Mimpi Pegi Setiawan tidak neko-neko. Ia ingin keluarganya bisa makan, adik-adiknya bisa terdidik. Karenanya ia memilih berhenti sekolah lalu bekerja. 10 tahun kemudian, angan sederhana itu terancam musnah. Ia tiba-tiba dijadikan tersangka pelaku pembunuhan berencana di tempat kejadian perkara (TKP) yang tidak ia hadiri.
Mulanya saya menganggap ini semacam novel fiksi. Namun ketika gaungnya terdengar makin keras, saya merasa terpanggil untuk untuk menelusuri kasus ini lebih dekat. Kenyataan kemudian, ini lebih mirip sebuah tragedi yang menyesakkan. Karenanya saya ingin menulis sebuah catatan untuk Pegi Setiawan.
Baca juga: Polda Jabar Ungkap Kasus Peredaran Obat Keras Ilegal
Beberapa waktu lalu saya bersama seorang rekan berangkat dari Jakarta dan tiba di tujuan, Kavling Simaja, Desa Kepongpongan, Kabupaten Cirebon, pukul 15.30 WIB.
Di tengah-tengah kebun kosong itu terdapat sebuah rumah cat hijau yang terkucil. Seorang perempuan bernama Kartini menerima kedatangan saya. Dia adalah ibunda Pegi Setiawan.
Lalu Kartini bercerita.
Pegi merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Umurnya 27 tahun, pekerjaan buruh bangunan. Karirnya dimulai belasan tahun silam dengan kerja serabutan. Sebelum tamat Sekolah Dasar (SD), ayahnya, Saprudin meninggalkan ibunya ke Bandung.
Pegi pun langsung sadar kalau dirinya harus ikut memikul beban keluarga. Untuk itu, ia mengambil jalan paling realistis. Ia mendaftar di SMP Terbuka. Alasannya, ia bisa masuk sekolah hanya saat ujian sehingga ada banyak waktu untuk bekerja.
Suara Kartini, ibunda Pegi Setiawan (klik link Youtube : https://youtube.com/shorts/Z7aTkZttW2U?si=FDH7-2RGuLEWboI2 )
Kartini sendiri sejak tahun 2014 sampai sekarang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di rumah Sugianti Iriani, seorang pengacara. 10 tahun tentu bukan waktu yang singkat, dan itu cukup menggambarkan adanya hubungan baik di antara keduanya.
Terkadang juga majikan Kartini menawarkan obyekan untuk putranya, Pegi, misalnya mengecat rumah. Dari situ Pegi mulai mencari peluang lain, hingga ia diajak oleh ayahnya, Saprudin, untuk ikut mengerjakan proyek di Bandung mulai tahun 2016.
Pemuda yang cinta sepenuh hati pada Persija dan cuma setengah hati pada Manchester United itu beberapa kali ikut proyekan di Bandung pada tahun 2016, antara lain di bulan Juli 2016 sebelum pulang ke Cirebon pada awal Agustus 2016. Pekerjaannya mula-mula menjadi kenek bangunan. Upahnya Rp 80 ribu sehari.
Kemudian ia kembali berangkat ke Bandung pada 12 Agustus 2016. Ia bekerja di daerah Rancamanyar dan tinggal di sebuah mess bedeng bersama tiga buruh lainnya, yaitu Suparman yang notabene pamannya, Suharsono, dan Ibnu.
Sabtu, 27 Agustus, Pegi dan Ibnu mengantar Suharsono ke Terminal Leuwipanjang karena Suharsono ingin pulang ke Cirebon. Setelah mengantar rekannya, kedua pemuda itu mampir membeli makanan lalu kembali ke mess.
Kebetulan saja, malam itu seturunnya di Kabupaten Cirebon, Suharsono mengetahui ada kejadian yang dikatakan kecelakaan tunggal di flyover Talun yang berada di perbatasan Kabupaten dan Kota Cirebon. Belakangan diketahui kecelakaan itu merenggut nyawa muda-mudi bernama Vina dan Eky.
Sekadar pengingat, awalnya kasus itu dinyatakan sebagai peristiwa kecelakaan tunggal. Namun tidak lama sesudah itu statusnya berubah menjadi dugaan pengeroyokan, lalu perkosaan, lalu perkosaan dan pembunuhan berencana.
