Ada Tempat Jagal Sapi Ilegal di Desa Bangsri, Pemiliknya Menantang agar Dilaporkan ke Polisi
Keberadaan tempat jagal sapi ilegal di Desa Bangsri, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, membuat resah warga. Selain karena diduga tidak punya izin sebagai rumah potong hewan (RPH) dari instansi terkait, tempat jagal tersebut menimbulkan dampak lingkungan.
Dampak terparah ialah limbah yang dihasilkan dari pemotongan atau jagal sapi di Desa Bangsri berupa darah dan kotoran. Darah sapi tersebut cuma disiram air oleh pengelola jagal sapi ke saluran pembuangan, kemudian mengalir ke lingkungan warga tanpa proses instalasi pengolahan air limbah.
Belum lagi limbah kotoran sapi dari jagal sapi di Desa Bangsri yang baunya tercium sampai radius beberapa meter. Kotoran tersebut mengandung bakteri dan kuman yang berpotensi menyebarkan berbagai macam penyakit ke lingkungan warga.
Pemilik jagal sapi di Desa Bangsri berinisial TK mengakui jika usahanya tidak mengantongi izin resmi dari dinas terkait. Dia berdalih pemotongan sapi dilakukan di rumahnya sendiri jadi tidak perlu izin.
Setiap hari, lebih dari 5 ekor sapi dipotong di tempat jagal tidak resmi di Desa Bangsri alias ilegal. Parahnya, sapi yang dipotong diakui oleh pemilik tempat jagal, ada yang terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK). Sapi yang terjangkit penyakit mulut dan kuku itu dibelinya dari luar daerah.
"Kadang ada orang yang beli sapi disini (Desa Bangsri), terus dibawa ke Pujon (Kabupaten Malang)," kata TK yang diujarkan dalam Bahasa Jawa.
Meski usaha jagalnya di Desa Bangsri tidak berizin dan sering memotong sapi yang terkena penyakit mulut dan kuku, dia tidak takut ditangkap Polisi atau Dinas Peternakan. Bahkan, dia menantang supaya dilaporkan ke Polisi.
"Kalau mau melaporkan ke Kepolisian, monggo, silahkan. Laporkan kami tidak apa-apa," ujarnya menantang saat diberi pemahaman tentang legalitas usaha tempat pemotongan hewan.
Gilang, seorang yang menggeluti usaha pemotongan hewan menyampaikan, Pemerintah telah memperketat pemotongan hewan untuk menanggulangi penyebaran penyakit mulut dan kuku pada sapi. Setiap masyarakat yang hendak memotong sapi, kerbau, kambing, atau sejenisnya, maka harus dilakukan di rumah potong hewan (RPH) resmi.
“Pemotongan hewan dilakukan di RPH karena selama pemotongan ternak diawasi oleh dokter hewan, baik pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih alias antemortem, maupun postmortem atau pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih,” terang Gilang saat ditemui di lokasi peternakan sapi Lodoyo, pada Rabu (22/01/2025).
Gilang menambahkan usaha pemotongan hewan ilegal merupakan tindak pidana tentang kesehatan masyarakat veteriner (usaha rumah pemotongan hewan) tanpa izin.
”Pemotongan hewan di luar RPH merupakan tindak pidana berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/310/7/1992 tentang Syarat dan Tata Cara Pemotongan Hewan Potong dan Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,” tuturnya.
Gilang menjelaskan, syarat pemotongan hewan potong harus memiliki surat pemilikan, memiliki surat izin potong, membayar retribusi atau pajak potong, dan memenuhi pemeriksaan ante-mortem oleh petugas.
”Kami mendesak Aparat Penegak Hukum segera menindak tegas siapapun yang melakukan pemotongan hewan di luar RPH,” harap Gilang. (*)
Editor : Bambang Harianto