Helena Lim, Crazy Rich Pondok Indah Kapuk (PIK) ini ditetapkan tersangka. Seperti apa perannya?
Dahulu dia memang bukan orang berpunya. Rumah sederhana orang tuanya di Medan hanya berukuran 4x12 m². Penghasilannya juga tak seberapa ketika bekerja di sebuah bank di Paris van Sumatera itu sebagai marketing bawahan.
Baca juga: Kasus Tom Lembong Menurut Pandangan Ahli
Namun, hidup dalam situasi yang menghimpit itu secuil saja tak mendorong semangat Helena Lim menyurut. Kerja banting tulang ibarat kaki di kepala, kepala di kaki, pun dilakoni wanita kelahiran 19 November 1976 itu.
Biasanya, di luar jam kerja selepas tugas-tugasnya di bank rampung, dia menawarkan jual-beli mata uang asing kepada nasabah kenalannya. Tapi demikian, justru sejak menjalani sebagai broker valas itulah dia bisa memutar balik roda nasib.
Taraf hidupnya kemudian naik sedikit demi sedikit. Hingga tak lama setelah Presiden Seoharto turun singgasana, dari kota di utara Sumatera itu Helena memilih mengadu nasib menuju Ibu Kota. Di sini, usaha jual-beli valasnya kian ramai.
"Sehari bisa Rp 15 juta –Rp 30 juta," ujar perempuan beranak 2 itu, memberi tahu jumlah komisi yang dia dapat sebagai broker di awal-awal pertengahan tahun 2000-an, dalam 1 kesempatan. Boleh dikata, dari pendapatan sebanyak itu juga Helena bisa membeli segala keperluan.
Dalam persoalan fesyen, misalnya, tas-tas bermerek internasional dia jajar rapi di lemari khusus. Begitu pula dalam urusan kendaraan. Di antara beberapa mobil mewah lainnya, dengan tertatanya sebuah Lamborghini terparkir di garasi Helena.
Kemewahan itu belum terhitung uang yang sudah ia sisihkan selama bertahun-tahun. Kelak, dengan tabungan inilah, dia sanggup mewujudkan rumah impianya di PIK, Jakarta Utara. Sementara itu, kemewahan Helena betul tidak dia peroleh dari hanya menjadi makelar valas.
Baca juga: Polemik Kasus Tom Lembong, Politisasi atau Bukan?
Wanita yang belakang hari dijuluki Crazy Rich PIK itu tercatat pula menguasai sejumlah usaha, termasuk bisnis kesehatan berupa apotek. Hampir sedekade lalu, Helena juga mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang penukaran uang asing bersama kolega.
Di PT Quantum Skyline Exchange (QSE) itu, dia memang tak tercantum dalam jajaran direksi. Namanya ditulis cuma sebagai marketing perusahaan. Kendati begitu, banyak yang mengiyakan dirinyalah yang menjadi sang pemilik.
Namun demikian, keterlibatan dia dalam operasional PT QSE itulah yang mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) kemudian bergerak menuju kantor perusahaan dan rumahnya di PIK.
Dalam penggeledahan yang digelar selama 6-8 Maret 2024 lalu itu, tim penyidik merampas sejumlah aset Helena yang terdeteksi merupakan hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi timah di Pulau Bangka.
Baca juga: Mengenal Pencucian Uang Gaya Kripto
Sepanjang tahun 2018-2019, dia diketahui telah membantu mengelola uang hasil tindak pidana kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. Pengelolaan itu dilakukan dengan dalih menerima dana corporate social responsibility (CSR), yang sejatinya menguntungkan kedua belah pihak. Sebelumnya, Helena ditandai sebagai teman dekat Robert Priantono Bonosusatya dan Suparta, para petinggi PT Refined Bangka Tin (RBT).
PT Refined Bangka Tin merupakan konsorsium utama yang menjalin kerjasama lancung tersebut. Dalam kasus ini, Suparta sudah lebih dulu diterungku Adhyaksa. (*)
*) Source : Jaksapedia
Editor : Syaiful Anwar