Sejarah Banjir Bekasi 1924-2002

Reporter : -
Sejarah Banjir Bekasi 1924-2002
Banjir Bekasi

PENDAHULUAN

‘Ya Tuhan, Kapan Hujan ini Berakhir?’, kutipan tersebut diambil dari koran Media Indonesia pada tahun 2002 ketika mewawancarai seorang ibu yang tengah menggendong bayinya ketika banjir hebat melanda rumahnya di Perumnas 1, Kecamatan Kranji, Kota Bekasi. Begitulah kira-kira gambaran ketika Bekasi dilanda banjir.

Baca Juga: Banjir di Bekasi Terjadi Sejak Zaman Kerajaan

Bencana banjir dan Bekasi sudah memiliki sejarah panjang yang mulai tercatat sejak masa Raja Purnawarman yang berkuasa di Tarumanegara pada abad ke-5 Masehi. Hal ini terbukti dari isi Prasasti Tugu yang membahas tentang penggalian Sungai Gomati dan Candrabhaga yang dilakukan oleh Raja Purnawarman untuk menyelesaikan masalah banjir yang sering dialami di wilayahnya (Wibowo & Rosalina, 2019).

Dalam perkembangannya banjir di Bekasi masih terus terjadi meskipun berulang kali terjadi pergantian kekuasaan hingga masa kini. Berbagai upaya penanganan banjir yang kian gencar dilakukan pada masa pemerintah kolonial hingga masa reformasi dirasa tidak cukup untuk mengatasi permasalahan banjir secara permanen (Kompas, 2020).

Bekasi yang berbatasan langsung dan sempat menjadi bagian dari Kota Jakarta memiliki beberapa kesamaan dalam bentuk geografis dengan Kota Jakarta Timur. Kondisi geografis di beberapa wilayah di Bekasi, seperti Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Rawalumbu, Kecamatan Bekasi Selatan, Kecamatan Bekasi Barat, dan Kecamatan Pondok Melati (Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, 2021). Wilayah-wilayah ini memiliki ketinggian dan kemiringan yang rendah sehingga sering kali terjadi genangan-genangan saat musim penghujan tiba.

Pada masa kolonial Belanda wilayah Bekasi semakin berkembang dengan diperkenalkannya berbagai teknologi baru yang dapat menunjang kehidupan masyarakat, seperti kereta api, stasiun dan jalan raya. Berbagai pembangunan ini sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat yang awalnya berjalan berdampingan dengan alam menjadi pemanfaatan yang merusak kelestarian alam. Hal ini dapat dilihat ketika pemerintah Belanda mulai mengenalkan kereta dan jalan raya guna memudahkan pengiriman melalui Bekasi. Dampak dari pembangunan ini membuat masyarakat yang awalnya memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi dan sumber kehidupan berubah ketika rel dan jalan raya dibangun melintasi sungai-sungai yang ada di Bekasi.

Masyarakat mulai mengikuti pola tempat tinggal di pinggir jalan raya maupun rel dan tidak memperhatikan kelestarian sungai lagi. Dampaknya membuat sungai yang tidak dijaga kelestariannya menjadi semakin sering meluap dan membanjiri pemukiman warga (Ramadiansyah, 2022). Dengan semakin seringnya intensitas banjir terjadi membuat pemerintah Kolonial harus memutar otak dan mencari cara untuk menanggulangi bencana banjir ini agar tidak semakin menyebabkan kerugian di masa yang akan datang.

Sudah banyak pembahasan mengenai banjir dan upaya penangannya dari berbagai daerah seperti Jakarta, Madura dan Surabaya. Pembahasan banjir biasanya berfokus pada bagaimana kondisi lingkungan di setiap wilayah banjir, bagaimana peristiwa banjir terjadi dan bagaimana tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan banjir.

Pembahasan mengenai banjir di Jakarta ditulis oleh Thanti Octavianti dan Katrina J. Charles yang membahas bagaimana dinamika kebijakan pemerintah Batavia dalam melakukan penanganan banjir dari masa awal pendudukan hingga masa Jakarta kontemporer. Ada juga karya dari Sarkawi B. Husain yang membahas penanganan banjir dengan membangun bendungan1 dan revitalisasi sungai di Surabaya.

Kemudian ada juga pembahasan mengenai dampak dan penanganan pasca bencana banjir di Sampang yang ditulis oleh Ronal Ridhoi (Husain, 2016; Octavianti & Charles, 2019; Ridhoi et al., 2021). Dapat dilihat jika pembahasan banjir dari sudut pandang sejarah lebih berfokus di ibu kota provinsi.

