3 Dosa Besar Pendidikan Versi Kemendikbud
Pada Jumat, 20 September 2024, Rektor Universitas Pancasila, Profesor Marsudi Wahyu Kisworo membuka seminar yang dilaksanakan oleh Fakultas Psikologi, Univetsitas Pancasila.
Seminar ini menarik karena membahas 3 dosa besar pendidikan versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dari hasil surveinya, yaitu kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi. Pembicaranya juga menarik, yaitu Kepala Pusat Pendidikan Karakter Kemdikbud, Rusprita Putri Utami.
Baca Juga: 24 Dosen Universitas Wijaya Putra Raih Dana Hibah Penelitian dan Pengabdian dari Kemdikbudristek
Dalam pidato pembukaan, Marsudi menyampaikan bahwa menurutnya, apa yang disebut sebagai 3 dosa besar tersebut bukanlah dosa, tapi bencana besar yang disebabkan oleh sistem pendidikan di Indonesia. Jadi yang berdosa adalah pengambil keputusan dalam sistem pendidikan, bukan para murid. Mereka hanyalah korban dari sistem pendidikan yang salah.
Dalam buku best seller Marsudi berjudul "Revolusi Mengajar" yang terbit tahun 2016, dan karena banyak yang minta akan segera terbit edisi ke-2, ada 10 dosa besar pendidikan yang berakibat kepada apa yang disebut 3 dosa besar oleh Kemendikbud.
Baca Juga: Rawan Manipulasi Nilai Pada Tes Wawancara dan Microteaching Seleksi Dosen Kemendikbudristek 2023
Dosa pertama adalah moto Kemendikbud. Loh kok bisa? Kemendikbud mengkorupsi ajaran Ki Hajar Dewantoro dengan mengambil prinsip terakhir, yaitu Tut wuri handayani (dari belakang mendoakan). Seharusnya adalah Ing ngarso sung tulodho (Di depan memberi contoh). Rusaknya karakter bangsa disebabkan oleh para pemimpin, tokoh, dan guru yang tidak memberi contoh yang baik.
Dosa kedua ialah pendidikan di Indonesia menyebarkan virus yang lebih berbahaya dari Covid-19, yaitu virus mentalitas jadi pegawai. Tidak heran kalau ada pembukaam pegawai, apalagi pegawai negeri atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peminatnya berjubel.
Baca Juga: Siswa SMAN 8 Surabaya Harumkan Jawa Timur di Kancah Nasional
Dosa ketiga, pendidikan di Indonesia dari awal mengajarkan persaingan, bukan kerja sama. Sistem perankingan di sekolah yang tujuannya baik tapi dilakukan dengan cara salah berakibat sulitnya terbentuk karakter gotong-royong. Karena setiap murid menganggap yang lain adalah saingan yang harus dikalahkan. Akibatnya yang pinter unjuk kepintaran dengan jadi juara kelas, yang kuat unjuk kekuatan dengan merundung.
Dosa keempat, pendidikan di Indonesia mematikan kecerdasan multipel. Yang dianggap pinter adalah yang matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)-nya bagus meskipun kalau nyanyi fales. Dan masih ada 6 dosa lain. (*)
Editor : Syaiful Anwar