Ilmu Membunuh Naga
Dulu waktu masih menjalani pendidikan salah seorang guru sering berkata, “Jangan belajar ilmu membunuh naga.”
Konon ilmu membunuh naga adalah ilmu yang tertinggi di dunia persilatan. Hanya para begawan yang bisa menguasainya.
Kalaupun mau mempelajarinya harus mencil di pedalaman pegunungan menjalani tapa brata dan latihan yang luar biasa beratnya. Berat, dan butuh waktu panjang untuk menguasai ilmunya.
Nah, setelah bertahun-tahun belajar ekstra keras dan balik ke kampung, baru nyadar ternyata naga itu sebenarnya tidak ada. Naga itu hanya makhluk mitikal dalam mitos…
Moral storynya belajar jangan ketinggian sementara yang dasar belum dikuasai. Bisa sia-sia saja belajar seperti itu, seperti sia-sianya belajar membunuh naga padahal naganya tidak ada.
Memang di kalangan residen selalu saja ada yang menguasai biomolekuler penyembuhan fraktur, metalurgi dan fabrikasi implant, sementara pasang bidai saja tidak becus.
Saat ini ada lagi yang belajar ilmu membunuh naga, ngurusin genom sementara obat TB, obat kusta sudah lama menghilang dari pasaran dan masih gagal restok kembali sementara demand pasien jalan terus.
TB dan kusta adalah problem purba yang seharusnya sudah dikuasai penatalaksanaannya.
Difteri meningkat prevalensinya padahal dengan vaksinasi yang baik harusnya sudah lama punah dari bumi Nusantara. Dan yang baru-baru ini, rabies banyak lagi kasusnya, mortalitasnya tinggi pula.
Most recent, kasus antraks sampai 87 kasus dengan korban meninggal.
87 kasus, padahal satu kasus saja sudah masuk kategori KLB yang butuh ekstra perhatian dari semua pihak, terutama yang sedang belajar ilmu membunuh naga. Ini semua problem nyata, problem dasar kesehatan bangsa.
Harusnya dibereskan dulu sebelum ngurusin genom. Jangan keburu belajar metalurgi implant sementara pasang bidai saja belum bisa.
“Jangan belajar ilmu membunuh naga,”
pesan bijak guru saya.
*) Penulis : dr.Erry Yunus, Sp. OT (Aktivis Dokter Indonesia Bersatu)
Editor : S. Anwar