Bluebird: Kena Hajar Zaman, Tapi Gak Tumbang

Waktu pertama kali kerja di PwC tahun 2006, taksi tuh udah jadi bagian dari hidup saya. Bluebird, khususnya. Masih inget, dua kali saya ketinggalan HP di taksi mereka, dan dua-duanya balik dengan selamat.
Sejak itu, saya respek banget sama honesty dan reliability mereka. Tapi kebiasaan berubah. Setelah punya mobil sendiri, saya makin jarang naik taksi. Sesekali masih sih, kalau mobil lagi di bengkel atau malas nyetir. Sampai akhirnya, tahun 2014, Uber masuk ke Indonesia dan semuanya berubah.
Baca Juga: Beragam Posisi di Lowongan Kerja BlueBird Group
Uber itu game-changer. Murah, praktis, tinggal klik, langsung dapat mobil. Gak lama, Grab dan Gojek ikutan masuk. Market berubah drastis, ride-hailing jadi tren, dan taksi konvensional mulai terpinggirkan.
Bluebird, yang dulu raja jalanan, tiba-tiba terlihat ketinggalan zaman. Banyak bisnis di posisi mereka akan panik. Ada yang mati-matian melawan perubahan, ada yang banting setir sampai kehilangan identitas. Tapi Bluebird? Mereka memilih jalan yang lebih cerdas.
Mereka shifting ke digital. MyBlueBird app lahir, bikin pelanggan bisa pesan online, bayar cashless, dan tracking real-time.
Langkah yang lebih berani? Mereka kerja sama dengan Gojek! Lahir Go-Bluebird, bikin taksi mereka bisa dipesan langsung dari app Gojek. Bukan ngelawan perubahan, tapi merangkulnya.
Tapi ujian sebenarnya datang di tahun 2020. Pandemi COVID-19 menghantam keras. Mobilitas nyaris berhenti total. Pendapatan Bluebird anjlok 49% ke IDR 2,05 triliun, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka, Bluebird merugi IDR 163 miliar. Di titik ini, banyak bisnis bisa tumbang. Tapi Bluebird tetap bertahan.
Baca Juga: Onesight EssilorLuxottica Beri Cek Mata dan Lensa Gratis kepada Pengemudi Bluebird
Tahun berikutnya, pemulihan berjalan lambat, tapi mereka terus beradaptasi. Begitu ekonomi mulai pulih di tahun 2022, mereka langsung tancap gas. Pendapatan melonjak 62% ke IDR 3,59 triliun. Tahun 2023, Bluebird bahkan lebih kuat dari sebelum pandemi—revenue mereka tembus IDR 4,42 triliun, dengan laba bersih 43% lebih tinggi dari 2019.
Sementara itu, saya mulai notice sesuatu. Layanan ride-hailing yang dulu unggul dalam convenience mulai terasa kurang nyaman. Mobil yang kurang terawat, driver yang kurang profesional, waktu tunggu yang makin lama, apalagi pas hujan atau rush hour. Akhirnya, saya mulai balik lagi ke Bluebird.
Turns out, mereka tetap konsisten di satu hal: quality. Mobil selalu bersih, drivernya profesional, dan yang paling penting—reliable.
Baca Juga: RUPST Bluebird Angkat Adrianto Djokosoetono sebagai Direktur Utama
Dari sini saya sadar: Bluebird gak bertahan karena mereka terbesar. Mereka bertahan karena mereka adaptif, tanpa kehilangan kualitas.
Banyak bisnis tumbang saat dihantam perubahan. Bluebird tetap relevan karena tahu apa yang harus diubah, dan apa yang harus dipertahankan. Kadang, bertahan bukan soal jadi yang terkuat. Tapi jadi yang paling cerdas. (*)
*) Source : Arbianto Setiawan (CFO at Maersk JV Company)
Editor : Zainuddin Qodir