Polisi kemudian menangkap sejumlah orang terduga pelaku tindak pidana tersebut. Mereka pun mengembangkan penyelidikan dan mengantongi sejumlah nama lain, di antaranya Pegi alias Perong. Berdasarkan informasi tersebut, aparat segera bertindak.
Kartini menceritakan, beberapa hari setelah kasus itu, rumahnya didatangi sejumlah Polisi. Ia menanyakan apa tujuan mereka datang. Lalu aparat langsung menggeledah rumahnya dengan dalih mencari bukti.
Dalam keadaan yang membingungkannya itu, seorang Polisi berkata kalau Pegi punya utang Rp 5 juta. Kemudian, ia juga dengar petugas yang lain mengatakan bahwa anaknya terlibat pembunuhan.
Kartini jelas semakin bingung dengan situasi itu dan ia tidak mampu berbuat apa-apa. Wanita itu lalu ditanya keberadaan anaknya. Ia jawab, anaknya sedang bekerja di Bandung.
Petugas tidak begitu saja percaya dan malah menunjuk sebuah motor Suzuki Smash warna jingga yang terparkir di dalam. Kartini menjelaskan bahwa motor itu adalah milik Pegi tetapi rusak, dan akan diperbaiki saat ia kembali dari Bandung.
Namun aparat berkeyakinan motor itu bisa menjadi barang bukti dan oleh karenanya harus disita. Singkat cerita diangkutlah barang itu. Masalahnya, mesinnya memang benar mogok. Mendorongnya ke kantor pasti capek.
Kebetulan betul, di saat yang sama ada sepeda motor lain, yaitu Yamaha Jupiter yang sehari-hari dikendarai Robi Setiawan, adik Pegi. Maka entah bagaimana Jupiter itu pun dibawa untuk nyetut Smash sampai dengan hari ini. Kedua sepeda motor itu tidak diketahui rimbanya hingga sekarang. Di BAP atau putusan pun tidak dicantumkan.
Kartini memberitahu Pegi perihal penggeledahan itu, lalu anaknya bertanya apa yang mesti dilakukan. Maka Kartini bertanya pada Sugianti, sebab majikannya orang "sekolah" dan paham hukum. Kata Sugianti, kalau tidak ada panggilan tidak usah datang.
Kenyataannya ketika itu di tahun 2016, Polisi tidak melakukan pemanggilan terhadap Pegi Setiawan. Akhirnya Pegi hanya bisa pasrah, dan ia sempat mengeluhkan kejadian itu di linimasa Facebook.
Seringkas cerita, kasus itu diproses, dari penyelidikan sampai persidangan, dengan terdakwa delapan orang. Kemudian ada yang divonis mati, seumur hidup, dan yang paling ringan dipenjara delapan tahun. Nama Pegi alias Perong tercantum di dalam BAP juga putusan.
Ia masuk di dalam DPO atau masih berstatus buron bersama dua nama lainnya yang bernama Andi dan Dani. Patut diingat, pada saat itu terdapat saksi kunci bernama Aep yang menyatakan bahwa ia tidak melihat Pegi di TKP.
Usai vonis kasus Vina (Vina Dewi Arsita)-Eky (Muhamad Rizky) dibacakan, hidup Pegi Setiawan baik-baik saja. Polisi tidak pernah memanggilnya. Banting tulang sih tetap harus. Sering kehabisan duit, ya disabari saja. Namanya juga kuproy (kuli proyek), lebih-lebih harus membiayai keluarga.
Namun, kata Kartini, Pegi tidak pernah mengeluh sedikit pun dan selalu memperlihatkan dirinya baik-baik saja. Anak itu rutin mengirimi uang. Dari jerih keringatnya tersebut juga, dua adik perempuannya, Lusi dan Amel bisa sekolah.
Kemudian, di tengah perbincangan saya melihat dengan jelas dua orang tua ringkih berumur sekira 80-an tahun berada di rumah itu. Rupa-rupanya mereka berdua adalah nenek dan kakek Pegi. Selain itu, katanya di rumah tersebut tinggal bibi Pegi juga.