Pembahasan banjir yang dilakukan di Bekasi selama ini kebanyakan dilakukan oleh bidang Ilmu Teknik dengan fokus pembahasan mengenai berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi banjir yang kerap kali terjadi di Bekasi. Peneliti yang membahas mengenai penanganan banjir di Bekasi adalah Kadri Trihono. yang membahas mengenai bagaimana pengelolaan DAS untuk menanggulangi banjir di Kota Bekasi (Kadri, 2008).

Selain dari bidang teknik, ada juga pembahasan mengenai banjir di Bekasi yang dilakukan oleh Ferdiansyah, dkk dari bidang studi Ilmu Pemerintahan. Tulisan tersebut membahas bagaimana peran dari BPBD Kota Bekasi dalam menjalankan perannya dalam mengatasi masalah banjir. Peran yang dijelaskan disini dimulai dari prabencana, saat bencana dan pasca bencana (Ferdiansyah et al., 2020).

Pembahasan mengenai masalah banjir selama ini hanya berfokus di Jakarta saja dan masih belum terlalu dibahas di wilayah lain seperti di Bekasi. Hal ini membuat penulisan dengan tema banjir dari perspektif sejarah lingkungan di wilayah Bekasi yang selama ini belum pernah dilakukan diperlukan, karena dapat menjadi pelengkap untuk mengetahui sejarah Bekasi.

Pengambilan temporal antara tahun 1924 hingga tahun 2002 dilakukan karena pada tahun 1924 merupakan awal dimana ditemukan data mengenai peristiwa banjir besar yang terjadi di Bekasi. Sedangkan pemilihan tahun 2002 dilakukan karena tahun tersebut merupakan tahun terjadinya banjir besar pertama setelah berbagai mega proyek yang dilakukan pemerintah untuk menangani banjir di Bekasi.

Pada artikel ini akan dibagi menjadi tiga permasalahan utama. Pertama, bagaimana peristiwa banjir terjadi di Bekasi pada masa Kolonial Belanda. Kedua, bagaimana banjir terjadi pada masa pasca Kolonial. Ketiga, bagaimana mitigasi pemerintah masa Kolonial hingga pemerintah masa Reformasi dalam menanggulangi bencana banjir.

METODE

Dalam proses pembuatan artikel ini, peneliti menggunakan metode penelitian sejarah. Dalam metode ini terdapat empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi (Kuntowijoyo, 2013). Penulisan artikel ini dimulai dengan pencarian data yang dirasa akan relevan dalam pembuatan artikel, baik itu berupa buku, artikel, surat kabar fisik dan online, maupun arsip.

Untuk surat kabar peneliti menggunakan berbagai surat kabar terbitan Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, De Indische Courant dan De Koerier. Sedangkan untuk arsip digunakan Bevloeiingswerken in De Afdeelingen Bantam, Batavia en Buitenzorg No. 2235/IOE/3 dan den brief van het Hoofd der bevl werken in de afdeeling Bantam, Batavia en Buitenzorg No. EQ 10/1/2.

Pada pencarian sumber-sumber fisik dilakukan di Arsip Nasional Indonesia, Perpustakaan Nasional Salemba dan Perpustakaan Nasional Merdeka Selatan. Untuk pencarian sumber online dilakukan melalui berbagai situs seperti, delpher.nl, kitlv.nl, kompas.id dan berbagai situs jurnal di google scholar.

Langkah selanjutnya adalah melakukan kritik terhadap sumber yang telah diperoleh, dalam melakukan kritik eksternal terhadap sumber berupa koran peneliti melakukannya dengan melihat seperti apa warna kertas pada koran serta melihat bentuk ketikannya apakah menggunakan mesin ketik lama atau tidak. Untuk kritik internal peneliti membandingkan isi sumber koran dengan koran sejaman yang berisi pembahasan yang sama. Sedangkan untuk kritik terhadap sumber lain, seperti buku, artikel, maupun skripsi peneliti membandingkan isi pembahasan yang ada di dalamnya dengan karya tulis lain yang memiliki tema sama.

