Misteri Candi Borobudur: Mengungkap Fakta dari Prasasti yang Terlupakan

Candi Borobudur, salah satu mahakarya terbesar Nusantara, masih menyimpan banyak misteri tentang kapan dan oleh siapa ia dibangun. Sejumlah prasasti sering dijadikan dasar sejarahnya, seperti Prasasti Kayumwungan, Tri Tepusan, dan Shivagrha, tetapi apakah benar prasasti-prasasti ini mencatat pembangunan candi Borobudur? Ataukah mereka hanya berbicara tentang perawatannya?
Prasasti Kayumwungan: Bukti Pendirian atau Deklarasi Perawatan?
Ditemukan pada masa Kerajaan Mataram Kuno, Prasasti Kayumwungan bertanggal 10 Krenapaksa bulan Jyestha tahun 746 Saka (824 Masehi). Prasasti ini mencatat bahwa Rakai Patapan Pu Palar meresmikan tanah sawah di Desa Kayumwungan menjadi tanah Sima yaitu daerah bebas pajak. Namun, yang menarik adalah penggunaan istilah Jinalaya (tata cara merawat bangunan suci) dan Wenuwana (hutan bambu), yang menunjukkan lokasi bangunan suci itu sudah ada sebelum prasasti ini dibuat.
Jika prasasti ini berbicara tentang perawatan, maka logis jika bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuno, bahasa masyarakat setempat yang bertugas merawat situs tersebut. Artinya, prasasti ini lebih merupakan deklarasi perawatan Kamulan Bumishambara (nama yang diyakini sebagai sebutan asli candi Borobudur), bukan prasasti pembangunan.
Peran Raja Indra dan Simbolisme Matahari
Nama Raja Indra sering dikaitkan dengan candi Borobudur. Namun, dalam konteks spiritual Nusantara, Indra bukan sekadar nama seorang raja, melainkan penghormatan bagi raja yang wafat dan abunya ditempatkan di bangunan suci. Indra juga bermakna cahaya, yang melambangkan seseorang yang telah mencapai tingkat spiritual tinggi, sebuah filosofi yang erat kaitannya dengan konsep Matahari atau Ra dalam kepercayaan asli Nusantara.
Simbolisme ini memperkuat gagasan bahwa candi Borobudur bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga makam suci bagi para pemimpin besar di zamannya.
Prasasti Tri Tepusan dan Shivagrha: Mengukuhkan Perawatan, Bukan Pembangunan
Pada tahun 842 Masehi, Prasasti Tri Tepusan menyebut sosok Sri Kahulunan yang menetapkan beberapa desa untuk merawat tempat suci. Sementara itu, Prasasti Shivagrha (bertanggal 778 Saka atau 856 Masehi) yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala menyebutkan pembangunan kelompok bangunan agung yang dipersembahkan kepada Dewa Siwa.
Namun, yang dimaksud dalam prasasti ini bukan candi Borobudur, melainkan kompleks Prambanan, yang memiliki nama asli Pharanata atau Pranata yang bermakna “menata ulang”. Artinya, Prambanan bukanlah bangunan baru, melainkan hasil restorasi dari situs yang sudah lebih tua.
Candi Borobudur: Warisan Nusantara, Bukan India
Ketika filsuf India, Rabindranath Tagore, mengunjungi candi Borobudur bersama Presiden Soekarno, ia berkata, “Ini bukan India.” Pernyataan ini menegaskan bahwa candi Borobudur bukanlah hasil pengaruh budaya India sepenuhnya, melainkan representasi kepercayaan dan falsafah asli Nusantara yang telah berkembang jauh sebelum agama-agama dari luar masuk.
Sejarawan Boechari juga menyimpulkan bahwa prasasti-prasasti yang sering dijadikan dasar sejarah candi Borobudur sebenarnya tidak mendukung klaim bahwa candi ini dibangun pada abad ke-8. Jika melihat lebih jauh ke dalam sejarah Nusantara, ada dugaan bahwa pembangunan candi Borobudur bisa jadi telah dimulai jauh sebelum masa Syailendra, bahkan mungkin sejak 7.100 tahun yang lalu.
Ajaran Leluhur dalam Batu dan Kitab Kuno
Sebuah kitab kuno bernama Wihotasi mencatat bahwa sebuah kompleks bangunan megah, hampir seribu jumlahnya, telah selesai dibangun sekitar tahun 5.132 Sebelun Masehi. Kompleks itu berada di kawasan yang kini menjadi jalur antara Yogyakarta dan Solo, dan dikenal dengan nama Pranata.
Apakah mungkin candi Borobudur dan situs-situs suci lainnya adalah warisan peradaban yang jauh lebih tua daripada yang selama ini kita yakini?
Seperti yang tertulis dalam QS Yusuf:111:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir. Ini bukan sekadar cerita buatan, melainkan kebenaran yang menegaskan apa yang telah terjadi sebelumnya dan sebagai petunjuk bagi mereka yang beriman.”
Sejarah candi Borobudur bukan sekadar tentang batu dan prasasti, tetapi juga warisan pengetahuan leluhur yang menunggu untuk dipahami dengan lebih mendalam. (*)
Editor : Zainuddin Qodir