Belakangan beban yang ditanggung Pegi Setiawan sedikit terangkat. Adik lelakinya, Robi Setiawan ikut kerja di Bandung. Kemudian adik nomor tiga, Lusi lulus SMA dan mendapatkan pekerjaan di kafe. Tinggal Amel yang perlu disekolahkan.
Oleh karena itu, Pegi mulai berani memikirkan soal lain. Ia mulai ngegym serta tentu saja berusaha menggaet perempuan yang mau diajak menyongsong masa depan.
Akan tetapi nasib tiba-tiba berbalik arah. Kasus Vina-Eky kembali diungkit setelah penayangan film yang mengangkat peristiwa tersebut. Publik menuntut Polisi secepatnya menangkap tiga DPO. Nama Pegi alias Perong kembali mengemuka.
Warganet menduga-duga, mengulik apa pun di belantara sosial media, menelusuri jejak segala macam informasi yang ditengarai mengarah pada daftar para buronan, pokoknya harus ketangkap.
Polda Jawa Barat (Jabar) kemudian merilis poster DPO siluet, dengan ciri-ciri yaitu: Laki-laki berumur 30 tahun, bertempat tinggal di Desa Banjarwangun, tinggi 160 cm, badan kecil, rambut keriting, kulit hitam. Tidak seberapa lama, akhirnya aparat menangkap Pegi Setiawan di rumah kontrakannnya di Bandung.
Kartini bercerita, di hari Pegi ditangkap, ia langsung berangkat ke Polda Jabar namun tidak diizinkan bertemu anaknya.
Di hari yang sama, personel Polisi kembali datang dan menggeledah rumahnya di Kepongpongan. Sejumlah barang disita, antara lain ijazah SD dan SMP Pegi serta kardus handphone.
Nenek Pegi yang sedari tadi menguping obrolan dari dalam kamar rupanya tidak tahan diam saja. Ia pun keluar lalu mengatakan, "Pegi enggak mungkin bunuh Vina, Mas. Dia ada di Bandung lagi kerja. Saksinya banyak. Dia enggak bakal begitu."
Wanita itu lebih tegar dari terlihat awalnya, namun saya menduga hatinya sudah kebas ditimpa kenyataan teramat keras. Lalu ia melanjutkan, "Dia anak baik, Mas. Rajin salat jamaah. Sayang banget sama keluarga, sayang sama adik-adiknya. Ngerokok ngopi aja enggak, apalagi mabok."
Sekelumit kisah pegi serta masa lalunya.
Sehari setelah ditangkap, Pegi Setiawan ditetapkan menjadi tersangka. Ia diancam dengan hukuman yang tidak main-main, yaitu hukuman mati.
Baca juga: 28 Anggota Polda Jabar Dipecat dengan Tidak Hormat
Sungguh kerja yang sangat gesit dan membanggakan. Tidak perlu delapan tahun, kan?
Namun dengan bukti apa penyidik menjadikannya tersangka?
Untuk membahas soal itu, saya dan rekan harus bergeser ke rumah Sugianti Iriani, majikan sekaligus kuasa hukum Pegi Setiawan yang berlokasi tidak jauh dari rumah Kartini.
Sugianti luar biasa sibuk akhir-akhir ini, tetapi ia menerima kedatangan kami dengan ramah namun bersemangat.
Dia lalu berkisah. Sebelum ditangkap, Pegi bertanya apa yang harus dilakukannya, dan perlukah mendatangi kantor Polisi untuk memberi keterangan?
Pertanyaan itu wajar, sebab pada tahun 2016, rumahnya di Cirebon pernah digeledah. Selain itu, nama Pegi sedang viral akhir-akhir ini. Sugianti pun mengatakan tidak usah datang ke kantor Polisi kalau tidak ada panggilan. Sebab berkaca dari pengalamannya sebagai pengacara, ia khawatir jika Pegi datang malah dinyatakan menyerahkan diri.
Beberapa waktu setelah Sugianti berkomunikasi dengan Pegi, ternyata Polisi mengamankannya. Kartini segera mengadukan masalah itu kepadanya. Lalu Sugianti langsung mengambil keputusan untuk menjadi kuasa hukum Pegi Setiawan.