Tulisan ini dianalisis menggunakan perspektif sejarah lingkungan material, yang mana peristiwa banjir ini memiliki hubungan saling mempengaruhi antara manusia dengan lingkungannya (McNeill, 2003). Saling pengaruh tersebut yang kemudian berdampak pada perubahan fisik atau material, perubahan ini dapat dilihat ketika kemajuan masyarakat Bekasi berdampak terhadap rusaknya lingkungan yang berakibat pada munculnya bencana banjir. Kemudian untuk mengatasi bencana tersebut berkembanglah berbagai cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Banjir Masa Kolonial

Banjir merupakan suatu keadaan dimana wilayah yang biasanya kering mengalami genangan yang berada diluar batas wajar. Banjir ini disebabkan karena volume air yang melewati suatu aliran sungai atau saluran pembuangan melebihi batas maksimal yang mampu ditampung oleh aliran tersebut (Rosyidie, 2013). Kondisi air yang meluap ini dapat menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat terutama jika letak di dekat pemukiman atau lahan pertanian penduduk. Saat terjadi banjir bisa dipastikan masyarakat yang berada disekitar wilayah terdampak banjir akan mengalami berbagai kerugian, seperti kerusakan bangunan, hilangnya berbagai barang berharga, terganggunya aktivitas masyarakat, hingga kehilangan nyawa (Findayani, 2015).

Terjadinya bencana banjir akan meningkat tajam ketika memasuki musim penghujan. Indonesia yang termasuk dalam negara tropis akan mengalami musim penghujan ketika angin muson barat2 mulai berhembus yang biasanya terjadi pada bulan Oktober dan akan mencapai puncaknya di sekitar bulan Januari hingga April setiap tahunnya (Rahayu et al., 2018). Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang yang membahas mengenai bencana banjir seperti yang dilakukan oleh Giarno et al (2012) dan Harsoyo (2013a) yang menyatakan jika bencana banjir lebih sering terjadi pada puncak musim penghujan pada bulan Januari hingga April.

Bencana banjir Bekas pada Masa KolonialBencana banjir Bekas pada Masa Kolonial

Banjir di Bekasi terjadi hampir setiap tahunya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda banjir besar yang tercatat dimulai pada tahun 1924, pada tahun itu banjir terjadi pada bulan Maret ketika musim penghujan sedang berada di puncaknya. Hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi menyebabkan jebolnya tanggul di sekitaran stasiun Bekasi hingga ke arah Tambun. Dampaknya jalur kereta yang menuju Semarang dan Bandung menjadi terputus karena rel kereta terendam genangan air, akhirnya perjalanan kereta-kereta harus dialihkan melalui Bogor (Buitenzorg). Rel ini dibangun dengan meninggikan tanah yang memotong area persawahan yang berkontur datar dan rendah.

Sisi selatan dari rel tersebut adalah saluran pengairan, sedangkan sisi utaranya merupakan dataran rendah yang terus berlanjut hingga ke laut. Sebelum peristiwa banjir ini terjadi volume air di tanggul3 meningkat melebihi batas normal dan harus dialirkan ke sisi utara rel melalui lorong.

Ketika banjir mengguyur wilayah itu tanggul tidak mampu mengalirkan debit air yang besar dan mengakibatkan robohnya tembok tanggul sepanjang 30 m. Terjangan air dari tembok tanggul yang roboh menggerus tanah penopang rel sehingga membuat rel tampak tergantung. Robohnya tembok tanggul ini diperkirakan karena dampak dari gempa yang terjadi pada malam sebelumnya dan ditambah dengan volume air yang sudah melebihi kapasitas (De Indische Courant, 1924).

Selain memutus jalur kereta api dampak lain dari banjir ini juga memutus jalur komunikasi telegraf dari Bekasi ke berbagai tempat lainnya. Dampak dari putusnya komunikasi ini membuat para penumpang kereta yang terjebak banjir menjadi kebingungan tentang kondisi yang mereka alami. Banjir ini juga menghanyutkan beberapa rumah dan merendam lahan persawahan yang sudah ditanami padi yang baru berumur sebulan. Asisten Residen Master Cornelis didampingi oleh inspekturnya langsung mendatangi lokasi setalah mendengar berita mengenai jebolnya tanggul.

Perintah pertama yang diberikan adalah untuk mengevakuasi para penumpang kereta yang terjebak karena jalurnya terputus menggunakan mobil-mobil. Kondisi jalan di sekitar wilayah Tambun sudah surut namun mobil yang melintas harus berjalan perlahan karena banyaknya bagian jalan yang tertutup puing-puing akibat banjir (Deli Courant, 1924).

Dua tahun berselang pada bulan Januari 1926, banjir kembali datang ke Bekasi akibat meluapnya Sungai Cigombong yang terletak di Bogor. Banjir ini memutuskan akses jalan dari arah Karawang sehingga kendaraan dari arah Bekasi tidak dapat melanjutkan perjalanan dan harus berputar arah di sekitar daerah Lemah Abang. Di lokasi lain seperti di Tambun banjir menggenang hingga ketinggian 75 cm sehingga menghambat aktivitas masyarakat dan membuat lubang di sepanjang jalan.

