Marsda Halim Perdanakusuma, Pejuang Kelahiran Kabupaten Sampang
Abdul Halim Perdanakusuma dilahirkan di Sampang, Madura, pada tanggal 18 November 1922. Ayahnya bernama Haji Abdulgani Wongsotaruno, Ibunya bernama Raden Ayu Aisah, putri Raden Ngabeki Notosubroto, Wedana, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Abdul Halim Perdanakusuma merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya seorang Patih dari Sampang, Madura, dan penulis. Salah satu karyanya adalah “Batara Rama Sasrabahu”, yang ditulis dalam bahasa Madura. Pendidikan yang pernah diikuti oleh Abdul Halim Perdanakusuma, yaitu HIS di Semarang lulus tahun 1934, MULO di Surabaya lulus pada tahun 1938, dan melanjutkan ke pendidikan Pamong Praja Hindia Belanda (MOSVIA) di kota Magelang.
Baca Juga: Rotasi dan Mutasi 63 Perwira Tinggi TNI, Ini Daftarnya
Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah perang dunia ke II. Pada bulan Mei 1940, Belanda diduduki Jerman, maka Pemerintah Hindia Belanda segera mengeluarkan peraturan wajib militer (Milisi) bagi rakyat Hindia Belanda termasuk di daerah jajahannya untuk menghadapi kemungkinan perang di wilayah Asia termasuk Indonesia.
Saat itu, pemuda Abdul Halim Perdanakusuma yang tengah duduk ditingkat dua sekolah MOSVIA tidak luput dari kewajiban milisi tersebut, sehingga ia tidak dapat menyelesaikan pendidikan pamong praja tersebut dan wajib melaksanakan peraturan Pemerintah Hindia Belanda untuk melaksanakan milisi dan memasuki dunia militer.
Angkatan Laut Hindia Belanda mengirimnya untuk mengikuti pendidikan opsir (calon perwira) Torpedo di Surabaya.
Selama Perang Dunia II dalam menjalankan masa penugasan sebagai militer, Abdul Halim Perdanakusuma tercatat pernah bertugas di Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force dengan pangkat Wing Commander dan mendapat tugas di skadron tempur pesawat Lancaster dan Liberator.
Saat itu keadaan Indonesia semakin gawat. Setelah terjadinya pertempuran di Surabaya antara pasukan Indonesia dengan pasukan sekutu Inggris. Untuk menjaga keselamatan jiwanya, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan untuk mengeluarkan Halim dari tahanan dan kembali kepada keluarganya di kota Sumenep.
Sementara itu Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma bersama dengan Komodore Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh tengah sibuk membangun kekuatan udara.
Ketika R. Soerjadi Soerjadarma mendengar perihal Halim yang telah bebas, maka ia segera memerintahkan untuk menghubungi dan mengajak Halim agar turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia. Tanpa banyak pertimbangan, Halim Perdanakusuma menerima tawaran itu.
Sejak saat itu, Abdul halim Perdanakusuma memulai tugas barunya ikut serta membina serta merintis perkembangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan pangkat Komodor Muda Udara. Sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi Udara.
Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara. Tugas itu meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah. Selain itu juga diserahi tugas sebagai instruktur navigasi di sekolah penerbangan yang didiirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto.
Baca Juga: Pembukaan Workshop Penjurusan Hasil Didik Sekbang PSDP TNI
Dalam pembangunan AURI di Sumatera ini, Halim diangkat sebagai Komandemen tentara Sumatera. Ia bersama Iswahjudi disibukkan dengan misi mengangkut senjata dan amunisi. Mereka berdua harus menembus blokade udara Belanda yang sangat ketat. Penerbangan dilakukan pada malam hari dengan tujuan negara tetangga untuk mengangkut persenjataan yang telah disiapkan. Selama membangun AURI di daerah Sumatera, Halim berhasil menjalin kerjasama dengan tentara dan masyarakat di daerah itu.
Kerjasama tersebut selain membangun lapangan udara juga berhasil menghimpun dana dengan cara mengumpulkan emas dari rakyat yang digunakan untuk membeli pesawat. Salah satu bukti hasil pengumpulan dana tersebut adalah sebuah pesawat Avro Anson denga registrasi VH-PBY.
Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003. Dalam usaha mencari bantuan ke luar negeri inilah, bersama opsir udara I Iswahjudi pergi ke Muangthai (Bangkok) pada bulan Desember 1947 menggunakan Pesawat Avro Anson RI-003 dengan penerbang Iswahyudi, dan seorang penumpang bernama Keegan berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut.
Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat serta melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI dalam mengatur penukaran dan penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan berhasil memasukan barang-barang dari Singapur ke daerah RI menembus blokade udara Belanda.
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah pesawat terjebak dalam cuaca buruk di daerah Perak Malaysia, yang disertai dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan sang pilot sehingga pesawat jatuh di pantai. Malapetaka itu tepatnya terjadi di Labuhan Bilik Besar, antara Tanjung Hantu dan Teluk Senangin di Pantai Lumut.
Baca Juga: PT Sinar Sarana Bening Ucapkan Dirgahayu TNI ke 79
Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2 orang warga China penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 pada tanggal 14 Desember 1947. Berita jatuhnya pesawat RI-003 ini mendapat perhatian luar biasa dan disiarkan oleh surat kabar berbahasa Inggris The Times dan Malay Tribune yang terbit pada tanggal 16 Desember 1947.
Di Indonesia, peristiwa tersebut diumumkan secara resmi oleh Kasau Komodor Soerjadi Soerjadarma di Markas Besar AURI di Jalan Terban Taman No. 1 Yogyakarta. Untuk menghargai dan menghormati jasa-jasa atas pengabdiannya terhadap bangsa dan negara khususnya terhadap Angkatan Udara, nama Halim Perdanakusuma diabadikan mengantikan nama Pangkalan Udara Cililitan berdasarkan Surat Penetapan Kasau nomor Kep/76/48/Pen.2/KS/1952 tanggal 17 Agustus 1952.
Pimpinan TNI AU juga telah menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa menjadi Laksamana Muda Udara Anumerta. Kemudian pada tanggal 15 Februari 1961 pemerintah menganugerahkan tanda jasa Bintang Maha Putera Tingkat IV. Tanggal 9 Agustus 1975, Marsda TNI Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 063/TK/1975.
Penganugerahan tersebut, bertepatan dengan peringatan hari pahlawan 10 November 1975 dan kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. (*)
*) Source : Yusuf Ikrom
Editor : Bambang Harianto