Kata Sugianti, sebenarnya dirinya sudah berkomitmen untuk gantung toga atau tidak lagi menangani kasus pidana. Terakhir kali ia mengambil kasus pidana pada tahun 2018. Namun sekarang ia tidak punya pilihan kecuali mengedepankan rasa kemanusiaan dengan mendampingi Pegi.
Terima kasih, Bu Iriani
Maka Sugianti segera pergi ke Bandung. Sayangnya ia tidak diberi kesempatan mendampingi Pegi. Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Dalam 1x24 jam Pegi Setiawan menjadi tersangka.
Sugianti sangat menyayangkan bukti penyidik yang menurutnya amat lemah. Penyidik hanya bersandar pada keterangan saksi yang meragukan. Sedangkan untuk bukti surat, penyidik malah memasukkan ijazah Pegi Setiawan yang sama sekali tidak memiliki hubungan sebab akibat.
Sugianti sangat yakin, Pegi tidak bersalah. Ada sejumlah saksi kunci yang bisa membuktikan tersangka berada di Bandung pada waktu kejadian. Selain itu, Sugianti juga telah mengantongi bukti tertulis, yaitu catatan pembayaran gaji yang masih disimpan Saprudin.
Di luar itu semua, saya pikir kasus ini semakin hari terkesan makin melebar dan berbelit-belit. Maka saya ingin merangkumnya secara substansial, dengan bahasa yang mudah dipahami, disertai fakta-fakta dan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar.
Penyidik memunculkan kembali saksi kunci bernama Aep. Dalam persidangan kasus Vina-Eky season 1, kesaksian Aep–bersama Dede dan Linda–dapat dikatakan menentukan hasil akhir. Delapan nama terpidana yang sudah dijatuhi hukuman bersumber dari ucapan Aep.
Kala itu Aep terkenal dengan pandangan setajam Korosensei. Matanya konon sama sekali tidak dapat tertipu. Ia bersaksi melihat para pelaku dalam kegelapan dari jarak 100 meter dan waktu itu semua orang percaya.
Kini sang tokoh itu muncul lagi. Tidak lama setelah Pegi Setiawan ditangkap, Aep berkicau dengan yakin bahwa dirinya melihat wajah Pegi Setiawan yang itu, bukan yang lain.
Masalahnya, keterangan Aep kali ini berbeda dengan tahun 2016, yang mana ia bersaksi melihat delapan orang yang berada di TKP yang kemudian menjadi terpidana. Artinya, ketika itu dia tidak melihat dan menyebut Pegi. Kenapa sekarang tiba-tiba ia mengaku melihat?
Lain lagi dengan Linda. Dengan atraksi kesurupan, ia pada tahun 2016, menyebut nama Pegi sekaligus mencoba menciptakan "peradilan gaib". Namun menjadi pertanyaan yang amat mendasar, di mana Linda saat peristiwa itu terjadi?
Faktanya Linda tidak berada di tempat kejadian. Kendati begitu, Linda kali ini tetap dimintai keterangan. Ia mengaku tidak kenal dengan Pegi Setiawan.
Ia juga sempat kembali kerasukan musiman delapan tahun sekali tetapi sayangnya tidak lagi mengesankan. Hanya saja, dalam aksinya tersebut, Linda menyebut Melmel sebenarnya bukan sahabat Eky, melainkan salah seorang pelaku pembunuhan.
Baca juga: Kapolda Jabar Melantik Sebanyak 739 Siswa Bintara Polri
Mari berkenalan dengan tokoh baru ini. Siapa Melmel?
Melmel sebelumnya muncul melalui rekaman voice note di sebuah channel Youtube. Dengan dialek entah Sumatera entah Kalimantan, ia mengaku sangat dekat dengan Vina dan Eky, bahkan menganggapnya seperti adik sendiri.
Melmel mengaku menyaksikan secara langsung penyiksaan yang dilakukan para pelaku terhadap kedua korban. Dia mengatakan malam itu sangat ketakutan, namun tetap berani menonton adegan menyeramkan itu alih-alih mencari pertolongan.
Ia mengatakan ada 11 orang yang melakukan penyiksaan malam itu. Yang menarik walau basi, Melmel menyebut bahwa Linda yang sebenarnya memberitahukan Egi (Pegi) bahwa Vina sedang bersama Eky.