Banjir ini juga menyebabkan terendamnya sekitar 100 rumah dan 10 sawah warga, warga yang menderita kerugian akibat banjir akan mendapat ganti rugi dari pemerintah. Banjir ini tidak berlangsung lama dan langsung surut pada keesokan harinya sehingga akses jalan yang sebelumnya terputus sudah dapat dilalui kembali seperti normal. Banjir yang kerap kali terjadi di wilayah Tambun dan Lemah Abang ini diperparah oleh rendahnya lokasi jalan, sehingga untuk mengatasinya pemerintah Meester Cornelis berencana untuk meninggikan jalan dari arah Bekasi hingga Karawang yang panjangnya belasan kilometer (Bataviaasch Nieuwsblad, 1926; Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 1926).

Pada tahun 1932 wilayah Cikarang, Tambun dan Lemah Abang yang merupakan jalur penghubung utama antara Bekasi dengan Karawang kembali merasakan banjir yang datang karena intensitas hujan yang tinggi terus terjadi sejak 31 Desember 1931. Hujan ditambah dengan kondisi jalan yang rendah membuat banjir yang merendam jalan hingga ketinggian 70 cm dan memaksa masyarakat untuk beraktifitas menggunakan perahu-perahu kecil.

Curah hujan yang tinggi membuat volume air melebihi kapasitas yang mampu ditampung oleh Sungai Sunter dan Sungai Citarum, akibatnya air meluap di sepanjang kedua aliran sungai yang mengalir sejauh puluhan kilometer. Perbedaan banjir kali ini dibandingkan dengan banjir yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu banjir kali ini terjadi secara bertahap dan tidak mendadak.

Walaupun terjadi secara bertahap banjir ini juga menyebabkan kerugian bagi masyarakat karena rumah dan lahan persawahan yang sudah mereka tanami menjadi terendam genangan air. Walaupun banjir di daerah Tambun, Lemah Abang dan Cikarang sudah sering terjadi namun cukup sulit untuk melakukan penanganan terhadap bencana ini.

Kesulitan yang paling tampak disebabkan karena tanggul sawah yang digunakan untuk mengairi persawahan dan mengendalikan aliran air banyak dimiliki oleh tuan tanah. Kondisi ini membuat pemerintah kesulitan untuk melakukan pemeliharaan terhadap tanggul-tanggul yang ada di sepanjang aliran sungai, karena kekuasaan untuk merawat tanggul ada di tangan para tuan tanah dan dalam pelaksanaannya para tuan tanah tidak menjalankannya dengan baik (Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indie, 1932).

Banjir kembali mendatangi Bekasi pada 17 Maret 1933 yang saat itu sedang berada pada puncak musim penghujan. Hujan saat itu sangat deras hingga dikatakan memecahkan rekor hujan tahun-tahun sebelumnya. Hujan tersebut memaksa aliran Sungai Citarum meluap di dua lokasi, yaitu Bekasi dan Bogor. Luapan air tersebut akhirnya menjebol pintu air Cibitung yang ketika itu baru dibangun (De Koerier, 1933).

Baca Juga: Hoaks : Video Banjir Setinggi 4 Meter Menenggelamkan Kawasan Elit di Kota Bekasi

Kondisi jalan penghubung antara Bekasi dan Karawang pasca banjir. (Sumber: Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 1933)Kondisi jalan penghubung antara Bekasi dan Karawang pasca banjir. (Sumber: Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 1933)

Dampak luapan ini membuat daerah Tambun, Lemah Abang dan Cikarang mengalami banjir parah dan ribuan warga harus diungsikan ke beberapa tempat seperti pabrik pembuatan batu bata dan barak polisi di daerah Cikarang. Banjir ini juga memutus akses jalan darat baik itu kereta maupun jalan raya, di beberapa ruas jalan ketinggian air bahkan mencapai satu meter. Kereta api mengalami kerusakan parah, relnya tersapu di tiga titik, dan antara Cikarang dan Lemah Abang, antara Tambun dan Cikarang dan antara Gedong Gedeh dan Karawang.

