Dalam beberapa beberapa minggu terakhir ini, dunia hukum dihebohkan oleh adanya penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong. Dia jadi tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kebijakan impor gula yang dianggap salah. Kesalahan itu dianggap mengandung unsur pidana yang harus dipertangung jawabkan oleh pengambil kebijakan.
Kebijakan adalah salah satu langkah yang urgen atau mendesak harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Dalam kondisi tertentu, seorang pemimpin harus mengambil putusan atas situasi tertentu. Substansi kebijakan adalah putusan yang bermuara pada eksekusi atau pelaksanaan.
Demikian dikatakan Herman Hofi Munawar selaku Pengamat Kebijakan Publik dan Pakar Hukum dalam keterangan persnya pada 2 November 2024. Katanya, seharusnya sebelum mengambil kebijakan atau keputusan, tentu sudah melalui proses berbagai kajian, baik kajian yuridis maupun kajian implementasi.
Kajian yuridis berkaitan dengan apakah Kebijakan dan putusan yang akan dilakukan itu merupakan kewenangan instansi yang bersangkutan, atau kewenangan inter instansi serta aturan hukum yang memberikan celah/peluang untuk mengambil kebijakan. Dan yang tidak kalah penting adalah, sejauh mana kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan publik. Selanjutnya
kebijakan tersebut dianggap benar atau salah hanya dapat diketahui pasca kebijakan itu dilaksanakan atau yang lazim disebut era post factum.
Publik akan menilai kenijakan itu dianggap benar jika membuahkan hal yang positif bagi publik. Sebaliknya kebijakan dianggap salah jika tidak sesuai dengan ekspektasi publik.
Pertanyaannya, jika Kebijakan itu dianggap keliru dan tidak sesuai dengan ekspektasi publik apakah dapat pidana ?
Jika terjadi kesalahan dalam kebijakan dan tidak sesuai dengan ekapektasi publik dan dianggap seabagai suatu tindak pidana, maka para pengambil kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil kebijakan atau putusan, kecuali kebijakan yang diambil benar-benar dapat dipastikan tidak salah. Itu suatu hal yang mustahil, apalagi benar atau tidaknya kebijakan/putusan bertabrakan pada rasa puas atau tidak puasnya publik.
Oleh sebab itu, dalam pengambilan kebijakan/putusan harus memperhatikan bahwa kebijakan itu dilakukan untuk menjalankan peraturan perundangan-undangan. KUHP pada pasal 50 telah mengingatkan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum.
Selain itu, yang patut dipahami bahwa menjalankan peraturan perundang-undangan tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi juga meliputi perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan/putusan yang diambil merupakan tindakan menjalankan undang-undang, dan sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangannya, maka suatu kebijakan tidak dapat dipidana.
Kebijakan atas dasar Undang Undang (UU) dan kewenangan dikriminalisasi akan mengancam semangat birokrasi untuk melalukan berbagai inovasi.
Baca juga: Sapi Bantuan dari Kementan Dijual oleh Anggota Poktan Motekar untuk Bayar Hutang
Saat ini sangat terasa terjadinya stagnasi inovasi birokrasi. Hal dapat dimaklumi karena birokrasi tidak mau jadi korban kriminaliasi kebijakan oleh penagak hukum. Penetapan tersangka hingga hukuman pidana terhadap sejumlah kepala dinas dan kepala bidang telah menimbulkan kelumpuhan dalam inovasi pelayanan publik. Persoalan ini semakin rumit ketika kebijakan yang diambil oleh pejabat publik tersebut dipandang sebagai kesalahan dalam kebijakan, bukan tindakan koruptif yang memperkaya diri atau orang lain.
Kasus-kasus dimana kepala dinas atau pejabat publik lainnya dijadikan tersangka, bahkan ditahan, karena kebijakan yang dianggap keliru, menjadi fenomena yang memprihatinkan dalam penegakan hukum kita.
Dalam beberapa kasus, Hakim telah memutus bahwa pejabat yang bersangkutan tidak terbukti memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Namun, mereka tetap dinyatakan bersalah karena kebijakan yang diambil dianggap salah.
Seharusnya tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam rangka menjalankan undang-undang tidak dapat pidana, selama tindakan tersebut berada dalam batas kewenangan yang diberikan dan tidak ada niat jahat (mens rea) untuk mengambil kebijakan itu.
Masih, terang Hofi, oleh karena itu, selama kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan yang diberikan dan tidak ada indikasi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, kebijakan tersebut tidak boleh dipidana. Kecuali pengambil kebijakan tersebjt dalam prosesnya terdapat perilaku koruptif.
Baca juga: Mantan Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Jadi Tersangka Korupsi
Hal yang terakhir ini yang patut dicermati oleh aparat penegak hukum. Pengambil kebijakan tentu tidak boleh kebal dari sanksi pidana bila dalam proses pengambilan kebijakan terdapat perilaku koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud disini ialah perilaku yang dapat memberi keuntungan bagi pribadinya sendiri, orang lain, atau korporasi dari pengambilan kebijakan.
Jika memang ada niat dan perbuatan jahat dalam kebijakan itu hukum dan sanksi pidana harus ditegakkan. Akan tetapi, bila kebijakan yang diambil ternyata salah, bahkan bila dapat dibuktikan telah merugikan keuangan negara tapi tidak ada perilaku koruptif, tidak boleh dikriminalisasi.
Terjadinya kerugian negara tidak dapat langsung dikatakan perilaku koruptif. Bisa saja terjadi karena masalah perdata, seperti wanprestasi, atau kebijakan bersifat administratif.
Hukum pidana tidak mengenal tanggung jawab kolektif kolegial karena kejahatan dibebankan pada individu yang melakukan kejahatan. Yang perlu di tegaskan proses hukum harus didasarkan pada bukti, bukan sekadar asumsi. (*)
Editor : Bambang Harianto