Kemunculan Melmel mungkin cukup mengagetkan walau sebenarnya tidak. Mengapa ia muncul? Sebab menurut dugaan saya, dibutuhkan seorang saksi yang tetap menyebutkan pelaku berjumlah 11 orang. Dengan demikian ia mungkin bisa menjadi saksi yang menguntungkan korban.
Hal ini sesuai dengan tiga orang DPO yang terus diburu sejak tahun 2016. Sayangnya ada banyak hal yang bertentangan dalam keterangan Melmel dan fakta di dalam BAP, salah satunya adalah tentang penghapusan dua nama DPO oleh polisi.
Bagaimana mungkin Melmel melihat 11 orang sedangkan para terpidana sudah cabut BAP sehingga Polisi hanya menetapkan satu DPO?
Jika masih membingungkan, saya akan meringkasnya menjadi lebih padat.
1. Aep: Pada tahun 2016, ia mengaku tidak melihat Pegi, tetapi tahun 2024, ia mengaku melihat Pegi = Keterangannya.
2. Linda: Ia menyebut Pegi tetapi tidak kenal tersangka Pegi Setiawan. Dan Linda TIDAK BERADA DI TKP = Keterangannya
3. Melmel: Ia secara dramatis dan heroik mengaku menyaksikan penyiksaan yang dilakukan 11 orang. Sedangkan Polisi menghapus dua DPO, yang artinya hanya ada sembilan pelaku = Keterangannya
4. Keterangan BAP terpidana Hadi Saputra: Hanya dia yang menyebut Pegi pelaku pembunuhan, sedangkan lima terpidana lainnya mengatakan Pegi bukan pelaku = Keterangannya
5. Sebagai tambahan, baru-baru ini satu mantan terpidana Saka Tatal mengaku kepada pengacara Toni RM, bahwa foto Pegi yang pernah ditunjukkan kepadanya ialah laki-laki memakai anting besar di telinga seperti yang pernah viral beberapa waktu lalu. Tentu ini tidak sesuai dengan tersangka Pegi Setiawan.
Di samping itu semua, saya punya pertanyaan sangat mudah. Ketika pada tahun 2016, Kartini memberitahu Polisi bahwa Pegi Setiawan berada di Bandung, kenapa ia tidak dipanggil dan malah menunggu delapan tahun?
Begitu banyak keterangan saksi yang bertentangan satu sama lain, sehingga hal itu dapat membuat publik bingung. Namun tidak usah repot-repot. Jika penyidik tidak punya bukti yang kuat, mengapa harus terburu-buru menangkap Pegi Setiawan dan menjadikannya tersangka?
Dalam banyak kasus kriminal, Polisi telah bekerja dengan baik. Contohnya terlalu banyak, kasus mutilasi mahasiswa UMY, dukun pengganda uang Slamet Tohari, kasus mayat dalam koper di Bekasi, penangkapan buronan Edy Sampak yang kabur 22 tahun.
Sederet kasus terorisme, bahkan Polisi berhasil mengungkap kasus aborsi maut di Kelapa Gading tidak sampai 12 jam, dan lain sebagainya yang dibereskan dengan presisi. Penyelesaian kasus yang dilakukan Polri mencapai 72 persen, meningkat hampir 20 persen dalam 10 tahun terakhir.
Angka pembunuhan secara nasional menurun dalam tiga tahun terakhir (2019-2022), dan Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan persentase kejahatan paling rendah di Indonesia.
Saya berharap Polisi melanjutkan tren tersebut. Penegakan hukum yang cepat tentu diharapkan oleh semua pihak. Namun, tidak ada juga yang menginginkan sejarah dua petani miskin asal Bekasi, Sengkon dan Karta, terulang sampai kapan pun.
Pegi Setiawan kini memimpikan keadilan.
Tanpa kasus ini, hidupnya tidak selezat empal gentong. Seperti banyak orang, ia berjuang dengan kerja keras bukan menjadi peminta. Kisahnya sungguh terasa pedas. Maka jangan sampai pula kita membuatnya menjadi sepedas tahu gejrot. (*)
*) Source : X @creepylogy_ ( https://x.com/creepylogy_/status/1797126402170606033 )
Editor : Syaiful Anwar