Korban pertama dari banjir yang menerjang pada hari itu adalah sebuah kereta barang yang tergelincir dan menewaskan kondekturnya. Kereta ini berangkat dari stasiun Meester-Cornelis (kini stasiun Jatinegara) pada pukul 3 tadi malam, ke Cikampek. Ketika melewati Cikarang, kereta memasuki air yang mana relnya telah tersapu air banjir sejauh 700 meter, airnya setinggi satu hingga satu setengah meter. Dampak dari bencana ini adalah satu kondektur tewas, satu lagi terluka parah, sementara yang ketiga hilang. Setelah berita banjir yang menggenangi jalur kereta ke arah Cikarang tersebar, banyak dari para penumpang kereta yang membatalkan perjalanannya (Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indie, 1933).

Selain memutus jalur transportasi, banjir ini juga memutus jalur komunikasi yang melalui Bekasi. Jalan raya yang digunakan untuk pengiriman pos dari Batavia ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi terhambat dan semua surat harus kembali ke Batavia untuk dikirimkan ulang melalui Bogor. Selain itu ada laporan yang mengatakan jika dari 9 sambungan telefon yang ada di Bekasi, 3 diantaranya sudah terputus sedangkan untuk telegraf sudah mati total dan harus dialihkan melalui Bogor.

Berbagai jalur penghubung ke Karawang juga lumpuh total karena terendam banjir, membuat Karawang tidak dapat diakses melalui Bekasi. Contohnya jalur yang berada tepat sebelum penggilingan padi Gouw Seng Kee, di Tambun yang tergenang air dengan arus yang deras membuat jalur ini mustahil untuk dilalui. Dampak banjir yang tidak main-main ini membuat perbaikan jalan sehingga dapat digunakan lagi diperkirakan membutuhkan waktu sekitar tiga minggu (De Indische Courant, 1933).

Seperti tidak dilakukan pencegahan banjir oleh pemerintah, banjir kembali menerjang Bekasi pada 1934 yang disebabkan karena jebolnya tanggul Sungai Citarum. Air yang meluap di sepanjang aliran sungai membuat jalan yang berada diantara Lemah Abang dan Cikarang terendam air setinggi 75 cm. Akibat tertutupnya ruas jalan yang menghubungkan Bekasi dengan Karangwang membuat Seksi Pengairan Dinas Tata Air Provinsi Batavia mengumumkan jika semua kendaraan harus berputar arah.

Banjir kali ini datang secara tiba-tiba membuat masyarakat sekitar dan pengguna jalan tidak sempat mempersiapkan diri, akibatnya banyak barang-barang dirumah mereka yang terendam dan untuk para pengendara mereka harus terpaksa terjebak banjir akibat jalan yang tiba- tiba tertutup air (Bataviaasch Nieuwsblad, 1934).

Dapat dilihat jika peristiwa banjir yang terjadi di Bekasi pada Masa Kolonial memiliki siklus setiap satu sampai dua tahun sekali. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, banjir dimulai pada tahun 1924 dan terjadi lagi tahun 1926. Setelah itu pemerintah kolonial melakukan upaya penanggulangan banjir dan berdampak dengan hilangnya banjir hingga tahun 1932, kemudian terus terjadi hingga tahun 1934. Kembalinya banjir ini disebabkan oleh ketidakmampuan saluran irigasi menampung luapan air ketika terjadi hujan deras.

Banjir Pasca Kolonial

Pada bulan Januari 1961 Bekasi mengalami banjir besar pertama pasca Kemerdekaan. Banjir terjadi karena hujan deras yang memicu luapan air yang menjebol Tanggul Cibeet. Respon pertama diberikan oleh Pangdam V Jakarta Kol. Umar Wirahadikusuma yang langsung memerintahkan bawahannya untuk segera dilakukan pengiriman air bersih, kendaraan pengangkut, alat telekomunikasi dan segera didirikan dapur umum.

Daerah yang mengalami dampak paling parah adalah wilayah Lemahabang dan Cikarang, dimana 390 hektar sawah dan diperkirakan seribu rumah terendam serta ribuan orang memerlukan pertolongan. Di Kedua daerah tersebut ketinggian air mencapai 70 cm, sehingga diperlukan perahu karet untuk melakukan evakuasi para korban yang terisolir. Para korban yang telah dievakuasi selanjutnya akan dipindahkan ke Stasiun Kedunggedeh yang digunakan sebagai lokasi pengungsian (Bintang Timur, 1961a; De Volkskrant, 1961).

Selain menyebabkan kerusakan pada lahan persawahan dan rumah warga, banjir kali ini juga merusak jalur kereta yang menghubungkan Jakarta dengan beberapa daerah di Jawa Barat. Dalam mengatasi masalah ini pihak DKA (Djawatan Kereta Api) bergerak cepat untuk memperbaiki kerusakan pada rel.

