Misteri Nota Percakapan A 298

avatar Redaksi
  • URL berhasil dicopy
Adnan Bahrum Nasution
Adnan Bahrum Nasution
grosir-buah-surabaya

Kisah tentang relasi mantan Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung (Kahumas Kejagung) dengan komunis. Meski namanya tercatut mendukung "pembersihan" di arsip rahasia United State (US), dia komitmen mengakhiri konflik warisan pendahulu.

Prinsip lelaki itu konsisten sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Dengan tegas, dia menolak paham komunisme. Ayahnya, Rahmad Nasution adalah seorang wartawan pejuang kemerdekaan yang ikut mendirikan kantor berita Antara dan Harian Kedaulatan Rakyat.

Kepada puteranya itu, Rahmad tak lelah menyuntikkan paham demokrasi. Buku-buku mengenai bahaya komunisme, otoriterisme, totaliterisme, hingga militerisme dan fasisme milik Rahmad juga selalu dilahap habis oleh puteranya ketika menginjak usia remaja.

"Sehingga saya sudah terbentuk menjadi sangat alert terhadap paham komunis," tutur anak lelaki Rahmad bernama Adnan Bahrum Nasution itu dalam otobiografinya "Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto".

Semasa menjadi bagian Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sikap Abang Buyung, begitu dia di kemudian hari dikenal, pun tak berubah. IPPI berdiri tahun 1948 dengan melebur Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI).

"Saya menentang IPPI[-nya] Edi Abdurachman yang cenderung mau mengkomuniskan IPPI," ungkap Buyung.

Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia lalu dibubarkan tak lama setelah peristiwa berdarah G30S/1965 lantaran dipandang sebagai perhimpunan pelajar yang dekat dengan Organisasi Politik Kiri.

Setahun mendekati kudeta gagal yang menewaskan 6 jenderal dan 1 perwira, Buyung turut mendirikan gerakan berhaluan anti-Organisasi Politik Kiri, yakni Amanat Penderitaan Rakyat, pada Juli 1964 bersama rekan-rekan sepemikiran.

Ada aktivis, cendekiawan, sampai aparatur pertahanan di organisasi Ampera. Termasuk di dalam gerakan itu bebarapa tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tentara pelajar, sekelompok intelijen, juga sejumlah Jaksa seperti Adi Muwardi yang saat itu didapuk menjadi ketua Ampera.

Menjadi Wakil Ketua perhimpunan itu, Buyung aktif membentuk ranting perwakilan di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodetabek) seperti di Menteng, Senen, hingga Bogor.

Dia mengomandoi langsung dalam menggalang dukungan dari beragam lapisan sosial, mulai dari gelandangan, tukang becak hingga pedagang asongan, melalui Program Karya—kegiatan-kegiatan yang bersifat populis.

Ampera, kata Buyung masih dalam "Pergulatan Tanpa Henti", memandang bahwa salah 1 strategi melawan Organisasi Politik Kiri adalah dengan merebut hati rakyat di desa-desa, yaitu melakukan kerja nyata seperti membangun irigasi, penggilingan padi, membuat jembatan dan semacamnya.

Pasca G30-S meletus dan Organisasi Politik Kiri dihabisi, Ampera memutuskan berfusi dalam Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). Buyung kemudian ditunjuk memimpin KASI perwakilan Jakarta.

Pada sejumlah pertemuan anggota KASI yang gencar menuntut Tri Tuntutan Rakyat kala itu, Buyung blak-blakan mendorong Soeharto mengambil alih posisi Soekarno sebagai presiden. "Daripada [Jend. A. H] Nasution yang saya anggap orang Orde Lama dan terkontaminasi Peristiwa 17 Oktober 1952."

Peristiwa yang disinggung Buyung merujuk pada "Setengah Kudeta", pengepungan oleh militer yang membawa tank dan meriam dengan menodongkan moncongnya ke arah Istana Merdeka, yang melibatkan massa demonstrasi besar yang menuntut pembubaran parlemen dan sistem pemerintahan parlementer.

Buyung pun setuju Organisasi Politik Kiri dibubarkan segera. Dia bahkan betul-betul mendukung upaya aparatur pertahanan melakukan "pembersihan" terhadap partai besutan D. N. Aidit itu.

Sokongan moral Buyung itu ialah cerminan umum di antara kekuatan politik moderat, menunjukkan betapa luasnya ketika itu dukungan "pembersihan" massal. Sikapnya ini terdokumentasi dlm arsip rahasia di Pusat Deklasifikasi National (NDC) Amerika Serikat setebal 6 halaman.

Dokumen yang telah resmi dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017 itu adalah sebuah telegram bernomor A-298, berisi memorandum percakapan Buyung dan Robert Rich, Sekretaris kedua Kedubes Amerika Serikat. Dia disebut 2 kali menyambangi Robert di konsulat Jakarta, masing-masing pada 15 Oktober dan 19 Oktober 1965.

Kedekatan Buyung denagn para utusan Amerika tercatat dimulai sejak dia menjadi asisten yang diperbantukan alias liaison officer Kejagung untuk mendampingi tamu kehormatan Jaksa Agung Amerika Serikat, Robert F. Kennedy, ketika berkunjung ke Tanah Air pada tahun 1962.

"Ini adalah momen kritis bagi orang-orang moderat Indonesia, seperti anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI) & Masyumi, untuk membubarkan komunis dan menghilangkan kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia)," ujar Buyung, sebagaimana tercantum dalam memorandum.

Kepad Rich lagi, Buyung—yang kala itu juga tercatat sebagai Kahumas Kejagung di samping mengoordinir KASI—meminta supaya para delegasi Amerika sebisa mungkin merahasiakan fakta dari Presiden Sukarno bahwa aparatur bersenjata telah mengeksekusi ribuan orang komunis.

Pada kali kesempatan lain, sewaktu Buyung terpilih menjadi anggota MPRS di tahun 1966, dia ikut menolak pertanggungjawaban Sukarno atas peristiwa G30S, sehingga memicu Bung Besar itu jatuh dari pucuk kekuasaan.

Kendati pun begitu, Buyung menilai Sukarno mendapat perlakuan tak adil lantaran dia hanya dituduh bersalah, namun tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri dalam sebuah pengadilan.

Buyung mengatakan pada saat itu, cuma dia seorang dirilah yang menyerukan perlunya Sukarno diadili di hadapan Hakim agar tuduhan kepadanya itu bisa dibuktikan kebenarannya atau tidak. Hubungan Buyung dengan orang-orang Komunis pun sejatinya harmonis di luar lingkup politik.

Sebut saja dengan Tan Malaka. Bapak Republik Indonesia itu bukan sekali dua kali bertamu ke rumah Buyung di Yogyakarta untuk menemui ayahnya, berbincang masalah politik yang tengah berkecamuk di Ibu Pertiwi. Buyung kecil, yang kala itu baru berusia 12 tahun, ingat persis apa yang dibicarakan Tan.

"Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar! Kalau perlu pukul, jangan ajak dia berunding!" kata Buyung mengenang ucapan Tan di depan wajah ayahnya, mengkritik periode pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang saat itu dia anggap terlalu lemah menghadapi Belanda. (*)

*) Source : Jaksapedia