Sekjen LP3HN : Dugaan penambangan dan Penjualan Timah Ilegal Libatkan 12 Perusahaan

Reporter : -
Sekjen LP3HN : Dugaan penambangan dan Penjualan Timah Ilegal Libatkan 12 Perusahaan
Kantor Kejaksaan Agung
advertorial

Lembaga Pemantau Pengelolaan dan Pendayagunaan Harta Negara (LP3HN) mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengusut tuntas kasus dugaan penambangan dan penjualan timah ilegal yang melibatkan Direktur Utama (Dirut) PT MIND ID inisial HPS, Direktur PT Timah inisial ADV, dan pengusaha yang juga penasehat (advisor) Dirut PT Timah, inisial EK, yang diduga mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 700 miliar.

Dugaan penambangan dan penjualan timah ilegal melibatkan sebanyak 12 perusahaan yang mendapatkan surat perintah kerja (SPK) dari PT Timah selama tiga bulan, mulai Januari-Maret 2024.

Baca Juga: Mengenal Pencucian Uang Gaya Kripto

"Modus penambangan dan penjualan timah ilegal selama periode Januari-Februari 2024, PT Timah melakukan pembelian biji timah dari beberapa perusahaan pemegang SPK (surat perintah kerja) sebagaimana tercatat di dalam tabel diatas sebanyak 618,01 ton dengan harga Rp 220 juta per ton atau sekitar Rp135,9 miliar, "kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) LP3HN, Muchsin Abdullah, Kamis (30/5/2024).

Kemudian, sebut Muchsin, pada Maret 2024, PT Timah kembali membeli sebanyak 652,73 ton dengan harga Rp 220 juta per ton atau Rp 143,6 miliar. Total pengeluaran PT Timah selama Januari-Maret 2024 untuk membeli biji timah tersebut senilai Rp279,56 miliar. 

"Asal usul sumber biji timah tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pembelian biji timah tersebut dilakukan atas perintah Dirut PT Timah, ADV, setelah mendapat perintah lisan dari Kepala Satgas MIND ID inisial D yang mendapat mandat langsung dari HPS dirut MIND ID," ucap Muchsin.

Muchsin menyebutkan, dalam SPK yang diperoleh EK dan kawan-kawan, bahwa biji timah yang diperoleh dari wilayah kerja pemegang SPK harus diserahkan ke PT Timah. Para pemegang SPK mendapat upah kerja secara persentase dengan besaran yang sudah disepakati dan tidak bersifat jual beli.

"Bahwa pembelian biji timah tersebut dilakukan karena para penambang mengatakan bahwa biji timah itu diambil di luar wilayah kerja sebagaimana disepakati dalam SPK. Setelah transaksi selesai, para penjual barang tidak bisa menjelaskan asal usul sumber biji timah yang dibeli tersebut. Diduga biji timah tersebut hasil dari area penambangan dalam IUP PT Timah," terang Muchsin.

Muchsin menuturkan, hasil pemurnian biji timah batangan tersebut tidak dapat dijual di pasar resmi, karena ketidakjelasan asal asul biji timah.

Para pelaku kemudian diduga membuat dokumen palsu asal-usul barang dengan beberapa alasan, yaitu pertama adalah kemungkinan biji timah itu diperoleh dari area SPK maka polanya tidak jual-beli dan PT Timah hanya memberikan upah kerja, bukan melakukan jual-beli.

"Apabila dilakukan jula-beli dengan Timah, maka harga pembelian dari lokasi penambangan milik PT Timah sebesar Rp100 juta per ton," ungkap Muchsin. 

Baca Juga: Figur Kuat Dalam Tumpang Tindih Lahan Technopark

Muchsin menuturkan, diduga telah terjadi penggelembungan harga (mark-up) yang dilakukan PT Timah dari harga pembelian yang seharusnya Rp 100 juta per ton menjadi Rp 200 juta per ton. Selisih dari harga yang pembelian tersebut diduga masuk ke kantong pribadi HPS dan kelompok Edi Kodri.

"Patut diduga para perusahaan tersebut melakukan penambangan di wilayah hutan lindung secara ilegal yang berdampak kerugian negara secara ekologis dan hilangnya potensi penerimaan negara ratusan miliar rupiah," tegas Muchsin.

Dalam kasus ini, terang Muchsin, PT Timah diduga berperan sebagai fasilitator penambangan ilegal, penadah biji timah illegal dan pengrusakan ekologis yang berujung kerugian negara.

Akibat dari kegiatan ini, bahwa regulasi yang berlaku di perdagangan timah mewajibkan kejelasan asal usul barang sejak dari lokasi tambang sampai di proses pemurnian menjadi timah batangan. Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan maka timah batangan tersebut tidak dapat di perdagangkan di pasar resmi. 

Harga timah batangan sekitar US$ 34.000 per ton atau sekitar Rp550 juta per ton. Total biji timah yang ditambang perusahaan- perusahaan tersebut selama Januari-Maret 2024 sebanyak 1.270,74 ton atau sekitar Rp700 miliar. Sampai saat ini PT Timah tidak bisa menjual timah batangan tersebut karena ketidakjelasan asal-usul. 

Baca Juga: Tampang dan Peran DPO Kasus Timah

"Kami menduga para pelaku melakukan penjualan timah batangan tersebut secara ilegal dengan cara diseludupkan ke luar negeri dengan berbagai cara dengan mengubah bentuk batangan menjadi hasil seni ukir dan lainnya yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp700 miliar," tandas Muchsin.

Muchsin mengungkapkan, kerugian PT Timah. Kerugian keuangan sekitar Rp 300 miliar dari pembelian biji timah yang tidak jelas asal usulnya. Kerugian pendapatan Rp 400 miliar dari penjualan ilegal timah batangan yang tidak bisa dijual di pasar resmi.

"Untuk itu, kami mendesak dan meminta Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini. Meminta Kejaksaan Agung agar bekerjasama dengan BPK dan atau BPKP untuk mengaudit pembelian biji timah dan penjualan hasil pemurnian bulan Januari – Maret 2024 sebab diduga kuat terjadi pemalsuan dokumen. Memeriksa semua dokumen sumber barang dan SPK yang dikeluarkan oleh PT Timah. Memeriksa semua pemilik Perusahaan penerima SPK yang merupakan kaki dan tangan kotor HPS untuk melakukan perampokan kekayaan Negara melalui PT Timah," tutup Muchsin.

Dua belas perusahaan yang disebutkan dan diduga terlibat, antara lain CV Bangka Bintang Sembilan, CV Bintang Cipta Perkasa, CV Dua Enam Pratama, CV El Hana Mulia, CV Harapan Bumi Hijau, CV Tin Bintang Sembilan, CV Pulau Tin Resources, CV Selby Selumar, CV Try Putra Wijaya, CV Tri Selaras Jaya Kokartim dan CV Nizam Almer Timah Sejahtera.

Lanjut, CV Bintang Cipta Perkasa  CV El Hana Mulia, CV Gasparindo, CV Harapan Bumi Hijau, CV Pulau Tin Resource, CV Selby Selumar, CV Tin Bintang Sembilan, CV Tri Putra Wijaya, dan CV Tri Selaras Jaya Kokartim. (Anhar)

Editor : Redaksi