Pada 26 Januari masyarakat yang mengungsi dipindahkan dari Stasiun Kedunggedeh ke desa-desa sekitar yang sudah tidak terdampak banjir seperti Desa Tambakhera dan Batujaya. Untuk meringankan beban korban banjir banyak bantuan yang disalurkan dari berbagai instansi seperti, Perkuper Bekasi memberikan bantuan berupa Rp 10.000 dan 40 bal beras, Departemen Sosial memberikan Rp 100.000, DP Persatuan Pencak Silat Jakarta Raya Rp 10.000 dan zeni angkatan darat menyumbang 6 perahu pengangkut air minum. Pemerintah Bekasi juga telah mengirimkan 5 ton beras, 1 ton gula pasir, ikan asin dan obat-obatan untuk malaria dan disentri. Tindakan selanjutnya yang direncanakan pemerintah adalah perbaikan gili-gili yang diperkirakan memakan waktu 1 (Bintang Timur, 1961b).

Setelah 16 tahun Bekasi terbebas dari banjir, pada bulan Januari 1977 banjir kembali datang ke Bekasi. Banjir ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan berakibat pada jebolnya tanggul Rawa Cibitung dan membuat siaga tanggul Sungai Cikarang yang terletak di Desa Karanganyar dan Desa Sukaraya. Banjir kala itu terjadi selama 4 hari dan memutus akses jalan antara Lemah Abang dan Bekasi.

Di Kecamatan Cibitung terdapat 6 desa yang terdampak banjir, dengan total 608 hektar lahan tanaman padi terendam banjir, 26 rumah tenggelam dan satu orang dinyatakan meninggal dunia. Di Kecamatan Tarumajaya banjir merendam 2811 ha lahan persawahan dengan ketinggian air antara 70 cm sampai 85 cm, banjir juga merendam 3.328 buah rumah dengan ketinggian air rata-rata 60 cm. Di Kecamatan Cikarang banjir mengakibatkan 1.578 ha lahan persawahan terendam banjir dan 1.454 buah rumah terendam air dengan ketinggian rata-rata 50 cm sampai 70 cm (Kompas, 1977a).

Hanya berselang satu bulan banjir kembali mendatangi Bekasi, tepatnya pada 24 Februari 1977. Akibat dari hujan deras membuat air di sungai Citarum meluap dan mengakibatkan tanggul di Desa Sumbersari, Kecamatan Pebayuran bobol sepanjang 50 meter. Di lokasi lain, yaitu di Kecamatan Sukatani, hujan deras membuat Tanggul Kali Cikarang jebol sepanjang 10 meter (Kompas, 1977b).

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Bekasi mengakibatkan kebutuhan lahan untuk perumahan juga semakin bertambah. Pada tahun 1996 saja terdapat sekitar 400 lokasi perumahan yang sebagian besar tersebar di Kecamatan Pondokgede, Jatiasih, Bantar Gebang, Tambun, Cikarang dan Cibitung (Suara Pembaruan, 1996).

Peningkatan kebutuhan lahan ini membuat wilayah Bekasi yang sebelumnya memiliki banyak daerah penampungan air berupa situ4 menjadi berkurang drastis dikarenakan terjadi pengurukan. Bekasi yang pada awalnya memiliki 12 situ dengan luas 157, 30 Ha, pada tahun 1996 hanya menyisakan 5 situ dengan luas 10 Ha (Media Indonesia, 1996).

Banyaknya alih fungsi lahan yang digunakan untuk perumahan membuat Bekasi kembali menjadi daerah rawan banjir. Pada 2002 daerah ini kembali diterjang banjir yang dikatakan oleh media sebagai yang terparah. Banjir kali ini disebabkan karena anomali cuaca yang saat itu melanda wilayah Indonesia sehingga terjadi hujan yang tidak berhenti selama seminggu terakhir, ditambah dengan saluran irigasi yang tersumbat membuat air menggenang di berbagai lokasi di Kota dan Kabupaten Bekasi. Misalnya di Kelurahan Rawa Lumbu, banjir mencapai ketinggian 1 m sehingga menyebabkan SD Rawa Lumbu terpaksa diliburkan.

