untuk berbagi. Terdapat perasaan untuk berbagi kepada orang lain terhadap kebaikan yang dinikmati, baik berupa perasaan bahagia, harta sampai ilmu. Sehingga tidak salah agama menekankan perintah akan hal tersebut baik melalui ayat al-Qur'an, Hadits sampai berbagai bentuk penjelasan.
Sebagai suatu keutamaan, berbagai ilmu secara khusus disampaikan dalam sebuah hadits Nabi untuk menyampaikan atau menyebarkannya kepada yang lain.
Baca juga: Korem Bhaskara Jaya Menggelar Peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW
Abdullah bin ‘Amru meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda:
“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Sampaikan kabar dari Bani Israil, dan tidak perlu merasa berat. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (Riwayat Bukhari).
Melihat banyaknya informasi dengan sumber yang juga beragam dalam berbagai bentuk media terkadang menghasilkan suatu kebingungan untuk mencari tahu cara penyampaian termaksud. Namun bagaimana sebenarnya kaidah yang benar sesuai dengan tuntunan para Ulama' dalam memaknai Hadits tersebut.
Nashruddin Isham at-Tamadiy mengatakan untuk menyampaikan (ilmu) walau satu ayat di sini, meskipun tidak paham. Justru untuk jangan bicara tentang apa yang tidak dipahami namun apa yang dihafal. Oleh karena itu, Nabi menyampaikan, barangkali orang yang disampaikan kepadanya lebih paham daripada yang menyampaikan.
Baca juga: Pondok Pesantren Ar Roudloh Mengadakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda:
“Allah membaguskan wajah seorang hamba yang telah mendengar perkataanku dan menghafalnya kemudian menyampaikannya, barangkali penghafalnya tidak faqih (tidak paham) dan barangkali orang yang menghafalnya menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Menyampaikan ayat Alquran atau hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam apa adanya, tanpa disertai pemahaman dari dirinya sendiri menurut Bachtiar Nashir lantaran memerlukan orang yang kuat hafalannya dan tidak pernah berbohong serta memiliki sikap ‘adalah (orang yang menjauhi dosa besar, dosa kecil dan hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi kehormatan dirinya) sebagaimana yang menjadi syarat seorang perawi hadits yang tsiqah (dapat dipercaya).
Baca juga: Mengenal as-Sabiqunal Awwalun, Golongan Pertama yang Masuk Islam
Tetapi, itu tidak berarti bahwa seseorang baru boleh berdakwah setelah menguasai semua ilmu Islam atau menjadi seorang ulama besar. Yang terpenting adalah dia menguasai dan memahami betul apa yang hendak disampaikannya agar jangan sampai ia menjadi penyebab sesatnya umat dari ajaran dan agama Allah SWT. "Allahu a'lam!"
*) Penulis : Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
Editor : Zainuddin Qodir