Di Kecamatan Medan Satria ketinggian air mencapai 1,5 m dan memaksa 300 kepala keluarga mengungsi. Selain itu, kondisi yang tidak jauh berbeda juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Bantar Gebang. Di Bekasi Barat, tepatnya di daerah Kranji, ketinggian air mencapai 1 m dan membuat warga kerepotan menyelamatkan barang-barang mereka, ditambah dengan lambatnya respon pemerintah membuat kondisi masyarakat semakin sulit karena belum adanya bantuan.

Di perkampungan Kayuringin, Bekasi Selatan, ketinggian air mencapai 1,5 m dan menyebabkan ratusan rumah terendam. Namun, kondisi warga Kayuringin lebih baik karena telah mendapat bantuan dari pemerintah berupa ban, tambang dan mesin penyedot air (Koran Tempo, 2002; Media Indonesia, 2002; Republika, 2002).

Pasca masa Kolonial, siklus banjir di Bekasi menjadi jauh lebih lebar. Hanya terjadi tiga kali peristiwa banjir dengan rentang waktu 15 dan 25 tahun. Rentang waktu yang jauh lebih luas jika dibandingkan dengan masa Kolonial menunjukan seberapa efektifnya usaha mitigasi banjir yang dilakukan oleh pemerintah. Usaha Pemerintah dengan membangun bendungan dan saluran irigasi CBL memberikan dampak positif dalam menangani permasalahan banjir di Bekasi. Walaupun banjir kembali mendatangi Bekasi karena terjadinya proses pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.

Mitigasi Banjir di Bekasi

Penanganan banjir pada masa kolonial baru dilakukan secara struktural dan sistematis saat pemerintah membentuk Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW) pada tahun 1918. Tugas BOW adalah untuk memelihara sumber air yang bersifat alami seperti danau dan sungai serta untuk melakukan pemeliharaan dan pengelolaan bangunan penahan air di wilayah Batavia dan sekitarnya.

Penanganan bencana banjir pada masa kolonial lebih ditekankan dalam melakukan pencegahan, sehingga pemerintah selalu meminta BOW untuk melakukan perencanaan dalam menangani banjir. Permasalahan utama dalam upaya pemerintah kolonial ketika berusaha menyelesaikan permasalahan banjir adalah kurangnya dana yang tersedia (Damayanti, 2020). Permasalahan ini dapat dilihat saat pemerintah Bekasi tidak dapat secara sempurna mengatasi banjir yang berulang kali merendam jalan-jalan di daerah Tambun, Lemah Abang dan Cikarang karena kekurangan dana.

Walaupun dapat dikatakan belum sempurna, namun pemerintah kolonial sangat sigap dalam menangani setiap bencana banjir yang kerap kali terjadi di wilayah Bekasi. Ketika terjadi peristiwa banjir pemerintah kolonial segera mengirimkan tim untuk memantau kondisi dan melaporkan kondisi terkini di lokasi terdampak banjir. Kemudian dari laporan tersebut akan dibentuk tim untuk melakukan pembersihan dan perbaikan pada fasilitas umum yang rusak, hal ini dapat dilihat pada peristiwa banjir yang terjadi pada tahun 1924 dimana Asisten Residen Meester Cornelis langsung memantau lokasi ketika mengetahui adanya banjir di wilayahnya (Deli Courant, 1924).

Tidak hanya mengandalkan respon cepat ketika terjadi bencana banjir, pemerintah Kolonial juga melakukan tindakan antisipasi dalam bentuk perbaikan bendungan untuk mencegah datangnya banjir. Setidaknya diketahui jika pemerintah kolonial melakukan dua perbaikan bendungan yaitu, Bendungan kali Cakung dan Bendungan Panggoelan.

Berdasarkan dari Bevloeiingswerken in De Afdeelingen Bantam, Batavia en Buitenzorg No. 2235/IOE/3 perbaikan Bendungan Panggoelan dilakukan oleh pemerintah kolonial sebagai tindak lanjut dari peristiwa banjir yang terjadi pada tahun 1924 yang membuat bendungan ini jebol. Perbaikan bendungan ini baru dimulai pada tahun 1926 setelah pemerintah mendapat laporan dari masyarakat jika Bendungan Panggoelan yang berada di tanah partikelir yang disebut milik Tuan Kan masih belum mendapat perbaikan sejak jebol ketikan peristiwa banjir tahun 1924. Kemudian Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW) mengirimkan perwakilan untuk memeriksa keadaan bendungan dan merencanakan proses perbaikan.

Rancangan dasar Bendungan Panggoelan. Sumber: Bevloeiingswerken in De Afdeelingen Bantam, Batavia en Buitenzorg No. 2235/IOE/3, 1926Rancangan dasar Bendungan Panggoelan. Sumber: Bevloeiingswerken in De Afdeelingen Bantam, Batavia en Buitenzorg No. 2235/IOE/3, 1926

Perbaikan Bendungan Kali Cakung dilakukan karena kondisi kali Cakung yang ketinggian airnya sangat mengkhawatirkan setiap kali musim penghujan tiba. Berdasarkan den brief van het Hoofd der bevl werken in de afdeeling Bantam, Batavia en Buitenzorg No. EQ 10/1/2 tanggal 3 Agustus 1926, ketinggian Bendungan Kali Cakung yang berada di tanah milik Tuan Seon Hok Tan akan ditinggikan sebanyak 85 cm untuk menampung debit air ketika musim penghujan.

Setelah masa Kemerdekaan dan wilayah Bekasi berada dibawah kekuasaan Indonesia, banjir tetap menjadi masalah yang berulang terutama di Jakarta, Bekasi dan Karawang. Karena hal itulah pada 1957 pengerjaan Bendungan Jatiluhur mulai dilakukan, waduk ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pengairan serta pencegahan banjir yang sering meluap dari Sungai Citarum untuk wilayah Jakarta, Bekasi dan Karawang.

Selain proyek dari pemerintah pusat, pemerintah Bekasi juga menjalankan proyek tersendiri untuk mengatasi banjir di wilayahnya. Proyek ini adalah pembangunan bendung kali Bekasi yang memiliki panjang 55 meter dan tinggi 13 meter. Bendungan ini akan mengalirkan air dari kali Bekasi ke arah Jakarta untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta (Algemeen Indisch Dagblad de Preangerbode, 1957).

Setelah adanya Bendungan Jatiluhur, Bekasi dapat dikatakan bisa bernapas lega karena hanya terjadi satu kali peristiwa banjir besar yaitu pada 1961, namun kondisi ini hanya bertahan hingga 1977. Hal ini sejalan dengan perkataan dari Ir. Sukarma Kemben, Direktur Muda Eksploitasi dan Pemeliharaan Perum Otorita Jatiluhur (POJ) yang mengatakan jika banjir di Bekasi sudah sangat berkurang setelah dibangunnya Bendungan Jatiluhur (Kompas, 1977b).

Untuk mengantisipasi banjir yang dapat terjadi kembali, dibangunlah proyek saluran yang kala itu dikatakan paling modern, yaitu proyek Cikarang-Bekasi-Laut (CBL). Saluran ini memiliki lebar antara 120 sampai 200 meter dan membentang dari Kecamatan Cikarang di sebelah timur, Kecamatan Tambun di sebelah barat dan berbelok ke arah Kecamatan Babelan dan berakhir di laut yang berbatasan antara Bekasi dan Jakarta. Saluran berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air dari lima sungai yang ada di Bekasi, yaitu Kali Cikarang, Cisadane, Bantu, Jambe dan Kali Bekasi (Kompas, 1978).

Selain menjalankan proyek-proyek besar untuk mengatasi banjir, pemerintah Bekasi juga berfokus untuk memperbaiki tanggul-tanggul yang ada di wilayahnya. Pada tahun 1978 kebanyakan tanggul di wilayah Bekasi sudah ditingkatkan kapasitasnya menjadi 1200 hingga 1600 meter kubik per detik, hanya tinggal beberapa tanggul di daerah Cikarang, Lemahabang dan kali Bekasi saja yang saat ini kapasitasnya hanya 250 meter kubik per detik (Sinar Harapan, 1978).

KESIMPULAN

Jika dilihat dengan seksama banjir yang melanda Bekasi semakin lama cakupannya semakin meluas. Perluasan daerah banjir ini dipengaruhi oleh alih fungsi lahan yang awalnya merupakan daerah resapan air yang kemudian digunakan sebagai wilayah pemukiman. Ditambah dengan tidak memadainya sistem drainase, menjadikan Bekasi menjadi wilayah yang semakin rawan banjir. Alih fungsi lahan juga membuat siklus banjir pada masa Pasca Kolonial yang terjadi antara 16 sampai 25 tahun sekali menjadi semakin sering terjadi. Setelah tahun 2002 hingga kini hampir setiap tahun daerah Bekasi selalu tergenang banjir ketika musim hujan datang. Hal ini menunjukan jika mitigasi banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Bekasi belum berhasil sepenuhnya untuk menangani banjir di Bekasi. (*)

*) Sumber : Surya Zainul Lutfi (Universitas Negeri Malang)

Editor : Zainuddin Qodir